Penghayat
Kapribaden
Disusun
oleh:
A.A
Dewi Kartika
Ketut
Deni Wiryanthari
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DARMA USANTARA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah penghayat kabribaden
Penghayat
Kepercayaan sebenarnya adalah penganut agama lokal. Kami mempercayai ajaran
leluhur kami yang sudah ada jauh sebelum agama-agama besar dari luar negeri itu
datang. Istilah ‘agama’ sendiri adalah istilah yang berasal dari bahasa lokal,
bukan bahasa dari luar.
Dalam
proses sejarah, setelah masuk agama-agama dunia, sebagian penganut agama lokal
berpindah keyakinan ke agama-agama baru itu. Ada yang melakukan sinkretisme,
yaitu menggabungkan dua keyakinan, tapi banyak juga yang tetap bertahan. Dari
yang bertahan ini banyak yang mengalami pemaksaan agar pindah keyakinan. Karena
ingin mempertahankan keyakinan mereka atau bisa juga karena mengalami
diskriminasi dan penindasan, mereka mengungsi ke tempat-tempat lain.
Dalam
sejarah hal itu terjadi, misalnya, saat Kerajaan Demak menghancurkan
Kerajaan Majapahit. Rakyat Majapahit sebenarnya adalah para penganut agama
lokal yang bercampur dengan Hindu dan Budha. Ketika Majapahit hancur, para
penganut agama lokal yang ingin mempertahankan agamanya terpaksa
mengungsi –ada yang ke Tengger atau tempat lainnya.
Hal
yang sama terjadi di Sunda. Di masa lalu kerajaan yang berkuasa di Sunda adalah
Galuh yang hancur karena diserang Kerajaan Cirebon yang dibantu Demak. Para
penganut agama lokal ada yang mengungsi ke Kampung Naga, ke Garut; namun ada
juga yang bertahan di tempat dan mengakomodasi atau menyatukan dua keyakinan
agama. Hanya sedikit yang berganti agama. Sebagian besar ajaran lokal tetap
diyakini. Namun demi keamanan, yang baru pun diterima. Kondisi seperti itu
masih berlanjut sampai sekarang. Kalau dari sisi ajaran, agama kami adalah
agama Sunda. Ajaran yang berasal dari leluhur Sunda. Tapi sekarang ada Sunda
Wiwitan dan ada yang seperti kami.
Jauh sebelum Hindu - Budha masuk ke
Nusantara, leuluhur bangsa Indonesia sudah meimiliki sistem kepercayaan dan
menjalankan kehidupan berketuhanan dengan baik.
Prasa
atau istilah AGAMA adalah murni milik leluhur Nusantara (Untuk Penjelasan Agama
bisa merujuk ke Entri Agama
Milik Siapa). Penghayatan
Leluhur bangsa Nusantara mengenai agama sudah sangat tinggi sehingga
termanifestasi dalam perilaku Budi Luhur. Perilaku Budi Luhur yang tinggi ini
ditunjukan dengan sikap penerimaan kedatangan agama - agama luar ke nusantara
yang disambut dengan baik, bahkan diberi tempat dan dibantu kebutuhan sarana
dan prasarana pengembangannya.
Alam
membentuk karakter bangsa , alam yang subur gemah ripah loh jinawi membentuk
karakter Nenek moyang Nusantara yang tidak menyukai konflik. Sehingga untuk
tujuan harmoni, nilai - nilai kebaikan dari agama yang datang diserap dan
diharmonikan dalam sistem Agama Nusantara (Akulturasi). salah satunya yaitu
semboyan Majapahit "Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa"
dimana Keharmonisan bermasyarakat majemuk kala itu tertuang.
Pada masa Hindu dan Budha masuk ke
Nusantara tidak ada konflik agama, begitu pun dengan Islam (seperti yang
sekarang dianut NU), Namun ketika paham agama dibaurkan dengan politik dan
kekuasaan, maka muncul dan berkembang paham ekstrim dan akhirnya ada usaha
untuk mendominasi dan menguasai, sehingga sejak itu mulai ada konflik dan ada
penindasan/penyerangan terhadap penganut agama diluar Islam.
Dalam sejarah tercatat peperangan
antar kerajaan di Nusantara :
1.
Prabu Brawijaya (Majapahit) diserang dan dihancurkan Demak
2.
Galuh-Talaga-Kuningan ditaklukan Cirebon & Demak
3.
Pajajaran dihancurkan Banten & Demak
4.
Kerajaan Sisingamangaraja diserang PADRI Imam Bonjol.
Peperangan dan penaklukan itu
membuat penganut agama leluhur terusir, sebagian mengasingkan diri ke tempat -
tempat terpencil yang sekarang menjadi Kampung - kampung adat, seperti Tengger,
Baduy/Citorek, Kampung Kuta, dsb. Dan sebagian lagi bertahan dan berada di
wilayah kekuasaan kesultanan Islam, dengan cara mengaku menganut Islam, tepi
tetap menjalankan ajaran leluhur secara sembunyi - sembunyi.
Bertahannya ajaran leluhur, tidak
lepas dari peranan keraton - keraton di Nusantara yang walaupun sudah menjadi
kesultanan Islam, namun tetap mempertahankan tradisi dan spiritual Nusantara
yang bersumber dari ajaran agama leluhur (PRIYAYI).
Pada jaman Indonesia Merdeka
kemudian diistilahkan sebagai kelompok aliran-aliran
kebatinan/kejiwaan/kerokhanian, dan kini disebut sebagai aliran kepercayaan
atau komunitas Kepercayaan terhadap Tuhan YME, yang pada masa-masa awal
kemerdekaan oleh masing-masing sesepuh/penggali ajarannya dibentuk semacam
paguyuban atau organisasi dan diberi nama, seperti: Kapribaden.
Tokoh ajaran agama kabribaden yaitu,
Romo semono sastrohadidjodo, beliau hidup dari tahun 1900 sampai tahun 1981,
berdomisilisi di daerah Gunun Damar dan Sejiwan Kecamatan Loano, Kabupaten
Purworejo, jawa tengah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kitap suci penghayat kapribaden
Kitab
dapat diartikan catatan , atau buku yang dibuat oleh manusia Suci itu
bersih , putih tidak ada noda , tidak cacat . Kitab suci dapat diartikan adalah
sebuah catatan yang dibuat oleh manusia , yang berisikan catatan yang tidak ada
cacat yang diyakini kebenarannya. Sedang asal catatan didapat dan
diperoleh dari laku spiritual atau laku yang lainnya. Catatan tersebut
memuat , petunjuk dari Yang Maha Esa , Maha Kuasa , Atau Tuhan YME.
atau Moho Suci , dan Gusti Ingkang Moho Suci ; Putro Romo : adalah Putro
Sabdo Romo Herucokro , yang laku spiritualnya menggunakan ; Kunci , Asmo ,
Mijil , Paweling dan Singkir ( Panca Gaib ).
Kitab Suci Putro Romo , disebut “ Kitab Suci Sejati Adamakno “
Kitab
Suci Sejati Adamakno , bukan berisikan catatan seperti Kitab Suci tersebut
diatas, tetapi berupa ucapan dari
seseorang Manusia hidup , yang digerakan oleh Yang Maha Hidup , dapat
berupa Sabda , Dawuh atau Pangandikan
dapat juga wewarah , petunjuk langsung
dari Tuhan YME. Petunjuk tersebut
untuk pribadi sendiri , tetapi bisa juga untuk sanak saudara , sahabat teman
atau semua manusia hidup didunia .
Apakah
semua ucapan manusia tersebut dapat dikatakan sebagai Kitab Suci Sejati
Adamakno ? Tidak semua ucapan manusia dikatakan sebagai Kitab Suci
Sejati Adamakno. Ada persyaratan tertentu
, tidak semua orang dapat dengan mudah mengerti dan memahaminya
serta membedakan ucapan manusia bahwa ,
Apa sebenarnya Kitab Suci Sejati Adamakno.
Persyaratan
yang utama : Seseorang tersebut adalah
seorang laku , berjiwa bersih , berbudi
luhur , ( berbudi bawa leksono ) selalu berbuat kebaikan , ucapan dan tindakan nya selalu sama .
Tingkah
laku tindak tanduk , perbuatannya nya
bila dilihat semua orang selalu menyenangkan .
Apa yang dikatakan selalu mahani artinya berada dalam kebenaran dan
terbukti , sangat berguna serta bermanfaat .
Apa
yang dikatakan nya selalu membuat tentram semua
yang sedang mendengarkan .
Dengan demikian maka Sabda , atau Dawuh , petunjuk dari Gusti
Ingkang Moho Suci , atau Tuhan YME akan
dilewatkan ucapan nya melalui kreteria seseorang manusia seperti tersebut
diatas .
Ucapan
manusia yang keluar tersebut bukan hasil olah pakarti mereka tetapi ,
sebenarnya adalah Suara dari Tuhan atau Gusti Ingkang Moho Suci .
Dalam kenyataanya Suara Tuhan tidak
dapat dipastikan , dijastifikasi oleh
manusia , karena baru diketahui indera
manusia setelah kejadian atau peristiwa
Pada
intinya, Kitab Suci Sejati Adamakno adalah
Petunjuk dari Tuhan atau Gusti Ingkang Suci, lewat seorang manusia beserta pertanda
Alam semesta, dengan persyaratan
tertentu, yang isinya terbukti berguna dan bermanfaat, bagi semua
mahkluk dunia, mengakibatkan ketentraman
dan kedamaian bagi penghuni dunia
seisinya , umat manusia pada khusunya.
Dapat
disimpulkan bahwa Kita Suci Adamakno ,
adalah Kitab yang bisa ( muna-muni ) atau berbunyi sendiri lewat Urip atau Hidup,
digerakan oleh Yang Maha Hidup dengan perantara
wujud yaitu manusia .
Sedang
( muna-muni ) bunyinya seseorang manusia bisa dari : Catatan , olah budi
pakarti, kitab suci, wulangreh, wewarah, pangadikan, dawuh , sabdo , atau
langsung dari petunjuk Urip nya , Guru jati nya, atau Gusti Ingkang Moho
Suci .
Sumber
filosofi : “ Kekudangan Romo “ : “ Heh Putranisung sami , pra satriya lan
wanita sejati , mrenea sun jarwani : “
Mangertia jenengsira Sun Sabda dadi Kitab Suci Sejati Adamakna wasatanipun ,
yaiku wujudira yekti . Wulangreh sejati uninira , berbudi bawa leksana kadya
lakunira prantanda jenengsira
putraningsun .
2.2
Tempat Ibadah penghayat kapribaden
Penghayat
kapribaden tidak memiliki tempat ibadah, karena ajaran kapribaden percaya bahwa
tuhan ada dimana-mana dan tuhan tidak bisa di buatkan tempat tinggal karena
tuhan meliputi JAGAD RAYA, kalo manusia bisa membuatkan tempat suci berarti
manusia lebih sakti dan hebat dari tuhannya sehingga bisa menempatkan tuhan di
tempat suci serta bisa tahu arah kiblatnya.
Jumlah
kaum penghayat mungkin tidak sebesar jumlah penganut agama resmi. Status mereka
pun tidak seperti penganut agama-agama yang memang diakui secara resmi di
Indonesia yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Meski demikian
keberadaan mereka dilindungi oleh UUD 1945 pasal 29. Hal ini dilakukan karena
aliran kebatinan dianggap sebagai suatu bentuk kebudayaan. Pembinaannya
dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan khususnya oleh Direktorat
Jendral Kebudayaan, Direktorat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.14 Semenjak proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
bermunculanlah bermacam-macam aliran kebatinan. Rahmat Subagyo mencatat adanya
285 aliran kebatinan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Biak, Lombok, dan
Jawa.15 Di Solo sendiri terdapat 20 organisasi aliran kebatinan dan 4
diantaranya sudah tidak aktif yang berada dalam pengawasan Kejaksaan Negeri
Surakarta.16 Salah satu aliran kebatinan tersebut adalah Paguyuban Kulowargo
Kapribaden. Dalam
memahami kehidupan orang Jawa di bidang agama maupun religi, maka tidak salah
apabila di dalam wadah aliran kepercayaan Paguyuban Kulowargo Kapribaden itu
sendiri merupakan tempat berkumpulnya orang dari berbagai macam agama. Menurut
Soedihardjo selaku pimpinan Paguyuban Kulowargo Kapribaden, anggotanya tidak
hanya terbatas dengan salah satu agama saja, melainkan dari berbagai pemeluk
agama yakni Islam, Kristen, Katholik dan Hindu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar