Jumat, 07 Desember 2018

Makalah Agama Buddha


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam kepercayaan para pemeluk agama Budha, diketahui beribu-ribu orang yang mendapatkan gelar kehormatan Budha. Untuk masa sekarang, orang yang dapat pencerahan dan gelar tersebut adalah siddhartha Gautama, Budha yang ke 28 sekaligus sebagai pendiri agama Budha sebagaimana yang kita kenal.
Selain mendapat gelar Budha, Siddartha juga telah mendapat gelar Bhagoua (orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), sakya mimi (petapa dari suku Sakya), Sakya sumba (singa dari suku Sakya), Sugata (orang yang datang dengan selamat), Suaria Siddha (orang yang terkabul semua permintaanya).
Jika kita telusuri lebih jauh, secra etimologi , kata Budha ini berasal dari “Buddh” yang berarti bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah atau awam. Kata kerjanya “bujjhati”, antara lain berarti bangun, mendapatkan pencerahan, mengetahui, mengenal, atau mengerti. Dengan kata lain, Budha mengandung beberapa pengertian, di antaranya ialah orang yang telah memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang sadar secara spiritual, orang yang siap sedia menyadarkan orang lain secara spiritual, serta orang yang bersih dari kotoran batin yang berupa dosa (kebencian), labha (serakah), dan moha(kegelapan).
Dengan demikian Budha adalah orang yang telah mencapai penerangan sempurna. Semua yang serupa dengan Siddartha Gautama yang menjadi pendiri agama Budha, telah mendapatkan julukan dengan nama Budha, karena ia adalah seorang yang telah mencapai penerangan sempurna, pada waktu usia 35 tahun atau lebih dari 2.500 tahun silam di India.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah pokok ajaran agama Budha, konsep ketuhannan dan kitab suci agama Budha , dan hari raya agama budha ?
1.2.2        Bagimana tempat ibadah, perkembangan agama Budha dan relasi manusia, tuhan dan alam.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan lebih mengenal agama Budha agar masyarakat dapat hidup berdampingan meski dengan perbedaan agama dan ajaran


























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pokok Ajaran Agama Budha, Konsep Ketuhannan Dan Kitab Suci Agama Budha
Siddartha adalah putra dari raja Sudhodana Gautama dan Dewi Mahamaya dari kerajaan kecil di Kapilawastu yang memerintah atas suku Sakya di India utara yang berbatasan dengan nepal. Menurut beberapa literatur, ia dilahirkan pada tahun 563 SM di India utara, sekitar 100 mil dari Benares, dan Wafat pada tahun 483 SM.Banyak orang meyakini bahwa Siddartha memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Konon keistimewaan itu sudah terlihat dan mengiringi Siddartha sejak ia masih didalam kandungan. Setelah mengalami proses kelahiran yang penuh keajaiban itu, Siddartha  Gautama menjalani hidup sebagai putra raja Sudhodhana. 
Setelah melalui perjuangan yang panjang melalui beberapa ritual yang ia lakukan, akhirnya Siddartha berhasi mendapatkan penerangan dan menjadi Budha. Dalam meditasi itu, Siddartha berhasil mendapat petunjuk berupa ilmu pengetahuan tinggi yang meliputi hal-hal berikut:
1.         Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
2.          Dibacakku, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin.
3.         Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruknya bergantung pada perilaku masing-masing.
4.         Asyakkhyanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan avidya, tentang menghilangkan ketidak tahuan.
Akhirnya, pada usia 35 tahun, siddartha berhasil menjadi budha setelah tercapainya penerangan tersebut. Ia pun menjadi Accharya Manusa atau guru bagi manusia untuk mendapatkan penerangan hidup dan melepaskan diri dari kesengsaran.
Setelah mendapatkan penerangan dan pengetahuan yang sempurna, Siddartha bangkit dari pertapaannya dan berangkat menuju khota Benares, tempat suci dan tempat ziarah bagi penganut agama Hindu. Sebelum sampai dikota Benares, disuatu tempat yang bernama Sarnath, ia berjumpa dengan lima rahib bekas muridnya.
Kelima murid sidarta tersebut yang kemudian menyampaikan dan mengajarkan himpunan ucapannya, yang disebut sebagai kotbah pertama (first sermon) dalam sejarah agama Bhuda. Kotbah pertama itulah yang menjadi asas dasar ajaran dari seluruh ajaran agama Budha yang kemudian terkenal dengan sebutan”empat kebenaran utama” (catu arya sacca) dan “ delapan jalan kebajikan”(arya attha ngika magga).
2.2  Pokok – Pokok Ajaran Agama Budha
Agama Budha yang oleh umat Budha dikenal sebagai Budha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Budha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha).
Ada pun pokok ajaran agama Budha yaiti :
Tiratana (Tiga Mustika)
A.    Budha Ratana (Mustika Budha), yaitu Sang Budha Gotama adalah Guru Suci Junjungan kita, yang telah memberikan pelajaranNya kepada umat manusia dan para dewa untuk mencapai Kebebasan Mutlak atau Nibbana.
B.     Dhamma-Ratana (Mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma adalah pelajaran Guru Suci Junjungan kita Sang Budha Gotama yang menunjukkan umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, terbebas dari kejahatan, dan membimbing mereka mencapai Nibbana.
C.     Sangha-Ratana (Mustika Sangha), yaitu Sang Ariya Sangha adalah Persaudaraan Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian (Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat), sebagai pengawal dan pelindung Dhamma, dan mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakan sehingga mencapai Nibbana.
Kebajikan Sang Budha
a.       Araham : Manusia suci yang terbebas dari kekotoran bathin.
b.      Sammasambuddho : Manusia yang mencapai Penerangan Sempuma dengan kekuatan sendiri.
c.       Vijjacaranasampanno : Manusia yang mempunyai pengetahuan sempuma dan melaksanakannya
d.      Sugato: Yang Terbahagia
e.       Lokavidu: Manusia yang mengetahui dengan sempuma keadaan setiap alamo
f.       Anuttaro purisadammasarathi : Pembimbing umat manusia tanpa bandingan
g.      Satthadeva manussanam : Guru Suci Junjungan para Dewa dan manusia
h.      Buddho: Pembangun Kebenaran
i.        Bhagava: Junjungan
Kebajikan Sang Dhamma
a.       Svakkhato Bhagavata Dhamma : Dhamma adalah Ajaran Sang Budha yang sempuma.
b.      Sanditthiko : Pelaksana yang melihat Kesunyataan dengan kekuatan sendiri.
c.       Akaliko: Terbebas dari keadaan dan waktu.
d.      Ehipassiko: Mengundang datang memeriksa.
e.       Opanayiko: Patut dilaksanakan.
f.       Paccatam Veditabbo Vinnuhi : Dapat diselami oleh para Bijaksana dalam bathinnya.
2.3  Ajaran ketuhanan dalam agama Budha
Perlu di tekankanbahwa di dalamajaranBudha yang sesungguhnya (aslinya) sang BudhaSidharta Gautama bukanlahtuhanmelainkanhanyalahseorang guru, jurupandubagimanusia. Konsepketuhanandalam agama Budhaberbedadengankonsepdalam agama samawidimanaalamsemestadiciptakanolehtuhandantujuanakhirdarihidupmanusiaadalahkembalikesurgaciptaantuhan yang kekal, tetapikonsepdidalam agama Budhabahwasannyaasalmuasaldanpenciptaanalamsemestabukanberasaldarituhan, melainkankarenahukumsebabdanakibat yang telahdisamarkanolehwaktu, dantujuanakhirdarihidupmanusiaadalahmencapaikeBudhaan (anuttarasamyaksambodhi) ataupencerahansejatidimanabatinmanusiatidakperlulagimengalami proses tumimballahir. Untuk  mencapaiitupertolongandanbantuanpihak lain tidakadapengaruhnya, tidakadadewa-dewi yang dapatmembantu, hanyadenganusahasendirilahkeBudhaandapatdicapai. Budhahanyamerupakancontoh, jurupandu, dan guru bagimakhluk yang perlumelaluijalanmerekasendiri, mencapaipencerahanrohani, danmelihatkebenaransertarealitassebenar-benarnya. Bilakitamempelajariajaran agama Budhaseperti yang terdapatdalamkitabsuciTipitaka, makabukanhanyakonsepketuhanan yang berbedadengankonsepketuhanandalam agama lain, tetapibanyakkonsep lain yang tidaksama pula. Konsep-konsep agama Budha yang berlainandengankonsep-konsepdari agama lain antara lain adalahkonsep-konseptentangalamsemesta, terbentuknyabumidanmanusia, kehidupanmanusia di alamsemesta, kiamatdankeselamatanataukebebasan.
Tuhandalam agama Budha yang bersifat non-teis (yakni, padaumumnyatidakmengajarkankeberadaantuhan sang penciptaataubergantungkepadatuhan sang pencipta demi dalamusahamencapaipencerahan, sang Budha Gautama  adalahpembingbingatau guru yang menunjukkanjalanmenujunirwana ) sertaselamahidupnyaBudha Gautama tidakpernahmengajarkancara-caramenyembahkepadatuhanmaupunkonsepsiketuhananmeskipundalamwejangannyakadang-kadangmenyebuttuhan, ialebihbanyakmenekankanpadaajaranhidupsuci, sehinggabanyakparaahlisejarah agama dansarjanateologiislammengatakan agama Budhasebagaiajaran moral belaka.jikadiperhatikandalamperkataanataukhotbah-khotbahBudha Gautama dansoaljawabnyadengankelimatemannya di Benares, iatidakpercayakepadatuhan-tuhan yang banyak, dewa-dewa, danberhala-berhala yang dipujadandisembahsepertihalnyadalam agama hindu, bahkanpenyembahandemikiandiceladalamajaran  Budhadanoleh sang Budha Gautama itusendiri. Akan tetapiketuhanan brahma, tetap di akuiolehBudhasidharta Gautama, iatetapmengakui brahma sebagaituhannya.
Umat Budha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai dewa, tetapi mereka seperti manusia, yang dikatakan menderita di samsarabelum tentu lebih bijaksana daripada makhluk lainnya. Bahkan Budha sering disebutkan sebagai guru para dewa dan lebih unggul dari mereka, meskipun dewa-seperti semua makhluk hidup lainnya mungkin menjadi Bodhisattva tercerahkan dan mencapai kesucian
2.4  Kitab Suci Budha
Tipitaka adalah Kitab Suci Agama Budha. Kitab Suci ini dikenal dengan nama Kanon Pali karena tertulis dalam bahasa Pali. Kitab ini adalah Kitab Suci Agama Budha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang.Selain yang berbahasa Pali, Budha juga memiliki Kitab yang menggunakan Bahasa Sansekerta yaitu Tripitaka. Tetapi diantara kedua versi tersebut, hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali) yang masih terpelihara secara lengkap.
Kitab ini berisi kumpulan ceramah, keterangan, perumpamaan dan percakapan Budha dengan para murid dan pengikutnya.Kitab Tipitaka ini terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebutlah maka Kitab Suci Agama Budha dinamakan Tipitaka.
1.      KitabVinayaPitaka
Kitab ini berisi aturan-aturan untuk para Bhikku dan Bhikkhuni yang dibagi lagi dalam tiga Kitab, yaitu Sutra Vibanga, Khandaka, dan Paravira.
Sutra Vibanga, berisi delapan jenis pelanggaran, yang diantaranya ada pelanggaran yang berakibat seorang Bhikku dan Bhikkhuni dapat dikeluarkan dari sangha.Khandaka, berisi aturan-aturan mengenai upacara panahbisan Bhikkhu atau Bhikkhuni, tata tertib penerimaan Bhikkhu dan pelanggaran-pelanggarannya.Parivara, berisi ringkasan peraturan vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipakai dalam pengajaran.
2.      Sutta Pittaka
Kitab ini terdiri dari lima buku, yaitu : Digha Nikaya, buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Silakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga.Majjhima Nikaya, buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa): dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta.
Anguttara Nikaya, buku ketiga dari Sutta Pitaka yang terbagi atas sebelas nipata dan meliputi 9.557 sutta.Samyutta Nikaya, buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta.Khuddaka Nikaya, buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas lima belas kitab, yaitu : Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Sutta Nipata, Vimanavatthu, Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa, Patisambhidamagga, Apadana, Budhavamsa, dan Cariyapitaka.
3.      AbhidammaPitaka
Kitab ini  berisi uraian filsafat Budha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencangkup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku, yaitu :
Dhammasangi, membahas etika yang dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
Vibhanga, membahas apa yang ada dibuku Dhammasangani dengan metode yang berbeda.Dhatukatha, membahas unsur-unsur batin.
a)      Puggalapannatti, membahas jenis-jenis watak manusia
b)      Kathavatthu, membahas kumpulan percakapan-percakapan dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
c)      Yamaka, membahas Mula, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
d)     Patthana, membahas sebab-sebab yang berkenaan dengan 24 Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Perbedaan ketiga kitab tersebut terletak pada gaya bahasanya. Kalau Kitab Abhidhamma Pitaka gaya bahasanya bersifat sangat teknis dan analitis, sedangkan Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka gaya bahasanya bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.
2.5  Hari Raya Agama Buddha
Berdasarkan kitab Suci Tipitaka (Pali) umat Buddha merayakan empat hari raya utama. Empat hari raya utama tersebut adalah:
1.      Magha Puja (Hari Magha), biasanya jatuh pada purnama siddhi dibulan Februari-Maret. Pada hari ini memperingati dua kejadian penting dalam masa hidup Sang Buddha. Kejadian penting pertama ialah berkumpulnya 1250 orang arahat di vihara Veluvana, Rajagaha. Keistimewaan dan kejadian ini adalah:Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang berkumpul itu semuanya arahat.Mereka semua adalah ‘Ehi Bhikku’, yaitu para bhikkhu yang ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri.Mereka semua datang tanpa berjanji (persetujuan) terlebih dahulu.Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajarannya yang disebut Ovada Patimokka.Kejadian penting yang kedua terjadi pada tahun terakhir dari kehidupan Sang Buddha, yaitu sewaktu Beliau berada di Cetiya Capala di dekat kota Vesali. Setelah Beliau memberikan khotbah Iddhipada Dhamma kepada para siswaNya. Beliau berdiam sendiri dan membuat keputusan untuk wafat tiga bulan kemudian. Dua kejadian penting ini terjadi pada purnama siddhi di bulan Magha namun pada tahun yang berbeda.
2.      Visakha Puja (Hari Wesak), biasanya jatuh pada purnama siddi dibulan Mei-Juni, untuk memperingati kejadian penting yang berkenaan dengan Tathagata, yaitu :Saat lahirnya Pangeran Sidharta Gotama.Saat Petapa Siddharta Gotama mencapai penerangan sempurna (bodhi) menjadi Buddha.
3.      Asalha Puja (Hari Asadha), biasanya jatuh pada purnama siddhi bulan Juli-Agustus (dua bulan sesudah Wesak). Hari Asadha diperingati oleh umat Buddha karena beberapa alasan sebagai berikut:
4.      Hari dimana Sang Buddha memberikan khotbah yang pertama. Khotbah ini terkenal dengan nama “Dhammacakkappavatana Sutta” (Khotbah Pemutaran Dhamma).
5.      Sangha pertama muncul di dunia, sangha adalah salah satu faktor ‘sarana’ (perlindungan) dalam ‘Tisarana yaitu: Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi para bhikkhu, hari Asadha berarti pertanda akan dimulainya masa vassa pada keesokan harinya. Kata ‘vassa’ artinya hujan, jadi masa vassa bagi para bhikkhu adalah menetap di suatu tempat (vihara, cetiya bila ada kuti atau tempat tertentu), selama tiga bulan musim hujan. Pada masa ini para bhikkhu belajar, mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma, di samping itu mereka mengajarkan dan membina umat yang datang ke vihara (tempat ber-vassa) atau membina umat dengan cara mengunjungi para umat yang ada di daerah sekitar tempat ber-vassa.
6.      Kathina (Hari Kathina), dirayakan tiga bulan sesudah Hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan ‘katannukatavedi’ atau ‘menyadari perbuatan baik yang telah dilakukan’ oleh para bhikkhu (viharawan). Karena ketika viharawan berada di daerah untuk melaksanakan vassa selama tiga bulan, para viharaman mengajar, menuntun dan membina umat agar mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma. Ungkapan ini dinyatakan dengan mempersembahkan barang-barang kebutuhan beruba jubah, obat-obatan, perlengkapan vihara dan kebutuhan para viharawan sehari-hari kepada para bhikkhu atau viharawan lainnya. Upacara ini dapat dilangsungkan dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnya masa Vassa.

2.6  Bagimana tempat ibadah, perkembangan agama Budha dan relasi manusia, tuhan dan alam.
1.      Tempat ibadah umat beragama Budha
A.   Cetiya dalam agama Budha, berarti tempat pemujaan atau tempat koleksi objek pemujaan, sehingga layak diterjemahkan sebagai altar. Secara etimologi, kata cetiya atau caitya (Sanskerta) berasal dari kata c/7/ berarti gundukan tanah atau tumpukan bata yang berkaitan dengan makam. Cetiya ada hubungannya dengan thupa (Sanskerta, sthupa) yang berbentuk gundukan dan berfungsi tempat peninggalan yang dikeramatkan Budha, Arahat, Bodhisattva, atau makhluk suci lainnya. 
B.   Mahavihara atau arama lebih besar daripada vihara. Sarana mahavihara lebih lengkap daripada vihara. memiliki ruang ruang puja bakti untuk umum, Dhammasala, Uposatha, Kuti (tempat tinggal para bhikhu/bhikhuni), ruang pembacaan peraturan para Bhikkhu, ruang petahbisan Bhikkhu, perpustakaan, dan taman yang luas. 
Taman ini biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka. Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan ruang Dhammasala. Jika yang lebih besar bangunannya. Ada yang memisahkan ruangnya. Dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat berceramah dharma selain puja bakti.
C.   Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Budha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaandewa-dewi ataupun memuliakan Budha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Budha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
D.   Vihara
Vihara merupakan tempat umum bagi umat Budha untuk melaksanakan segala   macam   bentuk   upacara   atau   kebaktian   keagamaan   menurut keyakinan dan kepercayaan agama Budha

2.      Perkembangan agama Budha Di Indonesia
Buddhisme atau Agama Budha merupakan salah satu agama yang sejak lama telah dianut oleh sebagian besar masyarakat Nusantara. Jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit merupakan jaman keemasan bagi Buddhisme. Keberadaan Buddhisme di Nusantara (Indonesia) dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah berupa prasasti-prasasti dan bangunan-bangunan berupa candi serta literatur-literatur asing khususnya yang berasal dari Tiongkok.
Tradisi atau aliran Agama Budha yang dianut oleh masyarakat Nusantara pada awalnya adalah non-Mahayana, namun untuk perkembangan selanjutnya Mahayana dan Tantrayana menjadi lebih populer di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan sejarah yang memiliki nilai filsafat Mahayana dan Tantrayana.Dari peninggalan sejarah juga dapat dilihat bahwa telah terjadi sinkretisasi antara agama Hindu-Shiva dengan Buddhisme Mahayana di Indonesia.Setelah mengalami dua masa kejayaan, yaitu masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, akhirnya Buddhisme di Indonesia mengalami kemunduran setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.Namun setelah melalui empat jaman, setelah 500 tahun kemudian semenjak wafatnya Raja Brawijaya V pada tahun 1478 yang secara tradisi dianggap sebagai tahun runtuhnya Kerajaan Mahapahit (berdasarkan sejarah runtuh pada tahun 1527), Agama Budha mulai bangkit kembali dari tidurnya.

Perjalanan kebangkitan kembali dan perkembangan Agama Budha yang dimulai pada jaman penjajahan hingga sekarang melalui jalan yang berliku-liku. Berbagai permasalahan muncul silih berganti.

Pada jaman penjajahan, perkembangan Agama Budha menghadapi kendala berupa minimnya tokoh-tokoh yang memahami Budha Dharma dan menghadapi agresifitas para misionaris agama lain. Pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, perkembangan Agama Budha diwarnai oleh perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Budha sehingga menimbulkan gejolak di sana-sini hingga didirikannya beragam organisasi Buddhis baru. Selain itu, sikap pemerintah yang belum mengakui Agama Budha sebagai agama resmi, telah mempersempit gerak perkembangan Agama Budha. Namun pada masa ini lahirlah Sangha Indonesia sebagai pengayom umat Budha.

Agama Budha menjadi salah satu agama yang resmi mewarnai perkembangan Agama Budha pada era Orde Baru. Selain itu, terbentuknya Wadah Tunggal WALUBI serta kemelut dalam organisasi juga terjadi pada masa ini. Alih-alih mempersatukan seluruh umat Budha seluruh Indonesia, tidak begitu lama, kehadiran WALUBI menimbulkan kemelut dan perpecahan dikalangan umat Budha yang disebabkan adanya prasangka, kesalahpahaman, serta pemaksaan kepentingan pribadi dari beberapa oknum anggota pengurus WALUBI.

Pembubaran WALUBI-Lama dan mendirikan WALUBI-Baru dengan maksud mengubur permasalahan yang ada, nampaknya tidak memberikan dampak yang baik. Meskipun demikian, terdapat sisi terang dari kemelut yang terjadi. Setidaknya umat Budha akhirnya memiliki Lembaga Sangha yaitu KASI yang dapat duduk sejajar dengan lembaga-lembaga ulama dalam agama lain.

Akhirnya, melalui sejarah, generasi muda Buddhis akan mengingat dan mencatat bahwa dalam perkembangan Agama Budha di Indonesia, pernah terjadi konflik-konflik yang terjadi dalam tubuh organisasi Agama Budha. Hal ini merupakan sebuah peristiwa kelam yang terjadi dalam perkembangan Agama Budha di Indonesia. Peristiwa kelam ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila setiap anggota organisasi tidak mengedepankan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Generasi muda Buddhis juga diharapkan dapat mengedepankan kepentingan bersama, saling memahami serta selalu merujuk pada Dharma dan Vinaya yang telah dibabarkan oleh Budha Gautama (Pali: Gotama).

Seperti yang tertuang dalam Dhammapada 194: ”Kelahiran Budha merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan. Usaha perjuangan mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.”

Dalam era informasi atau era digital, dengan berkembangnya media komuniasi seperti internet, juga ikut memengaruhi perkembangan Agama Budha di Indonesia maupun di dunia. Seperti sebuah pisau yang dapat digunakan untuk keperluan memotong sayur dan dapat digunakan untuk tindakan kejahatan, media komunikasi yang di dalamnya terdapat media-media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk penyebaran Dhamma atau justru sebaliknya dapat menjauhkan seseorang dari Dhamma jika tidak diarahkah dengan benar.

Perkembangan pesat teknologi dan media komunikasi menuntut umat Buddhis Indonesia untuk tidak gagap teknologi informasi khususnya situs-situs media sosial yang berkembang. Dengan menguasai teknologi dan informatika umat Buddhis Indonesia dapat berperan dalam menyebarkan Dhamma demi kebahagiaan semua.
3.      Konsep Tuhan, Alam, dan Manusia dalam agama Budha
a.       Konsep Tuhan
Konsep tuhan dalam agama Budha sebenarnya tidak terlalu ditekankan bahwasannya ada suatu tuhan yang selalu di sembah layaknya dalam agama-agama lainnya, ketika sang Budha (Sidartagautama) ditanyakan tentang ketuhanan beliau diam, karena dalam ajaran Budha bukan itu yang ditekankan, tetapi bagaimana manusia bisa lepas dari penderitaan (dukkha). Setelah sang Budha meninggal ajaran tentang ketuhanan tidak juga mengalami perubahan, yang selalu ditekankan adalah bagaimana manusia terlepas dari dukkha dan tidak tumimba lahir, tetapi seiring berkembangnya zaman, agama Budha mengalami perkembangan diantaranya yaitu lahir dua sekte dalam agama Budha yaitu Staviravada dan Mahasanghika kedua sekte ini memiliki perbedaann tentang konsep ketuhanan, staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat kebudhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran Sang Budha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebudhaan telah ada pada setiap makhluk dan hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.Permasalahan diatas berkembang menjadi persoalan bagaiamana kedudukan sang Budha Ghautama dimata sang Budha, padaawalnya Budha gautama dipandang sebagai manusia yang telah mencapai keBudhaan, kemudian berkembang menjadi prinsip universal yang mewujudkan diri berupa makhluk- makhluk luhur yang menempati alam sorga. Makhluk luhur yang disebut Dhyani Budha ini dikelilingi para Boddhisatva yang tidak terhitungjumlahnya dan mirip dengan dewa dalam agama Hindu.
Dalam penjelasan yang lain, bahwa Tuhan yang Maha Esa dalam ajaran Budha Gotama atau Budha Shakyamuni dijelaksan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, dan merupakan suatu yang mutlak. Penjelasan ini tertera dalam kitab suci UdanaVIII: 3, sebagai berikut:
“ketahuilah para Bhikku bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikku, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, dari penjelmaan, pembentukan, pemunculan, dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.
Di dalam Hukum kesunyataan tentang Tri-Laksana (Skt)/Tilakhana (Pali) dijelaskan antara lain bahwa semua yang dilahirkan, yang tercipta, dan yang menjelma adalah tidak kekal dan dicengkeram oleh dukkha. Jika sesuatu Yang Tidak Tercipta, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, dan Yang Mutlak, itulah yang disebut Tuhan Yang Maha Esa, yang kekal dan abadi. Didalam kitab suci Saddharma Pundharika terdapat Sutra perihal ‘makna-makna yang tidak terhingga, dimana Hyang Budha antara lain membabarkan bahwa makna-makna yang tidak terhingga bersumber dari Hukum Tunggal’.
Dengan sabdaNya di dalam Sutra tersebut, Hyang Budha ingin mengungkapkan bahwa segala kejadian dan segala-galanya di dalam alam semesta bersumber dari Yang Maha Esa dan Hyang Budha menyebutnya sebagai hukum Tunggal’.
Menurut mazhab Theravada, apa yang disebut sebagai Tuhan tidak harus dipandang sebagai satu pribadi yang kepadanya umat Budha memanjatkan puja dan menggantungkan hidup mereka. Suatu pribadi (being), menurut Theravada, adalah terbatas dan akan selalu menjadi (dumadi, becoming). Karena itu tidak mungkin ada wujud (being) yang berpribadi (personal) yang kekal. Namun tuhan juga tidak dipandang sebagai “bukan pribadi” karena Tuhan mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non being, antara pribadi dan bukan pribadi. Penggambaran Tuhan menururt ukuran dan perasaan manusia selalu dihindari, karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan selalu diungkapkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan, karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan slelalu disebutkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta dan sebagainya.
Aliran teravadha mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hubungan dengan sebab akibat dengan alam semesta ini, karena jika Tuhan ada hubungannya dengan sebab akibat yang terjadi dengan alam ini, maka tuhan itu relatif, ini sangat kontra dengan ajaran Budha tentang Tuhan. Dalam bentuk kehidupan yang dahulu dan yang akan datang, adanya sesuatu yang baik dan yang buruk yang terjadi alam ini, Tuhan tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi dalam keagamaan Tuhan selalu mempunyai hubungan, dimana manusia selalu berusaha menjadi mahluk yang mencampai Nibbana, disitulah tuhan tempat tuhan yaitu meleburnya rohmanusia kembali kepada sangpencipta
b.      Konsep tentang Alam
Dalam agama Budha alam dinamakan sankhata  darma yaitu sesuatu yang ada, yang mutlak, selalu berubah-ubah dan tidak abadi, karena alam terbentuk dari sesuatu yang tidak abadi dan pada saatnya alam ini akan hancur. Alam timbul sesuatu yang terdahulunya ada selalu berubah secara teratur oleh karena itu alam disebut sankhara yang bersifat tidak kekal (atta atau anitya), selalu dalam perubahan (dukkha), tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.
Dalam agama Budha alam terbagi menjadi beberapa golongan yang pertama adalah Shankharloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak seperti benda-benda mati, batu, emas, logam, dan smeua sumber alamiah yang dibutuhkan oleh manusia. Termasuk dalam pengertian ini adalah alam hayat yang tidak mempunyai kehendak dan ciptaan pikiran seperti ide, opini, konsepsi, peradaban, kebudayaan, dan sebagainya.
Sattaloka adalah alam bagi makhluk-makhluk yang mempunyai kehendak, alamini terdiri dari makhluk makhluk yang derajatnya rendah sampai yang tinggi, seperti Syetan, Jin, Manusia, Dewa, dan Brahma. Makhluk- makhluk itu dibesarkan bukan berdasarkan jasmaninya, melainkan tumbuh dari sikap batin, atau sesuatu yang dialaminya seperti suka duka yang akhirnya menimbulkan akibatnya.
Kosmologi Budha berkembang dengan hubungan yang erat dengan pendapat-pendapat tentang susunan dan perkembangan alam semesta, yang telah lama berlaku di India sebelum zaman Budha. Demikianlah pula orang-orang Buddhis berkata tentang Kalpa-kalpa, ialah masa-masa yang sangat panjang, yang meliputi waktu antara terjadinya dan musnahnya suatu tatadunia. Setelah hancurnya suatu dunia kemudian barulah lahir dunia yang baru. Di dalam suatu masa dunia ada perkembangan kebudayaan yang naik turun, dan setiap kali ada kemunduran datanglah orang Budha yang menawarkan kembali jalan kelepasan kepada umat manusia. Jadi dipandang dari sudut manapun tidak ada juga perkembangan ke arah tujuan yang tertentu.
Dalam pejelasannya orang Budha menguraikan tentang kosmologi tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yaitu alam ini terdiri dari bulan, matahari, dan planet-planet hingga bergerak berputar pada porosnya secara teratur, begitulah yang dilukiskan orang tentang suatu jagatraya alam semesta yang tak terbatas jauhnya didalam ruang dan waktu.
Didalam tiap-tipa tatadunia dibedakan berbagai-bagai alam dimana umpamanya banyak dibicarakan tentang surga-surga dan neraka-neraka yang masuk pada tiap-tiap tatadunia. Tiap tatadunia digambarkan tersusun dari tiga buah alam berikut;
1.      Alam hawa nafsu. Alam ini terdiri dari bahan bahan yang kasar seperti api, udara, bumi, air, dan didiami oleh makhluk-makhluk yang berbadan kasar (jasmani). Di bawah sekali pada alam ini letak neraka-neraka yang dingin dan yang panas. Di atasnya letak bidang kepingan bumi dengan daratan dan lautan, yang terkumpul sekeliling gunung meru. Disinilah hidup binatang, manusia, hantu (preta) dan badan-badan halus yang jahat (asura). Disekitar Meru beredarlah matahari bulan dan bintan-bintang. Diatas meru tinggalah berbagai golongan dewa. Dewa-dewa lainnya tinggal di alam yang lebih tinggi lagi di dalam semacam istana yang melayang-layang. Tetapi makhluk-makhluk yang tertinggi inipun masih tetap di dalam kungkungan Karma.
2.       Alam bentuk (Rupavacara), memang benar makhluk-makhluk kedewataan atau dewa-dewa yang tinggal disini masih mempunyai badan yang lebih halus, tetapi mereka berada diatas hawa nafsu.
Di sini kami telah menyinggung ajaran tentang alam, yang dapat dicapai dengan pengheningan cipta di dalam semadi. Biksu yang bersemadi dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk yang hidup di alam ini.
3.      Alam dimana tidak terdapat bentuk (Arupavacara). Inilah alam dewa yang tidak berbadan, yang hidup di dalam alam tersebut di atas, yang dapat dicapai setelah tingkatan keempat di dalam pengheningan cipta.
Setelah apa yang kita lihat dari kosmologi, maka teranglah bagi kita, bahwa alam-alam, kemana biksu-biksu yang sedang bersemadi itu naik, tidak boleh dipandang sebagai keadaan-keadaan keadaran saja.
c.       Konsep tentang Manusia
Dalam ajaran agama Budha, manusia menempati kedudukan khusus dan tampak memberi corak yang dominan pada hampir seluruh ajarannya. Kenyataan yang dihadapi manusia dalam hidup sehari-hari merupakan titik tolak dan dasar dari seluruh ajaran Budha. Masalah manusia dibicarakan terutama dalam ajaran yang disebut Trilakhana, tiga corak umum agama Budha, Catur Arya Satyani, empat kasunyataan mulia, hukum karma atau hukum perbuatan dan tumimbalahir kembali.
Manusia dalam ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu rupakhanda, vedanakhanda, sannakhandha, shankharakhandha dan vinnanakhandha.
1.         Rupakhandha, atau kegemaran akan wujud atau bentuk, adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Termasuk dalam rupakandha ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan objek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium, ataupun tersentuh.     
2.          Vedanakhandha, atau kegemaran akan perasaan, adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah ataupun netral.
3.          Khandha ketiga, yaitu sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau baua, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.
4.          Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran ini terdiri dari 50 macam kegiatan mental seperti manasikara (perhatian), chanda (keinginan), sadha (kayakinan), viriya (kemauan keras), lobha (keserakahan) dan sebagainya. Kelima puluh macam kegiatan tadi selalu bergantung sama lain.
5.          Khanda kelima, yaitu vinanakhandha, atau kegemaran akan kesadaran, adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan objek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Agama budha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan india. Agama ini mulai muncul pada abad ke 6 SM. Pedoman dan hukum-hukum yang diajarakan oleh sidharta mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirwana. Agama budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Sidharta, putra raja Sudhodana Gautama dari kerajaan kecil kapilawastu yang memerintah suku Sakya di india utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM. Ajaran agama budha ada 3 yaitu Catur Arya Satyani, Nirwana, dan Arahat. Ada dua aliran didalam agama budha, yaitu Hinayana dan Mahayana.

                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar