Selasa, 17 April 2018

Pengertian Komunikasi Massa

Pengertian Komunikasi Massa
Dosen: Dr. Ispawati Asri, MM

Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta

A.   Pengertian dan Proses Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah proses komunikasi melalui media massa moderen yang meliputi:
1.    media cetak yang mempunyai sirkulasi yang luas;
2.    siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum;
3.    film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bisokop.
Selain media massa modern, menurut Rogers terdapat media massa tradisional, seperti: pertunjukkan teater rakyat, wayang, juru dongen, dan lain-lain.
Dalam konteks komunikasi massa, lazimnya adalah komunikasi massa melalui media massa moderen yang menunjukkan seluruh sistem terorganisasi di mana “pesan-pesan” diproduksikan, dipilih, disiarkan, diterima, dan ditanggapi.
Komunikasi massa berarti juga menyiarkan informasi, program, dan sikap kepada khalayak yang beragam, dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media massa. Khalayak dalam konteks ini disebut sebagai “massa”. Pengertian massa dalam konteks komunikasi berbeda dengan pengertian massa dalam konteks psikologi sosial. Massa dalam pengertian psikologi sosial merupakan kerumunan yang bersifat terstruktur dan secara kolektif dapat membentuk menjadi “jiwa massa”.  Sedangkan massa dalam konteks komunikasi bersifat anonim, berjumlah banyak, tidak berstruktur, dan tersebar di mana-mana. Ini berarti, melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sukar daripada jenis komunikasi lainnya. Untuk mengurangi kesukaran tersebut maka komunikator komunikasi massa perlu memperhatikan: (1) Apa yang dikomunikasikan? (2) Bagaimana mengkomunikasikannya? (3) Bangun empati khalayak dengan cara kontak pribadi yang diulang ribuan kali secara serentak.
Komunikasi massa menghendaki organisasi resmi namun juga rumit untuk kegiatan operasionalnya, karena produksi media cetak dan elektronik meliputi:
a.    sumber pembiayaan dan pengawasan keuangan.
b.    manajemen yang baik dan ahli.
c.    pengawasan normatif dari pihak lain
d.    hubungan dengan lembaga lain.
Beberapa defenisi komunikasi massa.
       Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak (Ruben, 1992)
       Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
       Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis, 1985)
Dari ketiga defenisi di atas dapat disarikan beberapa unsur yang terlibat dalam komunikasi massa.
1.    sumber
2.    khalayak
3.    pesan
4.    proses
5.    konteks
6.    media
Berkaitan dengan pengertian di atas, komunikasi massa memiliki karakteristik yang membedakannya dengan jenis komunikasi yang lain, yaitu:
a.    Bersifat Umum. Pesan yang disampaikan terbuka untuk semua orang. Untuk itu perlu pengawasan resmi yang berkaitan dengan larangan dalam bentuk hukum atau kode etik.
b.    Khalayak Bersifat Heterogen. Sejumlah orang yang heterogen yang disatukan oleh suatu minat sama, tingkah laku yang sama, terbuka untuk tujuan yang sama. Namun mereka tidak saling kenal, berinteraksi secara terbatas, dan tidak terorganisasi.
c.    Menimbulkan Keserempakan. Keserempakan kontak dengan sejumlah penduduk dalam jarak yang jauh dan saling terpisah.
d.    Hubungan Bersifat nonpersonal.
1.    Karena khalayak yang anonim yang dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranan yang bersifat umum sebagai komunikator.
2.    Berlaku sifat one-way communication.
3.    Jarak input – output sangat lebar namun dapat diketahui melalui bukti keuntungan dari siaran komersial.
Selain itu, pendapat lain tentang karakter komunikasi massa yaitu:
1.    Ditujukan pada khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar dan tidak mengenal batas geografis-kultural.
2.    bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Kegiatan penciptaan pesan melilbatkan orang banyak dan terorganisasi.
3.    pola penyampaian bersifat cepat dan tidak terkendala oleh waktu dalam menjangkau khalayak yang luas.
4.    penyampaian pesan cenderung satu arah.
5.    kegiatan komunikasi terencana, terjadwal dan terorganisasi.
6.    penyampaian pesan bersifat berkala, tidak bersifat temporer.
7.    isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, politik dll)
Memahami komunikasi massa tidak akan terlepas dari media massa, karena objek kajian terbesar adalah pada peran dan pengaruh yang dimainkan media massa. Di bawah ini akan diuraikan  faktor-faktor yang mendasar dari media massa:
1.    media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan industri lain yang terkait. Media juga merupakan industri sendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di lain pihak, institusi media di atur oleh masyarakat.
2.    media massa merupakan sumber kekuatan- alat kontrol, manajemen, inovasi dalam masyarakat  yang dapat didayagunakan sebagai penganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
3.    media merupakan forum atau agen yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.
4.    media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
5.    media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.
 Konsep komunikasi massa itu sendiri pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada public secara luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Pusat dari studi mengenai komunikasi massa adalah media. Media merupakan organisasi yang menebarkan informasi yang berupa produk budaya atau pesan yang mempengaruhinya dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.  Oleh karenanya, sebagaimana dengan politik atau ekonomi, media merupakan suatu sistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas.
Analisis media mengenai adanya dua dimensi komunikasi massa, yaitu:
1.    Dimensi makro, yaitu dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya.  Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat  dan terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan dengan media.
2.    Dimensi mikro, yaitu melihat kepada hubungan antara media dengan audience, baik secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antara media audience, terutama menekan pada efek-efek individu dan kelompok sebagai hasil interaksi dengan media.
Sehubungan dengan hal tersebut, Onong Uchjana Efendy, dengan mengutip Severin dan Tankard, mengemukakan definisi komunikasi massa sebagai sebagai berikut : ”Komunikasi massa adalah sebagian ketrampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Sebagai ketrampilan jika komunikasi massa meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika wawancara. Sebagai seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif  seperti menulis naskah untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi suatu kisah berita. Sebagai ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik”.  

B.   Bentuk-bentuk Komunikasi dalam Konteks Komunikasi Massa
Bentuk-bentuk komunikasi dalam konteks komunikasi massa terbagi dalam kategori sebagai berikut:
a.    Model Komunikasi Massa
Kategori ini mencakup empat model komunikasi massa sebagai berikut:
1.    Model Jarum Suntik (Hypodermic Needle Model)
Asumsi dasarnya adalah bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera, dan langsung pada massa komunikan yang pasif. Elihu Katz mengatakan dua hal:
(a)  bahwa media massalah yang sangat ampuh yang mampu memasukkan ide pada benak khalayak yang tidak berdaya.
(b)  bahwa massa komunikan terpecah-pecah namun terhubung dengan media massa, sebaliknya antar komunikan tidak saling terhubungkan.
2.    Model Arus Satu Tahap (One Step Flow Model)
Asumsi dasarnya adalah bahwa media massa berkomunikasi langsung dengan massa komunikan tanpa berlalunya suatu pesan melalui orang lain. Pesan tersebut tidak mencapai semua komunikan dan tidak menimbulkan efek yang sama pada setiap komunikan.
Model satu tahap ini mengakui bahwa:
(a)  media tidak mempunyai kekuatan yang hebat.
(b)  aspek pilihan dari penampilan, penerimaan, dan penahanan dalam ingatan yang selektif mempengaruhi suatu pesan.
(c)  untuk setiap komunikan terjadi efek yang berbeda.
3.    Model Arus Dua Tahap (Two Step Flow Model)
Model komunikasi dua tahap ini berasal dari Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudel (1948) yang berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leader). Dari mereka ini (opinion leader) pesan media massa tersebut berlalu menuju penduduk yang kurang giat.
Adapun tahapan tersebut adalah sebagai berikut:           
(a)  Tahap pertama adalah dari sumbernya, yaitu komunikator media massa kepada pemuka pendapat yang mendapatkan suatu informasi.
(b)  Tahap kedua adalah dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya. Pada tahap kedua ini juga mencakup penyebaran pengaruh yang dilakukan oleh pemuka pendapat.
Berdasarkan bentuk model dua tahap ini, menyebabkan ilmuwan komunikasi mulai menaruh perhatian kepada peranan media massa dan komunikasi antar pribadi dalam suatu proses komunikasi dalam konteks komunikasi massa.
4.    Model Arus Banyak Tahap (Multy Step Flow Model)
Model arus banyak tahap ini didasarkan pada fungsi penyebaran yang berurutan yang terjadi pada kebanyakan situasi komunikasi. Model ini menyatakan bahwa:
(a)  bagi lajunya komunikasi dari komunikator kepada komunikan terdapat jumlah “relay” yang berganti-ganti.
(b)  beberapa komunikan menerima pesan langsung melalui saluran dari komunikator, sementara yang lainnya terpindahkan dari sumbernya beberapa kali.
(c)  jumlah tahap yang pasti dalam model ini bergantung pada:
Ø  maksud dan tujuan komunikator,
Ø  tersedianya media massa dengan kemampuan untuk menyebarkan pesan,
Ø  sifat dari pesan, dan nilai pentingnya pesan bagi komunikan.          

b.    Kekuasaan terhadap Media Massa
Bentuk kekuasaan terhadap media massa dalam konteks komunikasi massa lebih dikenal sebagai suatu sistem pers dalam arti luas yang berlaku di berbagai negara di dunia. Pers dalam arti luas mencakup: (a) media massa cetak seperti: surat kabar, majalah, (b) media elektronik, seperti: radio, televisi. Sistem pers tersebut dibukukan oleh ilmuwan Amerika, yaitu Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm pada tahun 1956 dlam bukunya yang berjudul “Four Theories of the Press”.
Empat teori sistem kekuasaan negara terhadap media massa tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Teori Otoriter (Authoritarian Theory)
Teori otoriter seringkali disebut juga sistem otoriter berkaitan erat dengan sistem pengawasan terhadap media massa yang daya pengaruhnya dinilai amat kuat. Aplikasi teori ini dimulai pada abad 16 di Inggris, Perancis, dan Spanyol, yang pada zaman berikutnya meluas ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika latin.
Menurut Fred S. Siebert, teori otoriter menyatakan bahwa hubungan antara media massa dengan masyarakat ditentukan oleh asumsi-asumsi filsafati yang mendasar tentang manusia dan negara.  Dalam hal ini tercakup: (a) sifat manusia, (b) sifat masyarakat, (c) hubungan antara manusia dengan negara, dan (d) masalah filsafati yang mendasar, sifat pengetahuan, dan sifat kebenaran.
Asumsinya adalah seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu, lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok lebih penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya.
Teori tersebut telah mengembangkan proposisi bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.
Berdasarkan proposisi tersebut dapat dikatakan bahwa ketergantungan seseorang pada negara untuk mencapai peradaban telah menjadi unsur utama pada sistem otoriter.
2.    Teori Liberal (Libertarian Theory)
Teori ini menitikberatkan superioritasnya pada prinsip kebebasan  perorangan, penilaian, dan aksioma bahwa kebenaran jika diberi kebebasan, akan muncul sebagai pemenang dalam setiap perjuangan. Slogannya dalah proses tegakkan diri (selfrighting process) dan wahana pertukaran gagasan (market place of idea).
3.    Teori Komunis Soviet (Soviet Communist Theory)
Konsep kebebasan pers di Uni Soviet adalah kebebasan negatif, yaitu kebebasan dari. Sedangkan konsep kebebasan pada sistem tanggung jawab sosial adalah kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk.
Hipotesanya adalah jika dikatakan bahwa pers atau media massa di Uni Soviet adalah bebas, bukan bebas dalam arti untuk menyatakan pendapat, melainkan bebas dari kapitalisme, individualisme, borjuasi, dan anarki.
4.    Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory)
Pemikiran utamanya adalah bahwa kebebasan dan kewajiban berlangsung secara beriringan. Dan pers/media massa yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang hakiki.
Teori ini lahir sebagai akibat dari kritik-kritik yang sangat tajam dan gencar terhadap kegiatan pers yang liberal.
Teori tanggung jawab sosial berpijak pada kemerdekaan yang positif.              
                     
c.    Pendekatan/Perspektif Media Massa
1.            Pendekatan Transmisional
Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan transmisional pada dasarnya menjelaskan sutau proses komunikasi dengan melihat komponen-komponen yang terkandung didalamnya dan rangkaian aktivitas yang terjadi antara satu komponen dengan komponen lainnya (terutama mengalirnya pesan/informasi).  Teori tentang transmisi pesan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika, Claude Shannon pada akhir tahun 1940-an.  Shannon yang bekerja pada biro penelitian perusahaan telepon Bell, menerapkan pemikirannya terutama untuk penelitian kepentingan telekomunikasi.  Dia berangkat dari sejumlah pertanyaan yang menyangkut jenis saluran komunikasi apa yang dapat mengangkut muatan sinyal secara maksimum?  Berapa banyak muatan sinyal yang ditransmsikan akan rusak oleh gangguan yang mungkin muncul dalam perjalanannya menuju penerima sinyal?
Pertanyaan ini pada dasarnya menyangkut bidang teori informasi.  Meskipun demikian, teori yang dikembangan Shannon  bersama rekan kerjanya Warren Weaver, dalam suatu bentuk model, telah digunakan sebagai analogi oleh berbagai ilmuwan sosial.  Walau prinsip teknologis pasti berbeda dari proses komunikasi manusia, namun teori Shannon-Weaver telah menadi ide dasar bagi banyak teori komunikasi (massa) di kemudian hari.
Komunikasi oleh mereka digambarkan sebagai suatu proses yang linier dan searah.  Yaitu proses di mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber dengan melalui beberapa komponen menuju kepada tujuan (komunikan).  Terdapat lima fungsi yang beroperasi dalam proses komunikasi di samping satu faktor disfungsional yaitu noise atau ganguan. 
Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti bekerjanya proses penyiaran radio.  Pada bagian pertama dari proses adalah sumber informasi yang menciptakan pesan atau rangkaian pesan untuk dikomunikasikan.  Pada tahap berikutnya adalah pesan diubah ke dalam bentuk sinyal oleh trasmiter sehingga dapat diteruskan melalui saluran pada penerima.  Penerima lalu menyusun kembali sinyal menjadi pesan sehingga dapat mencapai tujuan.  Sementara itu sinyal dalam perjalanannya memiliki potensi untuk terganggu oleh berbagai sumber gangguan yang muncul.  Misalnya, ketika terdapat terlalu banyak sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan pula.  Hal ini akan mengakibatkan adanya perbedaan antara sinyal yang ditrasmisikan dan sinyal yang diterima.  Dengan demikian dapat diartikan bahwa pesan yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun kembali oleh penerima hingga mencapai tujuan, tidak selalu memiliki makna yang sama.
Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang sama, adalah merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi.
Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini, MelvinDeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass Communication, mengembangkan dan mengaplikasikannya ke dalam teori komunikasi massa.  Dalam kaitannya dengan makna dari pesan yang diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi ’makna’ diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh transmiter menjadi informasi, dan kemudian disampaikan melalui suatu saluran (misalnya media massa).  Informasi diterima sebagai pesan, lalu diubah menjadi ’makna’ tersebut, maka hasilnya adalah komuniaksi.  Namun, seperti dikemukakan sendiri DeFleur, jarang sekali korespondensi yang sempurna.  Artinya, dengan toleransi tertentu, komunikasi masih dapat terjadi meskipun terdapat juga ’sejumlah’ perbedaan makna.
DeFleur menambahkan beberapa komponen dalam bagan Shannon Weaver untuk menggambarkan bagaimana sumber/komunikator mendapatkan umpan balik atau feedack, yang memberikan kemungkinan kepada komunikator untuk dapat lebih efektif mengadaptasikan komunikasinya.  Dengan demikian, kemungkinan untuk mencapai korespondensi/kesamaan makna akan meningkat. 
Bagan Shannon-Weaver, walaupun berkesan linier dan tanpa umpan balik, ternyata telah meletakkan dasar bagi pengembangannya oleh DeFleur.  Bagan DeFleur di atas telah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang fenomena komunikasi massa.  Meskipun demikian, dalam hal komunikasi massa, sumber/komunikator biasanya memperoleh umpan balik yang sangat teratas dari audiencenya.

2.            Pendekatan Psikologi Sosial
Dengan mendasarkan pada prinsip keseimbangan kognitif yang dikemukakan oleh psikolog Heider (1946), dan penerapannya oleh Newcomb (1953) pada keseimbangan antara dua individu dalam proses komunikasi ketika menganggapi suatu topik tertentu,  McLeod dan Chaffee (1973) mengemukakan teorinya yang disebut Ko-orientasiFokus dari teori ini adalah komunikasi antarkelompok dalam masyarakat yang berlangsung secara interaktif dan dua arah.  Pendekatan ini memandang sumber informasi, komunikator, dan penerima dalam suatu situasi komunikasi yang dinamis. 
Bagan tersebut menggambarkan bahwa ’elite’ biasanya diartikan sebagi kekuatan politik yang ada dalam masyarakat.  ”Peristiwa” atau topik/issue adalah perbincangan/perdebatan mengenai suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat, di mana dari sini akan muncul berbagai informasi (seperti digambarkan dengan deretan X). 
Publik adalah kelompok/komunitas dalam masyarakat yang berkompeten dengan peristiwa yang diinformasikan dan sekaligus sebagai audience dari media.  Sementara itu media mengacu pada unsur-unsur yang ada di dalam media, seperti wartawan, editor, reporter, dan sebagainya.  Garis yang menghubungkan berbagai elemen tersebut memiliki sejumlah interpretasi.  Dapat berupa hubungan, sikap, ataupun persepsi.  Demikian pula arah dari garis tersebut dapat dianggap sebagai komunikasi searah ataupun dua arah.
  Teori ini menjelaskan bahwa informasi mengenai suatu peristiwa dicari dari, atau didapat oleh, anggota masyarakat dengan mengacu pada pengalaman pribadi, sumber dari kalangan elite, media massa, atau kombinasi ketiganya.  Relevansi dari teori ini terletak pada situasi yang dinamis yang dihasilkan oleh hubungan antara publik dan kekuatan politik (elite) tertentu, pada sikap publik terhadap media, dan pada hubungan antara elite dan media.  Perbedaan atau pertentangan antara publik dan elite dalam mempersepsi suatu peristiwa akan membawa pada upaya mencari informasi dari media massa dan sumber-sumber informasi lainnya.  Perbedaan ini dapat pula membawa ke arah upaya elite untuk memanipulasi persepsi publik dengan secara  langsung mencampuri peristiwa tersebut atau dengan cara mengendalikan media massa.
Kerangka acuan yang digunakan teori ini dapat diperluas dengan melibatkan sejumlah variabel dari elemen-elemen utama teori ini (publik, elite, media dan peristiwa).  Jadi kita dapat membedakan peristiwa berdasarkan relevansinya, nilai pentingnya, aktualitasya, atau tingkat kontroversinya.  Kita dapat menggolongkan publik atas segmen atau sektor, memberikan kategori atas sumber-sumber informasi dalam elite berdasarkan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat.  Sebagai ilustrasi, penelitian mengenai penggunaan media massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor (1973) membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap kontroversial akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi dari media massa mengenai peristiwa tersebut.
Teori lainnya yang lebih sosiologis dikemukakan oleh John. W. Riley dan Mathilda White Riley (1959).  Mereka berangkat dari anggapan bahwa teori-teori komunikasi massa yang ada pada saat ini menimbulkan kesan seolah-olah proses komunikasi terjadi dalam situasi sosial yang vacuum (hampa) dan bahwa pengaruh lingkungan terhadap proses tersebut terasa diabaikan. Padahal, seperti mereka katakan, manusia sebagai mahluk yang berkomunikasi merupakan bagian dari berbagai struktur sosial yang berbeda.  Oleh karenanya, mereka menawarkan suatu teori yang bertujuan untuk menganalisis komunikasi massa yang lebih menekankan pada aspek sosiologis dengan menganggap bahwa komuniaksi massa merupakan satu di antara berbagai sistem sosial yang ada dalam masyarakat.
Riley and Riley menunjuk pada peran primary group dan reference group dalam proses komunikasi.  Primary group ditandai dengan hubungan yang intim antar anggotanya, misalnya keluarga.  Sedangkan reference group adalah kelompok dimana seseorang belajar untuk mengenal sikap, nilai, dan perilakunya.  Dalam banyak hal primary group acapkali berfungsi pula sebagai refence group.  Sebagai komunikator atau penerima pesan, individu dipengaruhi oleh primary group.  Dalam kapasitasnya sebagai komunikator, individu mungkin terpengaruh dalam memilih dan membentuk pesannya, mempersepsi pesan, dan menanggapi pesan.  Pada sisi lain, primary group juga terpengaruh sebagian oleh interaksi dengan primery group lainnya; dan sebagian lagi oleh struktur social yang lebih luas, yang juga secara langsung dapat mempengaruhi individu.  Struktur social yang lebih luas ini seringkali dikenal pula sebagai secondary group, seperti misalnya organisasi politik, perusahaan, atau serikat pekerja.  Di mana seperti halnya primary group, telah memperkenalkan norma dan menjadi panutan dalam berperilaku. 
Komunikator dan penerima digambarkan sebagai elemen dari dua struktur yang lebih besar yang saling terkait, misalnya melalui mekanisme umpan balik.  Dalam lingkup yang lebih luas mereka meletakkan sistem komunikasi dalam suatu keseluruhan sistem sosial; dalam masyarakat dimana orang-orang yang terlibat dalam komunikasi berinteraksi dengan berbagai kelompok di sekelilingnya dan struktur sosial yang lebih luas.  Jadi, proses komunikasi massa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses sosial yang lebih luas tersebut. 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar