Jumat, 07 Desember 2018

Makalah Agama Carwaka dan Jaina

ILMU PERBANDINGAN AGAMA
Carwaka dan Jaina
Dosen Pengampu:
Untung Suhardi, S.Pd.H, M.Fil.H





Oleh:
Wahyuni
Oke Setiawan
Kadek Sucipta

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR 


Om swastyastu 
Puji syukur kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa atas Asungkerta Waranugraha-Nya, tugas makalah mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama dengan judul Carwaka dan Jaina ini bisa terselesaikan. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini, diantaranya, Bapak Untung Suhardi, S.Pd.H, M.Fil.H sebagai dosen pengampu mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama, teman-teman dikelas yang telah memberikan kami dukungan, dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang terkait dalam menyediakan sarana dan prasarana guna mempermudah pencarian literatur untuk makalah kami.
Makalah yang kami buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran bagi pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran pada pembuatan makalah yang akan datang. Terima kasih atas partisipasi dan perhatian para pembaca, semoga semua isi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi bembaca.
Om santi, santi, santi Om.


Jakarta, Oktober 2018

Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .............................................................................      i
DAFTAR ISI .............................................................................................      ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang...........................................................................      1
1.2  Rumusan Masalah......................................................................      2
1.3  Tujuan Penulisan........................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN
            2.1. Definisi Ajaran Filsafat Jaina....................................................
            2.1.1. Sejarah Ajaran Filsafat Jaina..................................................
            2.1.2. Epistemlogi Ajaran Filsafat Jaina...........................................
                2.1.3. Kitab Suci…………………………………………………..              
                2.2.4. Simbol Agama jaina………………………………………..
2.2.5. Tempat Suci Agama Carwaka……………………………...
            2.1.4. Konsep Ketuhanan Menurut Jaina.........................................
            2.1.5. Konsep Alam Semesta Ajaran Jaina......................................
            2.1.6. Prinsip Ajaran Jaina................................................................
            2.1.7. Konsep Roh Ajaran Jaina.......................................................

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Di India ada Sembilan aliran filsafat yang semuanya memiliki konsep yang berbedadalam mencapai tujuan akhir. Tujuan akhir yang ingin dicapai ialah kelepasan ataukebahagiaan yang tertinggi. Kesembilan aliran filsafat itu dibagi atas dua kelompok yaitu Astika dan Nastika. Kelompok Astika adalah kelompok filsafat yang mengakui kewenangan atau otoritas dari Veda. Sedangkan kelompok  Nastika adalah kelompok filsafat yang tidak mengakuikewenangan atau otoritas Veda. Kelompok Astika sering pula disebut kelompok orthodok dan theis, maka dalam hubungannya dengan agama Hindu kelompok Astika diakui sebagai ajaran filsafat Hindu. Akan tetapi, kelompok Nastika atau yang sering disebut dengan kelompok heterodoks dan atheis karena tidak mengakui kewenangan Veda, maka kelompok ini tidak termasuk kedalam sebutan filsafat Hindu.
Kelompok Nastika terdiri dari Buddha, Carwaka dan Jaina. Namun dimakalah ini yang akan dibahas ialah Carwaka dan Jaina. Jainisme adalah salah satu ajaran paham jaina di india, yang golongkan ke dalam nastika (heterodoks) karena tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah heterodoks , atheisme namun spiritual. Jaina merupakan sebuah agama minoritas, yang masih hidup hingga saat ini di india. Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya.  Pendiri filsafat Carwaka ialah Bhagavan Wrhaspati, dengan penekanan pengajaran pada aspek material sebagai tujuan hidup tertingi dan tidak percaya akan adanya kehidupan di akhirat. Tradisi yang dikembangkan Carwaka adalah Heterodoks, Atheisme, materialistic.
Dalam makalah ini, kami akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan Carwaka dan Jaina, mulai dari ajaran Carwaka dan Jaina, praktik keagamaan dan, Kitab Jaina, pokok-pokok dari ajaran Carwaka dan Jaina tersebut.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah pengertian filsafat Jaina dan Carwaka ?
1.2.2        Bagaimanakah epistemology ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.3        Bagaimanakah konsep ketuhanan ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.4        Bagaimanakah konsep alam semesta ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.5        Bagaimanakah konsep tentang roh ajaran filsafat Jaina dan Carwaka ?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui apa itu ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.2        Untuk mengetahui epistemology ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.3        Untuk mengetahui konsep Ketuhanan ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.4        Untuk mengetahui konsep alam semesta ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.5        Untuk mengetahui konsep roh ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.









BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Filsafat Jaina.
Filsafat Jaina di golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok ), mengakui empat aspek kebenaran yaitu : Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa. Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut dengan Sidhas, menekankan pada ajaran Ahimsa Karma. Jaina selain sebagai filsafat juga merupakan agama, yang masih ada namun pengikutnya yang cenderung sedikit. Jaina didirikan sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya terhadap konsep Ahimsa. Kitab suci Jaina diambil dari pidato-pidato, pesan-pesan keagamaan Mahavira diterima para murid secara generatif atau lisan. Pada abad ke 4 Sebelum Masehi diadakan pertemuan untuk mengumpulkan sumber-sumber ajaran Jaina, namun muncul perbedaan pemikiran.
Bahasa yang dipakai dalam kepustakaan Jaina adalah Bahasa Ardha Majdi, yang kemudian diganti kedalam Bahasa Sansekerta. Jaina memiliki tujuan diantaranya : 1). Sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya pada ahimsa. 2). Adanya peraturan kasta yang disusun oleh golongan Brahmana. 3). Peraturan tersebut memberi keuntungan kepada golongan Brahmana akibatnya timbul gerakan sewenang-wenang dari golongan Brahmana. 4). Kesewenangan ini ditentang kaum ksatria, mesti timbul pergolakan.
2.1.1.  Sejarah Filsafat Jaina.
Asal mula ajaran ini diperkirakan sudah ada pada zaman prasejarah india, Jainisme dalah sebuah agama dharma. Jaina bermakna penaklukan. Agama Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibangun oleh Nataputta Vardhamana, hidup pada 559-527 sM yang beroleh panggilan Mahavira yang berarti pahlawan besar. . Orang-orang pengikut jaina `Jainisme` mempercayai dengan adanya 24 Tirthankkara atau pendiri keyakinan dari mana keyakinan dan agama jaina diturunkan dan berkembang. Menurut tradisi jaina, Tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva yang merupakan pendiri jainisme dan terakhir adalah mahavira, pahlawan spiritual besar yang namanya juga adalah “vardhamana”. Mahavira, nabi terakhir tidak bisa dipandang sebagai pendiri, karena sebelum beliau ajaran-ajaran jaina telah ada. Tetapi mahavira memberikan orientasi baru sehingga jaina moderen menganggap ajaran jaina berasal dari mahavira. Ia hidup pada abad ke enam sebelum masehi se-zaman dengan budha.
Ajaran ini menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan dan yang telah mendapat pencerahan.
2.1.2 Kitab Suci
Jainisme mempunyai kitab suci yang bernama Siddhanta yang berarti pembahasan. Kitab suci ini adalah berupa kumpulan pidato – pidato dan pesan – pesan Mahavira. Pada awalnya pidato dan pesan – pesan ini hanya disebarkan kepada murid – muridnya kemudian kepada pendeta – pendeta dan sampai ahli ahli ibadah dalam agama jain hanya melalui lisan, karena takut akan hilang dan tercampur oleh ajaran – ajaran lain maka dikumpulkan pesan – pesan dan pidato – pidato tersebut menjadi sebuah kitab, sekitar abad ke-4 SM.[3] dan dapat disebut juga sebagai Agamas yang berarti perintah/ajaran. Kitab Jainisme ini di susun oleh Ardhamagandhi yang terdiri dari 12 bab (Angas), dan pada Angas terakhir yini dibagi menjadi 14 Purwa dan 11 Anga. Para penganut Jain mereka mempercayai bahwa kitab asli yang dari zaman Thirtankara pertama yaitu terbagi menjadi dua macam yaitu Purwa dan Anga, yang mana mempunyai 14 Purwa, sedangkan Anga itu sendiri terdiri dari 11 Anga. Dan dari 11 Anga tersebut mempunyai 45 teks.
Pada pembagian kitab suci di dalam agama Jain terdapat perbedaan dari setiap sekte, seperti sekte Digambara yang mengakui adanya 80 Angas, sedangkan pada sekte Svetambara mengakui adanya 45 Angas, dan pada sekte Sthanavaksi mereka hanya mengakui 33 Angas. Terjadinya perbedaan pembagian kitab di dalam setiap sekte, karena adanya perbedaan dari cara berfikir mereka, ada  juga ingin memperbaharui agama tersebut.
Sekte Digambara masih sangat kental dengan ajaran – ajaran yang di bawa oleh Mahavira seperti tidak memakai baju, tidak memakan makanan yang bernyawa (vegetarian), maka dari itu kitab – kitab mereka itu lebih banyak dari pada sekte – sekte yang lainnya.
Sedangkan sekte Svetambara adalah sekte yang muncul akibat ketidak setujuan mereka dengan penyembahan kepada berhala, sekte ini sudah diperbaharui  maka dari itu pada sekti ini hanya mempercayai 45 Angas, mereka lebih meminimalisir ajaran – ajaran yang telah di bawa oleh Mahavira, maka dari itu sekte Digambara mengatakan bahwa sekte Svetambara adalah sekte sesat yang telah menyimpang dari ajaran – ajaran Mahavira.
Sekte Sthanavaksi adalah sekte modern dalam agama Jain mereka sudah tidak lagi mengikuti ajaran Mahavira yang tidak berbusana, pada sekti ini salah satu ciri khas mereka yaitu memakai pakaian yang putih. Pada sekti ini kitab yang diakuinya hanya 33 Angas saja karena perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran umat jain agar agama yang dianutnya tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.

2.1.3 Simbol Agama Jaina        

Secara garis besar, simbol Jain didefinisikan sebagai alam semesta (Lok). Bagian bawah simbol mewakili tujuh neraka (Naraki). Bagian tengah alam semesta berisi Bumi dan planet-planet (Manushyalok). Bagian atas berisi tempat tinggal surgawi (Devlok) dari semua makhluk surgawi dan tempat tinggal para Siddha (Siddhashila). Jain percaya bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh siapapun, juga tidak bisa dihancurkan oleh siapa pun.
Tangan diangkat berarti berhenti. Kata di pusat roda adalah “Ahimsa”. Ahimsa berarti non-kekerasan. Mereka mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu. Ini memberi kita kesempatan untuk memeriksa kegiatan-kegiatan kami untuk memastikan bahwa mereka tidak akan menyakiti siapa pun dengan kata-kata, pikiran, atau tindakan. Kami juga tidak seharusnya meminta atau mendorong orang lain untuk mengambil bagian dalam kegiatan berbahaya. Roda di tangan menunjukkan bahwa jika kita tidak berhati-hati dan mengabaikan peringatan ini dan melakukan kegiatan kekerasan, maka hanya saat roda berjalan berputar-putar, kita akan berputar-putar melalui siklus kelahiran dan kematian.
Empat lengan swastika mengingatkan kita bahwa selama siklus kelahiran dan kematian kita mungkin lahir menjadi salah satu dari empat nasib: makhluk surgawi, manusia, binatang-binatang, (termasuk burung, bug, dan tanaman) dan makhluk neraka. Tujuan kami harus pembebasan dan tidak kelahiran kembali. Untuk menunjukkan bagaimana kita bisa melakukan ini, swastika mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi pilar dari empat kali lipat Jain Sangh, maka hanya bisa kita mencapai pembebasan.Keempat pilar Jain Sangh adalah Sadhu, sĂ€dhvis, shrĂ€vaks, dan shrĂ€vikĂ€s. Ini berarti bahwa pertama, kita harus berusaha untuk menjadi shrĂ€vaks benar atau shrĂ€vikĂ€s, dan ketika kita dapat mengatasi lampiran sosial kita, kita harus meninggalkan kehidupan duniawi dan mengikuti jalan yang sadhu atau Sadhvi dibebaskan. Tiga titik di atas swastika mewakili tiga permata dari Jainisme: Samyak Darshan (Iman Kanan), Samyak Jnan (Pengetahuan Kanan), dan Samyak Charitra (Perilaku Kanan). Kita harus memiliki ketiga permata tersebut: pengetahuan yang benar, iman yang benar, dan tepat melakukan bersama-sama, maka kita dapat mencapai pembebasan. Pengetahuan yang benar berarti memiliki pengetahuan bahwa jiwa dan tubuh terpisah dan jiwa, bukan tubuh mencapai keselamatan. Iman yang benar berarti seseorang harus memiliki iman dalam apa yang diceritakan oleh Jina, yang mahatahu. Pelaksanaan yang tepat berarti bahwa tindakan kita harus menjauhi keterikatan dan kebencian.
Pada bagian paling atas dari simbol Universal Jain adalah busur melengkung kecil. Busur ini merupakan tempat tinggal para Siddha. Hal ini dikenal sebagai Siddhashila tersebut. Ini adalah tempat peristirahatan terakhir dari jiwa-jiwa dibebaskan. Titik merupakan siddhata. Untuk mencapai tahap ini, jiwa harus menghancurkan semua karma yang terpasang. Setiap makhluk hidup harus berjuang untuk negara ini dari Keselamatan atau Pembebasan.
2.1.4 Tempat Ibadah Agama Jaina
Ada beberapa kuil Jain yang indah di India, meskipun sebagian besar struktur kuil Jain lebih terstruktur. Kuil Jain memuat gambar Tirthankara, baik dalam posisi sedang bermeditasi duduk atau berdiri. Sebuah gambar Tirthankara yang sedang duduk biasanya menjadi fokus interior kuil. Umat Jain membuat persembahan kepada gambar sebagai bagian dari ibadah mereka. Kuil Jain bervariasi, dari yang sangat besar dan rumit, hingga yang sederhana. Kedua sekte Jain terbesar menghias kuil mereka dengan cara yang berbeda:
Svatembara; Dalam candi Jain Svatembara selalu dihiasi dengan gambar yang dicat matanya dengan ornamen emas, perak, dan permata di dahi. Selain itu, mereka juga memberikan persembahan berupa dekoratif bunga, daun, cendana, kunyit, kapur barus, daun, emas atau perak, mutiara, batu mulia, atau perhiasan kostum (seperti dalam festival). Persembahan ini diperbarui sebagai tanda pengabdian.Digambara; Dalam candi Jain Digambara, patung Thirtankara hanya dicat dan polos, tanpa perhiasan lainnya.
Kuil Jain yang berada di jalan lintas kota, banyak umat yang datang seperti yang mereka lakukan setiap hari, untuk doa pagi dan puja, setelah mandi dan didandani dengan pakaian putih bersih, dan beberapa orang menggunakan masker, yang tujuannya untuk menghormati prinsip mereka, Ahimsa, yang digunakan untuk mencegah kerugian makhluk hidup di udara karena napas mereka.
2.1.2. Epistemologi Ajaran Filsafat Jaina
Inferensi dikatakan valid apabila mengikuti kaidah-kaidah yang tepat. Testimoni verbal dikatakan pengetahuan yang valid apabila memberikan laporan dari otoritas terpercaya yang diterima dari orang-orang suci yang telah terbebaskan, dan pengikut Jainayang telah mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ajaran-ajaran jaina. Pengetahuan diklarifikasi sebagai berikut :
1.      Pengetahuan langsung (Aparakosa).
2.      Pengetahuan antara/tidak langsung ( Parakosa).
3.      Pengetahuan salah (Samsaya/keragu-raguan).
4.      Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan tentang sesuatu seperti apa adanya.
5.      Naya adalah pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang atau pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.
Tiga jenis aparakosa yaitu : 1). Avadhi adalah kemampuan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh indriya, 2). Manahparyaya adalah telepati, 3). Kevala adalah kemahatahuan.
Dua jenis pengetahuan parakosa yaitu : 1). Sruta adalah pengetahuan yang diambil dari otoritas. 2). Mati adalah pengetahuan yang mencangkup pengetahuan perseptual daninferensial. Perseptual dalam arti pengetahuan itu diperoleh melalui panca indriya. Cakupan pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran disebut pengetahuan konseptual.Inferensial dimaksudkan pengetahuan yang diperoleh dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan faktual yang diambil sebagai bukti bagi kesimpulan.
Pernyataan-pernyataan itu mengandung dua aspek yaitu: (1). Aspek deduksi adalah suatu proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis-premis) sehingga tercapai kesimpulan yang pasti dengan aturan-aturan logika. (2). Aspek induksi adalah menarik kesimpulan tidak berdasarkan pernyataan-pernyataan (premis-premis ) menurut keharusan logika.

2.1.3. Konsep Ketuhanan Menurut Jaina.
Sebagai paham yang bebas dari kekuasaan Veda, Jaina  juga merupakan sejenis gerakan keagamaan yang menentang agama Hindu dan memberontak atas kekuasaan kaumBrahmana. Atas dasar ini Jaina memandang Tuhan bukan roh Yang Maha Agung. Fahamnya dikatakan sebagai agama Iihad (tidak mempercayai Tuhan), namun percaya pada roh-roh yang telah terbebaskan (Sidas). Mereka itu adalah roh para Thirthankara. Jainatidak menerima bukti-bukti perwujudan Tuhan sebagai mana agama Hindu mewujudkannya, yang diakuinya hanyalah roh para Thirthankara. Kondisi ini memunculkan kepentingan-kepentingan negatif seperti kepercayaan korban dalam ritual seperti agama Hindu lakukan, tidak mau mengklaim keistimewaan dan kelebihan kaum Brahmana seperti yang diklaim agama Hindu.

2.1.4. Konsep Alam Semesta Ajaran Jaina.
Jain percaya bahwa alam semesta kita dan hukum-hukum alam yang abadi, tanpa awal atau akhir. Namun, terus-menerus mengalami perubahan siklus. alam semesta kami ditempati oleh makhluk hidup (jiva) dan objek non-hidup (Ajiva).  samsarin (duniawi atau biasa) jiwa menjelma dalam berbagai bentuk kehidupan selama perjalanan dari waktu ke waktu. Manusia, sub-manusia (hewan, serangga, tanaman, dll), super-manusia (surgawi), dan neraka-yang adalah empat bentuk makro dari jiwa samsari. Suatu makhluk hidup yang pikiran, ekspresi dan tindakan dilaksanakan dengan maksud lampiran dan penolakan, menimbulkan akumulasi karma. Influxes ini karma pada gilirannya memberikan kontribusi untuk menentukan keadaan masa depan kita yang baik bermanfaat dan menghukum. 
2.1.5. Prinsip Ajaran Filsafat Jaina.
Jainisme mendorong perkembangan spiritual melalui budidaya pribadi kebijaksanaan sendiri dan ketergantungan pada pengendalian diri (sumpah).Hak persepsi, Hak pengetahuan, dan Kanan melakukan ( permata tripel Jainisme ) memberikan jalan bagi mencapai pembebasan (moksha) dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).  Jainis percaya bahwa untuk mencapai pencerahan dan akhirnya pembebasan, seseorang harus mempraktekkan prinsip-prinsip etika berikut (utama sumpah) dalam pemikiran, ucapan dan tindakan. Sejauh mana prinsip-prinsip ini dipraktekkan berbeda untuk kepala keluarga dan biarawan mereka adalah:
a)      Non-kekerasan (Ahimsa), untuk menyebabkan kerugian tidak untuk makhluk hidup, Ini adalah janji mendasar dari mana semua lainnya sumpah batang, Ini melibatkan meminimalkan kerugian disengaja dan tidak disengaja ke makhluk hidup lainnya, "Non-kekerasan" kadang-kadang diartikan sebagai tidak membunuh, namun konsep jauh melampaui itu, Ini termasuk tidak merugikan atau menghina makhluk hidup lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui orang lain, Tidak bisa bahkan tidak ada ruang untuk berpikir untuk melukai orang lain, dan tidak ada pidato yang mempengaruhi orang lain untuk menimbulkan bahaya.
b)      Sejati (Satya), untuk selalu berbicara kebenaran dengan cara yang tidak berbahaya, Seseorang yang berbicara kebenaran menjadi dapat dipercaya seperti ibu, terhormat seperti pembimbing dan sayang kepada semua orang seperti saudara yang, Mengingat bahwa non-kekerasan memiliki prioritas, semua prinsip-prinsip lain hasil untuk itu, setiap kali ada konflik. Sebagai contoh, jika kebenaran berbicara akan mengakibatkan kekerasan, sangatlah etis untuk diam. 
c)      Non-mencuri (Asetya), untuk tidak mengambil sesuatu yang tidak rela diberikan, adalah ketaatan pada milik sendiri, tanpa keinginan untuk mengambil orang lain, Satu harus tetap puas dengan apa pun yang diperoleh melalui kerja jujur, Setiap usaha untuk memeras kekayaan materi dari orang lain dan / atau mengeksploitasi yang lemah dianggap pencurian, beberapa pedoman prinsipnya adalah : Selalu memberi nilai wajar orang tenaga kerja atau produk, jangan pernah mengambil hal-hal yang tidak ditawarkan, jangan pernah mengambil barang-barang yang ditempatkan, terjatuh atau dilupakan oleh orang lain. 
d)     Selibat (Brahmacharya), untuk mengontrol indera termasuk pikiran dari kesenangan.Tujuan dasar dari sumpah ini adalah untuk menaklukkan semangat dan untuk mencegah pemborosan energi.Dalam sumpah ini, pemegang rumah harus tidak memiliki hubungan sensual dengan orang lain selain pasangan sendiri. Jain biarawan dan biarawati harus berlatih berpantang penuh dari seks.
e)      Non-kepemilikan atau Non-materialisme (Aparigraha), untuk melepaskan diri dari orang, tempat, dan hal-hal material.Kepemilikan benda itu sendiri tidak posesif, namun keterikatan terhadap objek adalah posesif.Untuk rumah tangga, non-kepemilikan adalah memiliki tanpa lampiran, karena gagasan kepemilikan adalah ilusi.Realitas kehidupan adalah perubahan yang konstan, dengan demikian, benda yang dimiliki oleh seseorang hari ini akan menjadi milik orang lain di masa depan.  rumah tangga didorong untuk melepaskan nya tugas kepada orang-orang terkait dan benda-benda sebagai wali amanat, tanpa lampiran berlebihan atau keengganan.Untuk biarawan dan biarawati, non-kepemilikan adalah penolakan lengkap properti dan hubungan termasuk rumah dan keluarga.
2.1.6. Konsep Roh Menurut Ajaran Jaina.
Percaya adanya roh yang banyak artinya terdapat roh sebanyak tubuh hidup, tidak hanya dalam manusia, binatang, tetapi juga dalam tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu sekalipun ada roh. Tidak semua roh memiliki kesadaran yang sama, karena keterbatasan pengetahuan, tenaga, dan mengalami ragam penderitaan. Setiap roh suatu saat mampu mencapai kesadaran, kebahagiaan, dan kekuatan tak terbatas.Masalahnya ia terbelenggu. Belenggu roh harus disingkirkan dengan cara : 1). Melalui keyakinan yang sempurna terhadap keyakinan ajaran guru Jaina. 2). Memahami dan berlaku benar sesuai ajaran-ajaran Jaina (ahimsa, mencuri, kemelekatan obyek indriya).
2.1.7. Konsep Karma dan Pengembalian Roh.
Menurut jaina, karma adalah sesuatu yang wujud dan bersifat kebendaan bercampur dengan roh yang seolah-olah memegang kendali. Percampuran ini diibaratkan air bercampur dengan susu. Begitulah karma berbaur dengan roh dengan demikian jadilah roh sebagai tahanan dalam kekuasaan karma. Jaina adalah filsafat dan juga agama. Dalam aspek religinya ia percaya pada karma dan kelahiran kembali yang lazim diistilahkan sebagai pengembalian roh. Untuk lepas dari cengkraman karma, diperlukan kontinyuitas kelahiran hingga suatu saat menjadi suci, dan kemauan keduniawian menjadi hilang, yang ada hanya roh yang kekal dalam kenikmatan yang abadi. Roh dikatakan jamak, terdapat roh sebanyak tubuh yang ada baik manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta bahkan debu sekalipun, memiliki pengetahuan dan tingkat yang berbeda. Untuk membuktikan roh diperlukan persepsi artinya ketika seseorang secara internal memahami kenikmatan, penderitaan dan kualitas-kualitas lain, maka pada saat itulah roh dipandang sebagai roh yang terbelenggu, Jiwatman memiliki badan jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma sehingga kemuliaannya ternoda. Oleh karena itu Jaina menyarankan agar mengeliminasi roh / jiwatman dengan karma, mengembalikan jiwa pada kemuliaannya, bila berhasil disebut penyelamatan.

3.1. Pengertian Ajaran Filsafat Carwaka.
Secara etimologi kata Carvaka  berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti ujaran, sehingga Carvaka berarti kata-kata yang manis. Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam hanya terbentuk oleh  bhuta elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah. Carvaka di dirikan Brhasvati. Cirinya materialistis, hedonis. Aliran ini tidak menerima kehidupan setelah kematian. Alasannya kehidupan di akhirat tidak bisa di verifikasi, apalagi belum seorangpun yang menyaksikannya, jadi aliran ini hanya mengakui eksistensi duniawi dan menolak kebakaan jiwa. Aliran Carvaka yang selalu menganggap kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya atman dan Tuhan, membuat aliran Carvaka ini memiliki beberapa inti ajran atau otoritas aliran Carvaka 
3.1.1. Konsep Ketuhanan Ajaran Filsafat Carwaka.
Tuhan yang keberadaannya  tak dapat dipersepsikan, tak jauh berbeda dengan keberadaan roh/jiva tadi. Kaum Carvaka menyatakan bahwa unsur-unsur material itu sendiri telah memiliki sifat-sifat yang pasti (svabhava). Bahwa dengan sifat dan hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka bergabung bersama untuk membentuk dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia ini merupakan hasil dari rencana apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil secara kebetulan dari unsur-unsur tersebut. Jelas disini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada atheisme.
            Karena sejauh ini teori carvaka mencoba untuk menjelaskan dunia hanya dengan sifatnya saja, maka ia kadang-kadang disebut natularisme (svabhava-vada). Ia juga disebut mekanisme (yadrcch-vada), karena menolak keberadaan keperluan sadar dibalik dunia ini dan menjelaskannya sebagai kombinasi unsur-unsur secara kebetulan atau mekanikal saja. Teori Carvaka secara keseluruhan juga dapat disebut positifisme, karena ia hanya percaya pada kenyataan positif atau penomena yang dapat diamati saja.
             Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaan-Nya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Ajaran Carvaka didalam pandangan Macrokosmos ini mereka hanya menggangap Veda adalah sebuah imajinasi seorang Pendeta. Jadi dalam ajaran Carvaka ini lebih menekankan bahwa Microkosmos itu tercipta dengan unsure-unsur material tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta.

3.1.2. Konsep Terciptanya Dunia.
Dengan menganggap sifat-sifat dari dunia material, kebanyakan para pemikir India lain berpendapat bahwa ia tersusun atas lima unsur (panca maha bhuta), yaitu: ether (akasa), udara (vayu), api (agni), air (apah) dan tanah (ksiti). Tetapi kaum carvaka menolak anggapan tersebut, karena unsur ether keberadaannya tidak dapat dirasakan. Mereka menganggap bahwa dunia material ini hanya tersusun atas empat unsur saja, yaitu : udara, api, air, dan tanah yang semuanya dapat dirasakan. Bukan hanya obyek-obyek material mati saja, tetapi organisme hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan badan binatang, semuanya tersusun dari empat unsur yang berkombinasi sehingga mereka dapat hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.
3.1.3. Konsep Tentang Roh.
Kaum Carvaka tidak percaya akan adanya roh/ jiwa, karena mereka tak melihat dan merasakan adanya roh/ jiwa. Jika seseorang menyatakan “saya gemuk”, “saya pincang”, “saya buta” dan sebagainya semuanya ini bertalian dengan badan yang terbuat dan terjadi dari material. Ketika ada pertanyaan mungkinkah kumpulan dari benda – benda materi itu menjelmakan sesuatu yang hidup? Mereka menjawab bahwa sifat-sifat tersebut aslinya tak ada pada setiap komponen, namun akan segera muncul apabila komponen-komponen tersebut menyatu. Umpamanya: daun sirih, kapur, gambir, pinang, tak satu pun dari padanya asalnya berwarna merah, namun secara bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah bila ditumbuk atau dikunyah jadi satu. Atau, benda yang sama pun dalam kondisi berbeda dapat menimbulkan sifat yang berbeda dengan aslinya. Umpamanya, gula tebu yang aslinya manis tak beralkohol akan menjadi beralkohol apabila ia dibiarkan berfermentasi. Berhubung adanya kemungkinan demikian, dengan cara yang sama kita dapat berpikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi dalam cara khusus akan menimbulkan sesuatu benda hidup.
            Karena ketidak percayaan mereka akan adanya roh/jiwa maka sudah sewajarnya mereka tidak percaya akan adanya kehidupan masa lalu, kehidupan nanti, kelahiran kembali, menikmati buah perbuatan di surga atau neraka semuanya tidak ada artinya sama sekali. Dan oleh karena itu pula mereka tidak berusaha untuk hidup secara baik, dan bermoral tinggi, karena mereka tidak percaya akan adanya phala (hukuman) setelah mereka mati. Bagi kaum Carvaka kematian dari badan adalah akhir dari segalanya.

3.1.4. Pandangan Makrokosmos dan Mikrokosmos.
Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaan-Nya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Ajaran Carvaka didalam pandangan Macrokosmos ini mereka hanya menggangap Veda adalah sebuah imajinasi seorang Pendeta. Jadi dalam ajaran Carvaka ini lebih menekankan bahwa Microkosmos itu tercipta dengan unsure-unsur material tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta.




3.1.5. Konsep Etika Dalam Ajaran Carwaka.
Kaum Carvaka membahas masalah-masalah etika ini dalam persesuaian dengan teori-teori metafisika mereka. Beberapa orang filsuf India seperti para pengikut Mimaysa percaya bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah surga (svarga) yang merupakan keadaan bahagia yang tak terlukiskan, yang dapat dicapai nantinya dengan melaksanakan upacara-upacara Vedik disini (dalam kehidupan ini). Kaum Carvaka menolak pandangan ini, karena hal itu didasarkan pada keberadaan kehidupan setelah mati yang tak dapat dibuktikan. ’Surga’ dan ’neraka’merupakan ciptaan para pendeta yang minat profesinya terkandung dalam membujuk, mengancam dan membuat orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara. Orang-orang bijaksana akan senantiasa ditolak dan dibohongi oleh mereka.
Disamping menolak otoritas kitab Ășuci, pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan setelah mati, kaum Carvaka tentu saja juga menolak untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau menghindar dari neraka atau pun menghormati roh-roh leluhur. Mereka menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (uraddha) bagi para roh leluhur dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang yang tinggal dilantai atasnya.
Dengan demikian agama dirubah menjadi moralitas dan moralitas untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaumCarvaka hanyalah berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialitisnya saja.





3.1.6. Tujuan Akhir Filsafat Carwaka.
Beberapa aliran filsafat India umpama Mimamsa, percaya bahwa tujuan tertinggi dari manusia adalah mencapai surga yaitu tempat yang serba sukha yang bisa dicapai dengan Upacara menurut ajaran Weda. Tetapi orang Carvaka menolak teori ini karena Mimamsa itu tidak bisa membuktikan adanya hidup sesudah mati. Surga dan Neraka itu hanyalah buatan para Pendeta untuk memaksa agar rakyat melakukan upacara – upacara. Pendapat Mimamsa itu tidak diakui kebenarannya oleh aliran – aliran filsafat lainnya; karena mereka percaya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah Moksa yaitu mendapat tempat dimana semua penderitaan – penderitaan menjadi sirna (hilang). Tetapi golongan Carvaka menentang pendapat ini; karena Moksa berarti terlepasnya jiwa dari belenggu lingkaran lahir mati (incarnasi). Sedangkan Carvaka tidak percaya akan adanya jiwa itu sendiri. Sehingga tidak percaya juga akan adanya Moksa. Surga dan Neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini.
Orang – orang Carvaka itu percaya bahwa badan manusia itu sudah terikat oleh perasaan senang ataupun sedih, tidak bisa dilepaskan lagi yang mengakibatkan bertemunya dengan Surga atau Neraka. Yang dapat diusahakan oleh manusia yaitu mempersedikit perasaan sedih/ sakit, karena menghabiskan sama sekali sedih/ sakit sama dengan kematian. Menurut tanggapan Carvaka, tujuan hidup utama/ tujuan tertinggi dari hidup kita ini ialah: Kesenangan. Oleh karena itu, pendapat Carvaka ini di dunia barat dinamai Hedonisme (teori bahwa kesenangan adalah tujuan hidup tertinggi). 









BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Kelompok  Nastika adalah kelompok filsafat yang tidak mengakuikewenangan atau otoritas Veda. Kelompok Astika sering pula disebut kelompok orthodok dan theis, maka dalam hubungannya dengan agama Hindu kelompok Astika diakui sebagai ajaran filsafat Hindu. Akan tetapi, kelompok Nastika atau yang sering disebut dengan kelompok heterodoks dan atheis karena tidak mengakui kewenangan Veda, maka kelompok ini tidak termasuk kedalam sebutan filsafat Hindu.
Kelompok Nastika terdiri dari Buddha, Carwaka dan Jaina. Namun dimakalah ini yang akan dibahas ialah Carwaka dan Jaina. Jainisme adalah salah satu ajaran paham jaina di india, yang golongkan ke dalam nastika (heterodoks) karena tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah heterodoks , atheisme namun spiritual. Jaina merupakan sebuah agama minoritas, yang masih hidup hingga saat ini di india. Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya.  Pendiri filsafat Carwaka ialah Bhagavan Wrhaspati, dengan penekanan pengajaran pada aspek material sebagai tujuan hidup tertingi dan tidak percaya akan adanya kehidupan di akhirat. Tradisi yang dikembangkan Carwaka adalah Heterodoks, Atheisme, materialistic.
               


DAFTAR PUSTAKA


Maswinara I Wayan.2006.Sistem Filsafat Hindu.Sarva Darsana Samgraha.Surabaya.Paramitha.
Sumawa, I Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka : Jakarta.

http//: ngurah91.blogspot.com/2017/04/filsafat-jaina-lengkap.html






https://agamaminorr.wordpress.com/2013/05/28/agama-jaina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar