Jumat, 20 April 2018

Makalah Etika Politik dalam Ajaran Agama Hindu

TATA SUSILA

Etika Politik dalam Ajaran Agama Hindu

Dosen Pengampu:
I Ketut Angga Irawan, M.Si




Oleh:
Eni Kusti Rahayu
 1509.10.0033

JURUSAN PENERANGAN AGAMA HINDU
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017



KATA PENGANTAR 
Om swastyastu 
Puji syukur kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa atas Asungkerta Waranugraha-Nya,  tugas makalah mata kuliah Tata Susila dengan judul Etika Politik dalam Ajaran Agama Hindu ini bisa terselesaikan. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini, diantaranya, Bapak I Ketut Angga Irawan sebagai dosen pengampu mata kuliah Tata Susila, teman-teman dikelas yang telah memberikan kami dukungan, dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang terkait dalam menyediakan sarana dan prasarana guna mempermudah pencarian literature untuk makalah kami.
Makalah yang kami buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran bagi pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran pada pembuatan makalah yang akan datang. Terima kasih atas partisipasi dan perhatian para pembaca, semoga semua isi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi bembaca.
Om santi, santi, santi Om.
Jakarta, Desember 2017

Penulis





i
 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................      i
DAFTAR ISI .............................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang...........................................................................      1
1.2  Tujuan Penulisan.......................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Politik dalam Perspektif Hindu................................      4      
2.2  Sumber Ajaran Agama Hindu Tentang Politik .........................      5
2.3  Etika Politik Sesuai Ajaran Agama dan Sastra Hindu...............     

BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan................................................................................     

DAFTAR PUSTAKA




ii



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Di zaman modern ini kekuasaan adalah segalanya. Demi memperoleh kekuasaan tersebut tidak sedikit yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Mereka terobsesi untuk menjadi pemimpin. Tidak peduli dengan realita mampukah mereka menjadi pemimpin yang baik. Tidak salah jika melihat bibit-bibit pemimpin yang tidak baik ini akan menjadi suatu kemunduran kualitas dari pemimpin itu sendiri.
            Melihat realita ini kami mencoba untuk mengkaji dan menggali ilmu Politik Hindu (Nitisastra) sebagai suatu perbandingan, tolak ukur, acuan untuk menjadi seorang pemimpin yang berintegritas tinggi, baik untuk diri sendiri ,keluarga, lingkungan yang dipimpin, serta baik dimata Tuhan. Ilmu-ilmu Politik atau pemerintahan ini hendaknya dipelajari, dipahami,dipraktekkan oleh calon-calon pemimpin agar terbentuk pemimpin yang benar-benar berkualitas dari kulit maupun isinya.


1.2  Rumusan Masalah

1.        Bagaimana pengertian politik menurut perspektif Agama Hindu?
2.        Apa saja sumber ajaran agama Hindu tentang politik?
3.        Bagaimana  kewajiban seorang tokoh politik sesuai sastra hindu?
4.        Bagaimana etika politik Hindu yang sesuai dengan ajaran dan satra agama?
5.        Bagaimana Konstribusi Agama Hindu dalam  Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara?





1.3  Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui pengertian politik menurut perspektif Agama Hindu;
2.      Untuk mengetahui sumber ajaran agama Hindu tentang politik;
3.      Untuk mengetahui kewajiban seorang tokoh politik sesuai sastra Hindu.
4.      Untuk mengetahui etika politik Hindu yang sesuai dengan ajaran dan satra
Agama
5.        Untuk mengetahui Konstribusi Agama Hindu dalam  Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara













BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Politik Menurut Perspektif Hindu
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.
Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar.Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. (https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_politik). Ajaran etika atau moralitas adalah tingkah laku yang baik dan benar untuk kebahagiaan hidup serta keharmonisan hidup antar manusia.
Dalam pandangan atau perspektif agama Hindu, istilah politik dikenal dengan ajaran Nitisastra, yaitu Nitisastra berasal dari kata Niti yang berarti undang - undang yang mengatur negara atau negeri dan sastra yang berarti pelajaran Dharma, Pelajaran Suci dan pelajaran Agama (Kamus BHS BALI dalam  Anandakusuma (1986).
Namun jika dilihat dari Bahasa Sansekerta, Niti berarti kebijaksanaan duniawi, etika dan politik, serta menuntun. Sedangkan Sastra berarti Mantra atau pujaan Suci.
Sedangkan jika kita melihat Kamus Bahasa Jawa Kuno, Niti berarti Pedoman Hidup, ilmu tata Negara, kesopanan siasat Negara (kebijakan) politik. Sedangkan Sastra adalah Kitab ilmu pengetahuan atau Kitab pelajaran. Jika melihat pengertian diatas, Nitisatra dapat diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mengajarkan tenatang bagaimana bertingkah laku, memimpin, mendidik, berdasarkan dharma.
Kendati demikian banyak juga orang yang mengartikan Nitisatra sebagai kitab atau ilmu kepemimpinan tata negara.
Nitisastra sangat besar kaitannya dengan Dhanda Niti, Artha Sastra, Raja Dharma,Niti Sastra dan Raja Niti. Bahkan beberapa ahli mengatakan semuanya sama dengan Nitisastra hanya saja namanya yang berbeda;
Berikut pengertian dari Artha Sastra, Raja Niti, Dhanda Nitim Niti Sastra, dan Raja Dharma, Dhanda Niti adalah kitab yang memngajarkan tentang pengaturan atau hukum-hukum yang mengatur dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian Raja Niti adalah kitab yang mengajarkan bagaimana cara memimpin, Raja Dharma adalah kitab yang mengajarkan kebenaran dan kewajiban seorang pemimpin.
Artha Sastra adalah kitab yang mengajarkan bagaimana mengatur kesejahteraan dalam kehidupan di suatu wilayah.
Politik dalam perspektif Hindu adalah pengetahuan untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna untuk mencapai tujuan dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan dalam masyarakat yang berdasarkan atas sastra dan ajaran dalam agama Hindu. Menurut kitab suci weda, politik merupakan cara untuk mencapai tujuan atau memegakkan Dharma, dimana dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap berlandaskan pada agama, moral dan etika.
Dalam konteks ini, agama Hindu menawarkan pola hidup yang sederhana. Sebab dengan pola ini, masyarakat akan selalu ingat dengan tujuannya yang tertinggi yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi atau yang disebut dengan moksa. Jika mereka mengikuti keinginan dan indriya-indriiyanya, maka  mereka akan terjebak pada maya atau keadaan seola-olah  semakin menjerumuskan masyarakat.  Dalam konteks pemikiran seperti ini, pragmatism politik tergolong sebagai pemikiran yang dipengaruhi oleh maya. Bantuan keuangan seolah-olah telah memberikan kontribusi  kepada masyarakat . padahal kenyataan itu bisa sebaliknya. Sebab tuntunan seperti ini, bukan tidak mungkin akan menyebarkan budaya korupsi di kalangan penyelenggara politik ataupun pemerintahan negara. Sebab mereka memerlukan modal yang besar untuk duduk di kursi politik. Korupsi seperti ini trntu akan mengurangi jatah bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Karena itulah, tidak ada  alasan agama  apapun yang membenarkan sebuah pragmatism politik seperti itu. Agama Hindu justru menyemangati masyarakat untuk membela kebenaran.

2.2  Sumber Ajaran Agama Hindu Tentang Politik
2.2.1        Kitab-Kitab Veda (Sruti)
                 Bila dicermati pemikiran tentang Nitisastra sudah terdapat dalam kitab-kitab  sruti. Sebagai kita ketahui masing-masing kitab sruti mempunyai Upaveda tersendiri. Kitab upaveda dari Rgveda adalah kitab ayurveda, kitab upaveda dari Yajurveda adalah kitab Dhanurveda, kitab upaveda dari SamaVeda adalah kitab Gandharwa Veda, dan kitab upaveda dari Atharwa Veda adalah kitab Arthaveda. Kitab Arthaveda dikenal sebagai kitab yang memuat pengetahuan tentang, pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, pertanian dan lain-lain.  jadi, Arthaveda merupakan kitab sruti yang memuat tentang Nitisastra, yang mempelajari tentang ilmu politik dan juga ilmu pemerintahan. Bagi pemeluk Hindu etika berpolitik terdapat dalam kitab suci Veda yaitu Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan Atharvaveda. Politik dalam Veda menitikberatkan pada kewajiban pemimpin pemerintahan dan rakyat untuk bersama-sama menegakkan kejayaan bangsa dan negara, yang dikenal dengan istilah “dharma negara”.
 Bentuk pemerintahan menurut Veda adalah berkedaulatan rakyat:


Mahate Janarajyaya (Yajurveda IX. 40)
Semoga Tuhan membimbing kami ke sebuah  negara yang berkedaulatan rakyat. Lebih jauh diulas pula bahwa rakyat yang merdeka, sejahtera dan berdaulat adalah kekuatan utama bagi tegaknya suatu bangsa:

Uttaram Rastram Prajaya Uttara Vat (Atharvaveda
XII.3.10)
Para politisi yang bersaing menguasai pemerintahan disyaratkan dalam Veda agar selalu memperhatikan kepentingan rakyat karena landasan seorang pemimpin adalah rakyatnya:

Visi Raja Pratisthitah (Yayurveda XX.9)
karena itu pemimpin hendaklah berupaya meningkatkan kualitas rakyat:

Pra Jam Drmha (Yayurveda
V.27)
memelihara kesejahteraan rakyat:

Sivam Prajabhyah (Yayurveda XI.28)
membahagiakan rakyat:

Panca Ksitinam Dyumnam A Bhara (Samaveda
971)
memperhatikan keluhan rakyat:

Visam Visam Hi Gacchathah (Samaveda 753)
dan memakmurkan rakyat:

Prajam Ca Roha-Amrtam Ca Roha (Atharvaveda XIII.1.34)
Sebaliknya rakyat pun wajib mematuhi perintah-perintah pemimpin bangsa:

Tasya Vratani-Anu Vas Caramasi (Rgveda VIII.25.16)
selalu waspada pada hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan bangsa:

Vayam Rastre Jagryama Purohitah (Yayurveda IX.23)
dan berani berkorban untuk kejayaan bangsa:

Vayam Tubhyam Balihrtah Syama (Atharvaveda XII.1.62)

Kutipan-kutipan ayat-ayat suci yang disebutkan di atas memberikan batasan kriteria, kualitas pemimpin yang bagaimana patut dipilih oleh rakyat agar rakyat mendapatkan hak-haknya sebagai warganegara dan kewajiban politik apa pula yang perlu dilakukan oleh rakyat. Rakyat tidak dibenarkan untuk pasif atau apatis dalam kegiatan politik baik sebagai pemilih maupun tergabung dalam kegiatan politik praktis, karena itu merupakan swadarma warganegara dalam wujud bhakti.

2.2.2        Kitab- kitab Smerti
           Kitab-kitab Manawa Dharmasastra memuat ajaran-ajaran bhagavan Manu yang dihimpun dan disusun oleh bhagawan Bhrgu, banyak selaki memuat ajaran tentang politik dan tata kenegaraan. Dalam adhyaya VII memuat tentang peraturan kenegaraan sedangkan pada Adyaya VIII memuat bergabai aspek hukum yang juga berkaitan dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam kitab ini kita menggunakan istilah Raja Dharma.
rajadharamam pravaksyami
yatha vrtto bhaven nrpah
sambhavasca yatha tasya
siddhisca paramayatha
(Manava Dharmasastra VII.1)
Artinya : Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban raja (Raja Dharma) bagaimana raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri, bagaimana ia dijadikan dan bagaimana ia dapat mencapai kesempurnaannya yang tertinggi
Sweswe dharme niwistanam sarwesamapurawacah, warnanamacramanamca raja srsto bhiraksita
(Manawa Dharmasastra, VII.35)
Artinya :
Raja telah  diciptakan untuk melindungi warna dan aturannya yang semua menuntut tingkat kedudukan mereka melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban mereka.

Indranilayamarkanam agnecca warunasya ca, candrawiiechayocchaiwa matra nirhrtya cacwatih.
( Manawa Dharmasastra, VII,4)
Artinya :
Untuk memenuhi maksud tujuan itu (Raja) harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari para Dewa Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra, dan Kubera.








2.2.3        Kitab-kitab Itihasa
       Kitab Ramayana dan Mahabharata merupakan  dua kitab yang memuat dua epos besar yang juga disebuat Viracarita. Kedua kitab ini menceritakan  kepahlawanan yang keseluruhannya memuat tentang etika dan cara-cara mengelola pemerintahan negara. Dalam MahaBharata dalam bagian Bhisma Parwa dinyatakan sebagai berikut:

Santi Parwal LXIII, hal 147,
“manakala politik telah sirna, veda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal tindakan diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada politiklah semua dunia terpusatkan”.
Dalam bab yang lain dijelaskan pula bahwa:
“ketika tujuan hidup manusia – dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan”
Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut mengisyaratkan bahwa antara Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu politik Hindu adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan berakibat pada kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah).
Antara politik dan kepemimpinan merupakan sebuah mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang rat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Dalam Kautilya Arthasastra dijelaskan pula bahwa “apa yang menjadikan raja senang bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah kesenangan seorang raja”. Kalimat ini menunjukkan bahwa sasaran pokok dalam politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada kebahagiaan tertinggi, kemuliaan adalah pasti (“sang sura menanging ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan”). (https://pandejuliana.wordpress.com/2012/05/25/politik-hindu-ajaran-kepemimpinan-menurut-hindu-part-3/)




2.2.4        Kitab- kitab Purana
       Kitab purana dikenal pula sebagai kitab yang memuat ceritera –ceritera kuno yang menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu. Kitab purana memuat tentang cerita dewa-dewa, raja-raja, rsi-rsi pada  zaman kuno. Kitab purana ini banyak jumlahnya dan bila dicermati didalamnya banyak memuat ajaran tentang Nitisastra.

2.2.5        Kitab, Lontar-lontar, maupun naskah lainnya yang bersumber dari naskah sanskerta maupun jawa kuno
       Slokantara maupun Sarasamuccaya juga memuat tentang ajaran Nitisastra yang kadang-kadang dikemas dalam bentuk cerita yang mengandung kiasan tentang pemerintahan maupun masalah sosial. Dalam Tantri Kamandaka banyak sekali cerita-cerita yang memuat ajaran Nitisastra. Di daerah Bali yang sebagian besar penduduknya penganut Hindu merupakan daerah yang subur menumbuhkan karya sastra agama Hindu, seperti Nitisastra, Rajaniti, Raja sesana, Dharma sesana.

2.3  Kewajiban Seorang Tokoh Politik sesuai Sastra Hindu
1. Melindungi negara
Kewajiban utama seorang peminpin adalah melindungi seluruh wilayah dan rakyatnya (janapada). Oleh karena itu peminpin harus selalu aktif dan meyelesaikan kewajibannya. Kesejahteraan merupakan tujuan utama yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin, sedangakan kejahatan adalah sebaliknya. Warga masyarakat (loka) yang terdiri dari empat warna (catur warna), seperti Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra, serta catur asrama yang terdiri dari Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta, dan Biksuka, merupakan tugas pemimpin untuk melindungi aktivitas dan pekerjaan mereka.

2. Memelihara kepatuhan kepada aturan Dharma
Jika pemipin telah melindungi rakyatnya dengan adil, maka akan tercipta kedamaian. Namun, jika pemimpin melalaikan kewajibannya dan melanggar aturan masyarakat, maka negara dan pemimpinnya akan mengalami bencana. Melalui ketaklukannya kepada pemimpin, semua ciptaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak memperoleh kesempatan untuk menikmati kesenangnnya sepanjang tidak menyimpang dari kewajibannya. Kewajiban dari pemimpin adalah memelihara peraturan-peraturan yang terdapat dalam berbagai kebiasaan dari masyarakat yang dipimpinnya.


3. Menjaga Stabilitas Perdamaian
Dalam konsepsi Hindu, perdamaian lebih berharga daripada peperangan sehingga dalam ajaran mandala tersebut secara langsung mensyaratkan betapa pentingnya perimbangan kekuatan (balancing of power) di dalam menjaga perdamaian. Dengan konsep mandala negara yang dipimpinnya akan hidup damai berdampingan dengan harmonis.Adapun konsep Mandala atau Cakra (lingkaran), yang dimaksud sebagi berikut:
a.     Vijigisu, negara yang bersangkutan diletakkan di posisi center(pusat)
b.     Ari, negara yang paling dekat sebagai lawan
c.      Mitra, negara sahabat yang paling dekat
d.     Ari Mitra, adalah sekutu dari negara lawan
e.      Mitra-mitra, negara sekutu dari sekutu Vijigisu
f.       Arimitramitra, negara lawan dari sekutu-sekutu kita
g.     Parsnigraha, negara lawan yang dibelakang
h.     Akaranda, negara sekutu yang dibelakang
i.       Parsnigrahasara, negara sekutu dari sekutu yang dibelakang
j.       Akrandasara, negara sekutu dari lawan yang dibelakang
k.     Madhyama : negara netral
l.       Udasina : negara yang diabaikan

            Kedua belas negara diatas disebut dengan nama Rajaprakrti, selanjutnya dikelompokan menjadi empat mandala, antara lain :

a.   Mandala pertama terdiri dari : vijigusu, mitra, dan mitra-mitra
b.  Mandala kedua terdiri dari : ari, arimitra, dan arimitra-mitra
c.    Mandala ketiga terdiri dari : madhyama, dan sekutunya serta sekutuny
d.  Mandala keempat terdiri dari : udasina, dan sekutunya serta sekutu dari sekutunya

4. Memajukan Kesejahteraan

          Dalam hal kewajiban pemimpin berupaya menyejahterakan masyarakatnya. Pemimpin yang melindungi rakyatnya menerima masing – masing seperenam bagia, jika pemimpin tidak melindungi rakyatnya, ia hanya menerima seperenam juga. Siapapun yang memperoleh pendapatan dari membaca weda, dengan beryajna dengan memberikan hadiah, atau dari menghormati guru dan memuja Tuhan, pemimpin menerima seperenam bagian sebagai hasil dari kewajibannya melindungi negara. Tetapi jika pemimpin melalaikan kewajibannya melindungi negara, nmun tetap menarik pajak keuntungan, tell, menerima hadiah dan denda, maka setelah mati kelak dia masuk neraka. Kewajiban raja yang lainnya adalah melindungi negara dari berbagai bencana : kebakaran, banjir, penyakit dan sebagainya.
            Selanjutnya dalam lontar Raja Pati Gundala dijelaskan bahwa ada 3 kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang disebut Tri Upaya Sandhi, yang terdiri dari berikut ini.
a)       Rupa, atrinya seorang pemimpin berkewajiban untuk mengamati wajah dari rakyatnya.
b)       Wangsa, artinya suatu suku bangsa.
c)        Guna, artinya seoran pemimpin harus mengetahui tingkat pengertian dan pengetahuan serta keterampilam dari masyarakat yang dipimpinnya.

Dalam lontar Siwa- Budha Gama Tattwa dijelaskan 5 kewajiban pemimpin yang harus dilaksanakan terkait dengan persoalan – persoalan, dalam menghadai musuh – musuhnya antara lain sebagi berikut :

a.        Maya, artinya seorang pemimpin harus melakuakan upaya dalam mengumpulkan dataatau permasalahan yang belum jelas duduk permasalahannya.
b.       Upeksa, artinya seorang pemimpin hendaknya berupaya untuk mengadakan penelitian dan analisa terhadap semua bahan – bahan berupa data dan informasi untuk dapat meletakkan setiap data dan permasalahan menurut proporsinya.
c.        Indrajala, artinya seorang pemimpin hendaknya berupaya mencarikan jalan keluar dalam memecahkan setiap permasalahan yang sedang dihadapi,
d.       Wikrama, artinya seorang pemimpin hendaknya berupaya untuk melaksanakan segala upaya yang telah dirumuskan pada tingkat indrajala.
e.        Lokika, artinya setiap tindakan yang ditempuh oleh seorang pemimpin harus selalu mendapat pertimbangan – pertimbangan akal sehat dan logis serta dalam bertindak tidak berdasarkan emosi semata – mata.



3        

2.4    Etika Politik Sesuai Ajaran Agama dan Sastra Hindu
1. Sad Upaya Guna
Di dalam lontar Raja Pati Gondala dijelaskan bahwa seorang pemimpin atau seorang politikus harus bersahabat dengan para pemimpin dan masyarakat yang lainnya. Ada 6 macam sifat bersahabat yang harus dikembangkan oleh seorang pemimpin, sebagai dasar yang baik dan utama dalam kepemimpinannya, yaitu sebagai berikut :
a.        Siddhi , kemampuan untuk mengadakan persahabatan
b.       Wigrha ,   kemampuan untuk memisahkan setiap permasalahan atau persoalan serta dapat mempertahankan hubungan baik
c.        Wibawa, memiliki keiwibawaan
d.       Winarya, cakap dalam memimpin
e.        Gasraya, kemampuan untuk menghadapi lawan yang kuat
f.         Sthanna, dapat mempertahankan setiap hubungan yang baik

Demikian pula pada sumber yang sama disebutkan adanya 10 hal yang dijadikan sahabat oleh seorang pemimpin, antara lain sebagai berikut.
a. Satya, yaitu kejujuran
b. Arya, yaitu orang besar
c. Dharma, yaitu kebajikan
d. Asurya, yaitu orang yang dapat mengalahkan musuh
e. Mantri, yaitu orang yang dapat mengalahkan kesusahan
f. Salyatawan, yaitu orang yang banyak sahabatnya
g. Bali, yaitu orang yang kuat dan sakti
h. Keparamarthan, yaitu orang yang melaksanakan ilmu kerohanian
i. Kadiran, yaitu orang yang tetap pendiriannya
j. Guna, yaitu orang yang banyak ilmu dan pandai







2. Catur Paramita
        Dalam hubungannya dengan dunia luar yang berhubungan dengan daerah atau tempat bertugas, seorang pemimpin harus melengkapi dirinya dengan ajaran Catur Paramita, yaitu empat sifat dan sikap yang utama bagi pemimpin, yang terdiri dari berikut ini.
a.       Maitri, artinya seorang pemimpin harus dapat memandang orang lain sebagai karib,baik dilihat dari kedudukan sebagai insan hamba Tuhan maupun dari tujuan hidupnya.
b.       Karuna, artinya pemimpin harus dapat memberikan bantuann kepada orang yang memerlukan bantuan.
c.        Upeksa, artinya pemimpin tidak boleh terlalu memperhatikan ocehan orang lain, seperti tidak mudah dipengaruhi, dihasut dan diadu domba.
d.       Mudita, artinya pemimpin harus selalu berusaha untuk mendapatkan simpati orang lain.

3. Panca Stiti Dharmaning Prabhu
      Ajaran ini diwejangkan oleh Arjuna Sastrabahu, bahwa seorang pemimpin hendaknya menunjukkan sifat dan keteladan kepada bawahan yang dipimpinnya.
Panca stiti dharmaning prabhu adalah 5  macam sifat dan sikap tauladan yang harus dipedomi oleh seorang pemimpin dalam memimpin bawahannya. Sifat dan sikap yang dimaksud antara lain, sebagai berikut.
a.       Ing Ngarsa Asung Tulada, didepan bawahan atau masyarakat seorang pemimpin harus memberikan contoh untuk melakukan perbuatan yang baik, memberikan semangat pengabdian yang tinggi dan luhur untuk kepentingan bangsa dan agama.
b.       Ing Madya Mangun Karsa, artinya di tenga-tengah masyarakat atau bawahannya seorang pemimpin hendaknya mampu mengembangkan dan membangkitkan semangat kreativitas untuk mencapai kemajuan bersama.
c.        Tut Wuri Andayani, artinya seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan semangat, kebebabsan berkreativitas dan mengembangkan ide-ide bawahan atau masyarakat yang dipimpinnya sepanjang bersifat positif, dengan demikian masyarkat yang dipimpinnya akan mengalami kemajuan yang sempurna.
d.       Maju tanpa bala, artinya seorang pemimpin harus berani maju kedepan walaupun tanpa anak buah, bahkan berani berkorban demi kepentingan bawahannya
e.        Sakti tanpa aji, artinya seorang pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan tugas, ia tidak mau terlalu dipuji-puji dan disanjung-sanjung.


2.5    Konstribusi Agama Hindu dalam  Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara
Lahirnya bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia dengan Dasar Pancasila dan lambang Garuda Pancasila dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika adalah sangat tepat, di dukung pemilihan yang amat cermat dari para pendiri negara yang mengamati kondisi nyata bangsa Indonesia yang  memang sangat majemuk.  Sesanti Bhineka Tunggal Ika diangkat dari karya Rakawi Empu Tantular dalam Kekawin Sutasoma, yang memaparkan kondisi komunikasi antara agama Hindu dan Buddha pada masa itu, yang lengkapnya berbunyi Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mang Rwa. Kalimat ini adalah kalimat dalam bahasa jawa kuno. Bhina artinya berbeda-beda, tunggal artinya satu, ika artinya itu, tan hana artinya tidak ada, Dharma artinya kewajiban, Mangrwa artinya mendua. Secara harfiah maka kalimat itu artinyaberbeda-berda tetapi tetap satu, tidak ada kewajiban atau kebenaran yang mendua. Kalimat ini mengandung ajaran Nitisastra yang tinggi dan sesuai dengan bangsa dan kesatuan Indonesia. Dalam konteks politik berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Dalam konteks negara Indonesia, mantra veda mengatakan bahwa Indonesia terdiri dari  berbagai suku yang menempati wilayah Indonesia  yang satu diharapkan mendapat jaminan dan kesempatan yang sama serta layak dalam menikmati  sumber daya alam Indonesia, hidup bersatu dan damai sehingga kebahagiaan dapat tercapai. Persatuan dalam kebhinekaan itu pada dasarnya bersifat dinamis, tidak mengecilkan arti setiap unsure budaya bangsa dan perbedaan budaya yang ada diantara warga negara Indonesia. Semua kegiatan yang bertujuan memajukan dan mencerdaskan anggota masyarakat dalam bidang apapun juga hendaklah didasarkan atas kesadaran bahwa usaha-usaha itu tidak mengganggu atau melemahkan persatuan dan kesatuan persatuan bangsa Indonesia. Veda jelas-jelas menganjurkan persatuan karena dengan persatuan itu sesungguhnya kebahagiaan bersama dapat tercapai. Persatuan yang dimaksud bukanlah hanya antara sesama agama melainkan kesatuan dengan semua golongan yang berbeda-beda seperti yang dimaksud Bhineka Tunggal Ika.


           











































Tidak ada komentar:

Posting Komentar