ILMU PERBANDINGAN AGAMA
Carwaka dan Jaina
Dosen Pengampu:
Untung
Suhardi, S.Pd.H, M.Fil.H
Oleh:
Wahyuni
Oke Setiawan
Kadek Sucipta
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Om swastyastu
Puji syukur kami haturkan kehadapan Ida
Sang Hyang Widi Wasa atas
Asungkerta Waranugraha-Nya, tugas makalah mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama
dengan judul Carwaka
dan Jaina ini bisa terselesaikan. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah
ini, diantaranya, Bapak Untung Suhardi, S.Pd.H, M.Fil.H sebagai dosen pengampu
mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama, teman-teman dikelas yang telah memberikan
kami dukungan, dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang
terkait dalam menyediakan sarana dan prasarana guna mempermudah pencarian
literatur untuk makalah kami.
Makalah
yang kami buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran
bagi pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran pada pembuatan
makalah yang akan datang. Terima kasih atas partisipasi dan perhatian para
pembaca, semoga semua isi yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi
bembaca.
Om santi, santi, santi Om.
Jakarta, Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang........................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan........................................................................ 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Ajaran Filsafat Jaina....................................................
2.1.1. Sejarah Ajaran Filsafat
Jaina..................................................
2.1.2. Epistemlogi Ajaran Filsafat
Jaina...........................................
2.1.3.
Kitab Suci…………………………………………………..
2.2.4.
Simbol Agama jaina………………………………………..
2.2.5. Tempat Suci Agama
Carwaka……………………………...
2.1.4. Konsep Ketuhanan Menurut
Jaina.........................................
2.1.5. Konsep Alam Semesta Ajaran
Jaina......................................
2.1.6. Prinsip Ajaran Jaina................................................................
2.1.7. Konsep Roh Ajaran Jaina.......................................................
BAB III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di India ada
Sembilan aliran filsafat yang semuanya memiliki konsep yang berbedadalam
mencapai tujuan akhir. Tujuan akhir yang ingin dicapai
ialah kelepasan ataukebahagiaan yang tertinggi. Kesembilan aliran filsafat itu
dibagi atas dua kelompok yaitu Astika dan Nastika. Kelompok Astika
adalah kelompok filsafat yang mengakui kewenangan atau otoritas dari
Veda.
Sedangkan kelompok Nastika
adalah kelompok filsafat yang tidak mengakuikewenangan atau
otoritas Veda.
Kelompok Astika
sering pula disebut kelompok orthodok dan theis,
maka dalam hubungannya dengan agama Hindu kelompok Astika diakui sebagai ajaran filsafat Hindu. Akan
tetapi, kelompok Nastika atau yang sering disebut dengan kelompok heterodoks dan atheis karena tidak mengakui kewenangan Veda,
maka kelompok ini tidak termasuk kedalam sebutan filsafat Hindu.
Kelompok Nastika terdiri dari
Buddha, Carwaka dan Jaina. Namun dimakalah ini yang akan dibahas ialah Carwaka
dan Jaina. Jainisme adalah salah
satu ajaran paham jaina di india, yang golongkan ke dalam nastika (heterodoks)
karena tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah
heterodoks , atheisme namun spiritual. Jaina merupakan sebuah agama minoritas,
yang masih hidup hingga saat ini di india. Carvaka
mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup.
Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia
terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan.
Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu
melalui kontak langsung dengan indriya. Pendiri filsafat Carwaka ialah Bhagavan
Wrhaspati, dengan penekanan pengajaran pada aspek material sebagai tujuan hidup
tertingi dan tidak percaya akan adanya kehidupan di akhirat. Tradisi yang
dikembangkan Carwaka adalah Heterodoks, Atheisme, materialistic.
Dalam makalah ini, kami akan membahas beberapa hal yang berkaitan
dengan Carwaka dan Jaina, mulai dari ajaran Carwaka dan Jaina, praktik
keagamaan dan, Kitab Jaina, pokok-pokok dari ajaran Carwaka dan Jaina tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah pengertian filsafat
Jaina dan Carwaka ?
1.2.2
Bagaimanakah epistemology
ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.3
Bagaimanakah konsep
ketuhanan ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.4
Bagaimanakah konsep alam
semesta ajaran filsafat Jaina dan Carwaka
1.2.5
Bagaimanakah konsep tentang
roh ajaran filsafat Jaina dan Carwaka ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui apa itu ajaran
filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.2
Untuk mengetahui
epistemology ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.3
Untuk mengetahui konsep
Ketuhanan ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.4
Untuk mengetahui konsep alam
semesta ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
1.3.5
Untuk mengetahui konsep roh
ajaran filsafat Jaina dan Carwaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Filsafat
Jaina.
Filsafat Jaina di golongkan kedalam kelompok Nastika ( Heterodok
), mengakui empat aspek kebenaran yaitu : Atman, Karma, Punarbhawa, dan Moksa.
Filsafat Jaina bersifat Atheis, namun mengakui jiwa-jiwa yang bebas disebut
dengan Sidhas, menekankan pada ajaran Ahimsa Karma. Jaina selain sebagai
filsafat juga merupakan agama, yang masih ada namun pengikutnya yang cenderung
sedikit. Jaina didirikan sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang
berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya terhadap konsep
Ahimsa. Kitab suci Jaina diambil dari pidato-pidato, pesan-pesan keagamaan
Mahavira diterima para murid secara generatif atau lisan. Pada abad ke 4
Sebelum Masehi diadakan pertemuan untuk mengumpulkan sumber-sumber ajaran
Jaina, namun muncul perbedaan pemikiran.
Bahasa yang dipakai dalam kepustakaan Jaina adalah Bahasa Ardha
Majdi, yang kemudian diganti kedalam Bahasa Sansekerta. Jaina memiliki tujuan
diantaranya : 1). Sebagai gerakan yang memprotes pelaksanaan ritual yang
berlebihan dan menekankan pada etika terutama komitmennya pada ahimsa. 2).
Adanya peraturan kasta yang disusun oleh golongan Brahmana. 3). Peraturan
tersebut memberi keuntungan kepada golongan Brahmana akibatnya timbul gerakan
sewenang-wenang dari golongan Brahmana. 4). Kesewenangan ini ditentang kaum
ksatria, mesti timbul pergolakan.
2.1.1. Sejarah Filsafat Jaina.
Asal mula ajaran ini diperkirakan sudah ada pada
zaman prasejarah india, Jainisme dalah sebuah agama dharma. Jaina bermakna
penaklukan. Agama Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan
kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibangun
oleh Nataputta
Vardhamana, hidup pada 559-527 sM yang beroleh panggilan Mahavira yang
berarti pahlawan besar. . Orang-orang pengikut jaina `Jainisme` mempercayai
dengan adanya 24 Tirthankkara atau pendiri keyakinan dari mana keyakinan dan
agama jaina diturunkan dan berkembang. Menurut tradisi jaina, Tirthangkara
pertama adalah Rsabhadeva yang merupakan pendiri jainisme dan terakhir adalah
mahavira, pahlawan spiritual besar yang namanya juga adalah “vardhamana”.
Mahavira, nabi terakhir tidak bisa dipandang sebagai pendiri, karena sebelum
beliau ajaran-ajaran jaina telah ada. Tetapi mahavira memberikan orientasi baru
sehingga jaina moderen menganggap ajaran jaina berasal dari mahavira. Ia hidup
pada abad ke enam sebelum masehi se-zaman dengan budha.
Ajaran ini menekankan aspek etika yang sangat
ketat, terutama komitmennya terhadap konsep ahimsa. Di katakan oleh para
sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran
berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan sebagainya. Menurut tradisi jaina,
garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah diturunkan dimana
keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran jaina ini berjumlah dua puluh
empat orang, yang disebut Tirthangkara atau penyebar keyakinan dan yang telah
mendapat pencerahan.
2.1.2
Kitab Suci
Jainisme
mempunyai kitab suci yang bernama Siddhanta yang berarti pembahasan. Kitab suci
ini adalah berupa kumpulan pidato – pidato dan pesan – pesan Mahavira. Pada
awalnya pidato dan pesan – pesan ini hanya disebarkan kepada murid – muridnya
kemudian kepada pendeta – pendeta dan sampai ahli ahli ibadah dalam agama jain
hanya melalui lisan, karena takut akan hilang dan tercampur oleh ajaran –
ajaran lain maka dikumpulkan pesan – pesan dan pidato – pidato tersebut menjadi
sebuah kitab, sekitar abad ke-4 SM.[3] dan
dapat disebut juga sebagai Agamas yang berarti perintah/ajaran. Kitab Jainisme
ini di susun oleh Ardhamagandhi yang terdiri dari 12 bab (Angas), dan pada
Angas terakhir yini dibagi menjadi 14 Purwa dan 11 Anga. Para penganut Jain
mereka mempercayai bahwa kitab asli yang dari zaman Thirtankara pertama yaitu
terbagi menjadi dua macam yaitu Purwa dan Anga, yang mana mempunyai 14 Purwa,
sedangkan Anga itu sendiri terdiri dari 11 Anga. Dan dari 11 Anga tersebut
mempunyai 45 teks.
Pada
pembagian kitab suci di dalam agama Jain terdapat perbedaan dari setiap sekte,
seperti sekte Digambara yang mengakui adanya 80 Angas, sedangkan pada sekte
Svetambara mengakui adanya 45 Angas, dan pada sekte Sthanavaksi mereka hanya
mengakui 33 Angas. Terjadinya perbedaan pembagian kitab di dalam setiap sekte,
karena adanya perbedaan dari cara berfikir mereka, ada juga ingin
memperbaharui agama tersebut.
Sekte
Digambara masih sangat kental dengan ajaran – ajaran yang di bawa oleh Mahavira
seperti tidak memakai baju, tidak memakan makanan yang bernyawa (vegetarian),
maka dari itu kitab – kitab mereka itu lebih banyak dari pada sekte – sekte
yang lainnya.
Sedangkan
sekte Svetambara adalah sekte yang muncul akibat ketidak setujuan mereka dengan
penyembahan kepada berhala, sekte ini sudah diperbaharui maka dari
itu pada sekti ini hanya mempercayai 45 Angas, mereka lebih meminimalisir ajaran
– ajaran yang telah di bawa oleh Mahavira, maka dari itu sekte Digambara
mengatakan bahwa sekte Svetambara adalah sekte sesat yang telah menyimpang dari
ajaran – ajaran Mahavira.
Sekte
Sthanavaksi adalah sekte modern dalam agama Jain mereka sudah tidak lagi
mengikuti ajaran Mahavira yang tidak berbusana, pada sekti ini salah satu ciri
khas mereka yaitu memakai pakaian yang putih. Pada sekti ini kitab yang
diakuinya hanya 33 Angas saja karena perkembangan zaman dan perkembangan
pemikiran umat jain agar agama yang dianutnya tersebut sesuai dengan
perkembangan zaman.
2.1.3 Simbol
Agama Jaina
Secara garis besar, simbol Jain didefinisikan sebagai
alam semesta (Lok). Bagian bawah simbol mewakili tujuh neraka
(Naraki). Bagian tengah alam semesta berisi Bumi dan planet-planet
(Manushyalok). Bagian atas berisi tempat tinggal surgawi (Devlok) dari
semua makhluk surgawi dan tempat tinggal para Siddha (Siddhashila). Jain
percaya bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh siapapun, juga tidak bisa
dihancurkan oleh siapa pun.
Tangan diangkat berarti berhenti. Kata di pusat
roda adalah “Ahimsa”. Ahimsa berarti non-kekerasan. Mereka mengingatkan
kita untuk berhenti sejenak dan berpikir dua kali sebelum melakukan
sesuatu. Ini memberi kita kesempatan untuk memeriksa kegiatan-kegiatan
kami untuk memastikan bahwa mereka tidak akan menyakiti siapa pun dengan
kata-kata, pikiran, atau tindakan. Kami juga tidak seharusnya meminta atau
mendorong orang lain untuk mengambil bagian dalam kegiatan berbahaya. Roda di
tangan menunjukkan bahwa jika kita tidak berhati-hati dan mengabaikan
peringatan ini dan melakukan kegiatan kekerasan, maka hanya saat roda berjalan
berputar-putar, kita akan berputar-putar melalui siklus kelahiran dan kematian.
Empat lengan swastika mengingatkan kita bahwa selama siklus
kelahiran dan kematian kita mungkin lahir menjadi salah satu dari empat nasib:
makhluk surgawi, manusia, binatang-binatang, (termasuk burung, bug, dan
tanaman) dan makhluk neraka. Tujuan kami harus pembebasan dan tidak
kelahiran kembali. Untuk menunjukkan bagaimana kita bisa melakukan ini,
swastika mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi pilar dari empat kali lipat
Jain Sangh, maka hanya bisa kita mencapai pembebasan.Keempat pilar Jain Sangh
adalah Sadhu, sÀdhvis, shrÀvaks, dan shrÀvikÀs. Ini berarti bahwa pertama,
kita harus berusaha untuk menjadi shrÀvaks benar atau shrÀvikÀs, dan ketika
kita dapat mengatasi lampiran sosial kita, kita harus meninggalkan kehidupan
duniawi dan mengikuti jalan yang sadhu atau Sadhvi dibebaskan. Tiga titik di
atas swastika mewakili tiga permata dari Jainisme: Samyak Darshan (Iman Kanan),
Samyak Jnan (Pengetahuan Kanan), dan Samyak Charitra (Perilaku
Kanan). Kita harus memiliki ketiga permata tersebut: pengetahuan yang
benar, iman yang benar, dan tepat melakukan bersama-sama, maka kita dapat
mencapai pembebasan. Pengetahuan yang benar berarti memiliki pengetahuan bahwa
jiwa dan tubuh terpisah dan jiwa, bukan tubuh mencapai keselamatan. Iman
yang benar berarti seseorang harus memiliki iman dalam apa yang diceritakan
oleh Jina, yang mahatahu. Pelaksanaan yang tepat berarti bahwa tindakan
kita harus menjauhi keterikatan dan kebencian.
Pada
bagian paling atas dari simbol Universal Jain adalah busur
melengkung kecil. Busur ini merupakan tempat tinggal para Siddha. Hal
ini dikenal sebagai Siddhashila tersebut. Ini adalah tempat peristirahatan
terakhir dari jiwa-jiwa dibebaskan. Titik merupakan siddhata. Untuk
mencapai tahap ini, jiwa harus menghancurkan semua karma yang
terpasang. Setiap makhluk hidup harus berjuang untuk negara ini dari
Keselamatan atau Pembebasan.
2.1.4 Tempat Ibadah Agama Jaina
Ada
beberapa kuil Jain yang indah di India, meskipun sebagian besar struktur kuil
Jain lebih terstruktur. Kuil Jain memuat gambar Tirthankara, baik dalam posisi
sedang bermeditasi duduk atau berdiri. Sebuah gambar Tirthankara yang sedang
duduk biasanya menjadi fokus interior kuil. Umat Jain membuat persembahan
kepada gambar sebagai bagian dari ibadah mereka. Kuil Jain bervariasi, dari
yang sangat besar dan rumit, hingga yang sederhana. Kedua sekte Jain terbesar
menghias kuil mereka dengan cara yang berbeda:
Svatembara;
Dalam candi Jain Svatembara selalu dihiasi dengan gambar yang dicat matanya
dengan ornamen emas, perak, dan permata di dahi. Selain itu, mereka juga
memberikan persembahan berupa dekoratif bunga, daun, cendana, kunyit, kapur
barus, daun, emas atau perak, mutiara, batu mulia, atau perhiasan kostum
(seperti dalam festival). Persembahan ini diperbarui sebagai tanda
pengabdian.Digambara; Dalam candi Jain Digambara, patung Thirtankara hanya
dicat dan polos, tanpa perhiasan lainnya.
Kuil
Jain yang berada di jalan lintas kota, banyak umat yang datang seperti yang
mereka lakukan setiap hari, untuk doa pagi dan puja, setelah mandi dan
didandani dengan pakaian putih bersih, dan beberapa orang menggunakan masker,
yang tujuannya untuk menghormati prinsip mereka, Ahimsa, yang digunakan untuk
mencegah kerugian makhluk hidup di udara karena napas mereka.
2.1.2.
Epistemologi Ajaran Filsafat Jaina
Inferensi dikatakan valid apabila mengikuti kaidah-kaidah
yang tepat. Testimoni verbal dikatakan pengetahuan yang valid apabila
memberikan laporan dari otoritas terpercaya yang diterima dari orang-orang suci
yang telah terbebaskan, dan pengikut Jainayang telah mendapatkan pengetahuan yang benar tentang
ajaran-ajaran jaina. Pengetahuan
diklarifikasi sebagai berikut :
1. Pengetahuan
langsung (Aparakosa).
2. Pengetahuan
antara/tidak langsung ( Parakosa).
3. Pengetahuan
salah (Samsaya/keragu-raguan).
4. Pengetahuan Pramana adalah pengetahuan
tentang sesuatu seperti apa adanya.
5. Naya adalah
pengetahuan tentang benda dalam hubungannya dengan benda lain, Naya sama dengan titik pandang
atau pendapat dari mana seseorang membuat pernyataan tentang sesuatu.
Tiga jenis aparakosa yaitu
: 1). Avadhi adalah
kemampuan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh indriya, 2). Manahparyaya adalah telepati,
3). Kevala adalah
kemahatahuan.
Dua jenis pengetahuan parakosa yaitu
: 1). Sruta adalah
pengetahuan yang diambil dari otoritas. 2). Mati adalah pengetahuan yang mencangkup pengetahuan perseptual daninferensial. Perseptual dalam arti
pengetahuan itu diperoleh melalui panca indriya. Cakupan pengetahuan yang
diperoleh melalui pikiran disebut pengetahuan konseptual.Inferensial dimaksudkan
pengetahuan yang diperoleh dengan menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
faktual yang diambil sebagai bukti bagi kesimpulan.
Pernyataan-pernyataan itu mengandung dua aspek yaitu: (1).
Aspek deduksi adalah
suatu proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan (premis-premis) sehingga tercapai
kesimpulan yang pasti dengan aturan-aturan logika. (2). Aspek induksi adalah menarik
kesimpulan tidak berdasarkan pernyataan-pernyataan (premis-premis ) menurut keharusan logika.
2.1.3. Konsep Ketuhanan Menurut Jaina.
Sebagai paham yang bebas dari kekuasaan Veda, Jaina juga merupakan sejenis gerakan keagamaan yang
menentang agama Hindu dan memberontak atas kekuasaan kaumBrahmana. Atas dasar ini Jaina memandang Tuhan bukan roh
Yang Maha Agung. Fahamnya dikatakan sebagai agama Iihad (tidak mempercayai Tuhan), namun percaya pada roh-roh
yang telah terbebaskan (Sidas).
Mereka itu adalah roh para Thirthankara.
Jainatidak menerima bukti-bukti perwujudan Tuhan sebagai mana agama
Hindu mewujudkannya, yang diakuinya hanyalah roh para Thirthankara. Kondisi ini
memunculkan kepentingan-kepentingan negatif seperti kepercayaan korban dalam
ritual seperti agama Hindu lakukan, tidak mau mengklaim keistimewaan dan
kelebihan kaum Brahmana seperti
yang diklaim agama Hindu.
2.1.4. Konsep Alam Semesta Ajaran Jaina.
Jain percaya bahwa alam semesta kita dan
hukum-hukum alam yang abadi, tanpa awal atau akhir. Namun, terus-menerus
mengalami perubahan siklus. alam semesta kami ditempati oleh makhluk hidup
(jiva) dan objek non-hidup (Ajiva). samsarin (duniawi atau biasa) jiwa
menjelma dalam berbagai bentuk kehidupan selama perjalanan dari waktu ke waktu.
Manusia, sub-manusia (hewan, serangga, tanaman, dll), super-manusia (surgawi),
dan neraka-yang adalah empat bentuk makro dari jiwa samsari. Suatu makhluk
hidup yang pikiran, ekspresi dan tindakan dilaksanakan dengan maksud lampiran
dan penolakan, menimbulkan akumulasi karma. Influxes ini karma pada gilirannya
memberikan kontribusi untuk menentukan keadaan masa depan kita yang baik bermanfaat
dan menghukum.
2.1.5. Prinsip
Ajaran Filsafat Jaina.
Jainisme mendorong perkembangan spiritual melalui
budidaya pribadi kebijaksanaan sendiri dan ketergantungan pada pengendalian
diri (sumpah).Hak persepsi, Hak pengetahuan, dan Kanan melakukan ( permata
tripel Jainisme ) memberikan jalan bagi mencapai pembebasan (moksha) dari
siklus kelahiran dan kematian (samsara). Jainis percaya bahwa untuk
mencapai pencerahan dan akhirnya pembebasan, seseorang harus mempraktekkan
prinsip-prinsip etika berikut (utama sumpah) dalam pemikiran, ucapan dan
tindakan. Sejauh mana prinsip-prinsip ini dipraktekkan berbeda untuk kepala
keluarga dan biarawan mereka adalah:
a)
Non-kekerasan
(Ahimsa), untuk menyebabkan kerugian tidak untuk makhluk hidup, Ini adalah
janji mendasar dari mana semua lainnya sumpah batang, Ini melibatkan
meminimalkan kerugian disengaja dan tidak disengaja ke makhluk hidup lainnya,
"Non-kekerasan" kadang-kadang diartikan sebagai tidak membunuh, namun
konsep jauh melampaui itu, Ini termasuk tidak merugikan atau menghina makhluk
hidup lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui orang lain,
Tidak bisa bahkan tidak ada ruang untuk berpikir untuk melukai orang lain, dan
tidak ada pidato yang mempengaruhi orang lain untuk menimbulkan bahaya.
b)
Sejati
(Satya), untuk selalu berbicara kebenaran dengan cara yang tidak berbahaya,
Seseorang yang berbicara kebenaran menjadi dapat dipercaya seperti ibu,
terhormat seperti pembimbing dan sayang kepada semua orang seperti saudara
yang, Mengingat bahwa non-kekerasan memiliki prioritas, semua prinsip-prinsip
lain hasil untuk itu, setiap kali ada konflik. Sebagai contoh, jika kebenaran
berbicara akan mengakibatkan kekerasan, sangatlah etis untuk diam.
c)
Non-mencuri
(Asetya), untuk tidak mengambil sesuatu yang tidak rela diberikan, adalah
ketaatan pada milik sendiri, tanpa keinginan untuk mengambil orang lain, Satu
harus tetap puas dengan apa pun yang diperoleh melalui kerja jujur, Setiap
usaha untuk memeras kekayaan materi dari orang lain dan / atau mengeksploitasi
yang lemah dianggap pencurian, beberapa pedoman prinsipnya adalah : Selalu memberi nilai wajar orang
tenaga kerja atau produk, jangan pernah
mengambil hal-hal yang tidak ditawarkan, jangan pernah mengambil barang-barang
yang ditempatkan, terjatuh atau dilupakan oleh orang lain.
d)
Selibat
(Brahmacharya), untuk mengontrol indera termasuk pikiran dari kesenangan.Tujuan
dasar dari sumpah ini adalah untuk menaklukkan semangat dan untuk mencegah
pemborosan energi.Dalam sumpah ini, pemegang rumah harus tidak memiliki
hubungan sensual dengan orang lain selain pasangan sendiri. Jain biarawan dan
biarawati harus berlatih berpantang penuh dari seks.
e)
Non-kepemilikan
atau Non-materialisme (Aparigraha), untuk melepaskan diri dari orang, tempat,
dan hal-hal material.Kepemilikan benda itu sendiri tidak posesif, namun
keterikatan terhadap objek adalah posesif.Untuk rumah tangga, non-kepemilikan
adalah memiliki tanpa lampiran, karena gagasan kepemilikan adalah
ilusi.Realitas kehidupan adalah perubahan yang konstan, dengan demikian, benda
yang dimiliki oleh seseorang hari ini akan menjadi milik orang lain di masa
depan. rumah tangga didorong untuk melepaskan nya tugas kepada
orang-orang terkait dan benda-benda sebagai wali amanat, tanpa lampiran
berlebihan atau keengganan.Untuk biarawan dan biarawati, non-kepemilikan adalah
penolakan lengkap properti dan hubungan termasuk rumah dan keluarga.
2.1.6. Konsep Roh Menurut Ajaran Jaina.
Percaya adanya roh yang banyak artinya terdapat
roh sebanyak tubuh hidup, tidak hanya dalam manusia, binatang, tetapi juga
dalam tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu sekalipun ada roh. Tidak semua roh
memiliki kesadaran yang sama, karena keterbatasan pengetahuan, tenaga, dan
mengalami ragam penderitaan. Setiap roh suatu saat mampu mencapai kesadaran, kebahagiaan,
dan kekuatan tak terbatas.Masalahnya ia terbelenggu. Belenggu roh harus
disingkirkan dengan cara : 1). Melalui keyakinan yang sempurna terhadap
keyakinan ajaran guru Jaina. 2). Memahami dan berlaku benar sesuai
ajaran-ajaran Jaina (ahimsa, mencuri, kemelekatan obyek indriya).
2.1.7. Konsep Karma dan Pengembalian Roh.
Menurut jaina, karma adalah sesuatu yang wujud
dan bersifat kebendaan bercampur dengan roh yang seolah-olah memegang kendali.
Percampuran ini diibaratkan air bercampur dengan susu. Begitulah karma berbaur
dengan roh dengan demikian jadilah roh sebagai tahanan dalam kekuasaan karma.
Jaina adalah filsafat dan juga agama. Dalam aspek religinya ia percaya pada
karma dan kelahiran kembali yang lazim diistilahkan sebagai pengembalian roh.
Untuk lepas dari cengkraman karma, diperlukan kontinyuitas kelahiran hingga
suatu saat menjadi suci, dan kemauan keduniawian menjadi hilang, yang ada hanya
roh yang kekal dalam kenikmatan yang abadi. Roh dikatakan jamak, terdapat roh
sebanyak tubuh yang ada baik manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta
bahkan debu sekalipun, memiliki pengetahuan dan tingkat yang berbeda. Untuk
membuktikan roh diperlukan persepsi artinya ketika seseorang secara internal
memahami kenikmatan, penderitaan dan kualitas-kualitas lain, maka pada saat
itulah roh dipandang sebagai roh yang terbelenggu, Jiwatman memiliki badan
jasmani dan dihubungkan dengan kekuatan karma sehingga kemuliaannya ternoda.
Oleh karena itu Jaina menyarankan agar mengeliminasi roh / jiwatman dengan karma,
mengembalikan jiwa pada kemuliaannya, bila berhasil disebut penyelamatan.
3.1. Pengertian Ajaran Filsafat Carwaka.
Secara
etimologi kata Carvaka berasal dari kata ‘caru’
yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti ujaran, sehingga Carvaka
berarti kata-kata yang manis. Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi
yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang
materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak
mempercayai adanya Atman dan Tuhan. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan
dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam
hanya terbentuk oleh bhuta elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan
tanah. Carvaka di dirikan Brhasvati. Cirinya
materialistis, hedonis. Aliran ini tidak menerima kehidupan setelah kematian.
Alasannya kehidupan di akhirat tidak bisa di verifikasi, apalagi belum
seorangpun yang menyaksikannya, jadi aliran ini hanya mengakui eksistensi
duniawi dan menolak kebakaan jiwa. Aliran Carvaka yang selalu menganggap
kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti
seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak
mempercayai adanya atman dan Tuhan, membuat aliran Carvaka ini memiliki
beberapa inti ajran atau otoritas aliran Carvaka
3.1.1. Konsep Ketuhanan Ajaran Filsafat Carwaka.
Tuhan yang keberadaannya tak dapat dipersepsikan, tak
jauh berbeda dengan keberadaan roh/jiva tadi. Kaum Carvaka menyatakan bahwa
unsur-unsur material itu sendiri telah memiliki sifat-sifat yang pasti
(svabhava). Bahwa dengan sifat dan hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka
bergabung bersama untuk membentuk dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan
disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia ini merupakan hasil dari rencana
apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil secara kebetulan
dari unsur-unsur tersebut. Jelas disini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada
atheisme.
Karena
sejauh ini teori carvaka mencoba untuk menjelaskan dunia hanya dengan sifatnya
saja, maka ia kadang-kadang disebut natularisme (svabhava-vada). Ia juga
disebut mekanisme (yadrcch-vada), karena menolak keberadaan keperluan sadar
dibalik dunia ini dan menjelaskannya sebagai kombinasi unsur-unsur secara
kebetulan atau mekanikal saja. Teori Carvaka secara keseluruhan juga dapat
disebut positifisme, karena ia hanya percaya pada kenyataan positif atau
penomena yang dapat diamati saja.
Tuhan
yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan
setiap ciptaan-Nya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan
dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh
secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan
ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya
Tuhan dengan sendirinya. Ajaran Carvaka didalam pandangan Macrokosmos ini
mereka hanya menggangap Veda adalah sebuah imajinasi seorang Pendeta. Jadi
dalam ajaran Carvaka ini lebih menekankan bahwa Microkosmos itu tercipta dengan
unsure-unsur material tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta.
3.1.2. Konsep Terciptanya Dunia.
Dengan menganggap sifat-sifat dari dunia
material, kebanyakan para pemikir India lain berpendapat bahwa ia tersusun atas
lima unsur (panca maha bhuta), yaitu: ether (akasa), udara (vayu), api (agni),
air (apah) dan tanah (ksiti). Tetapi kaum carvaka menolak anggapan tersebut,
karena unsur ether keberadaannya tidak dapat dirasakan. Mereka menganggap bahwa
dunia material ini hanya tersusun atas empat unsur saja, yaitu : udara, api,
air, dan tanah yang semuanya dapat dirasakan. Bukan hanya obyek-obyek material
mati saja, tetapi organisme hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan badan binatang,
semuanya tersusun dari empat unsur yang berkombinasi sehingga mereka dapat
hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.
3.1.3. Konsep Tentang Roh.
Kaum Carvaka tidak percaya akan adanya roh/ jiwa, karena mereka
tak melihat dan merasakan adanya roh/ jiwa. Jika seseorang menyatakan “saya
gemuk”, “saya pincang”, “saya buta” dan sebagainya semuanya ini bertalian
dengan badan yang terbuat dan terjadi dari material. Ketika ada pertanyaan
mungkinkah kumpulan dari benda – benda materi itu menjelmakan sesuatu yang
hidup? Mereka menjawab bahwa sifat-sifat tersebut aslinya tak ada pada setiap
komponen, namun akan segera muncul apabila komponen-komponen tersebut menyatu.
Umpamanya: daun sirih, kapur, gambir, pinang, tak satu pun dari padanya asalnya
berwarna merah, namun secara bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah
bila ditumbuk atau dikunyah jadi satu. Atau, benda yang sama pun dalam kondisi
berbeda dapat menimbulkan sifat yang berbeda dengan aslinya. Umpamanya, gula
tebu yang aslinya manis tak beralkohol akan menjadi beralkohol apabila ia
dibiarkan berfermentasi. Berhubung adanya kemungkinan demikian, dengan cara
yang sama kita dapat berpikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi
dalam cara khusus akan menimbulkan sesuatu benda hidup.
Karena
ketidak percayaan mereka akan adanya roh/jiwa maka sudah sewajarnya mereka
tidak percaya akan adanya kehidupan masa lalu, kehidupan nanti, kelahiran
kembali, menikmati buah perbuatan di surga atau neraka semuanya tidak ada
artinya sama sekali. Dan oleh karena itu pula mereka tidak berusaha untuk hidup
secara baik, dan bermoral tinggi, karena mereka tidak percaya akan adanya phala
(hukuman) setelah mereka mati. Bagi kaum Carvaka kematian dari badan adalah
akhir dari segalanya.
3.1.4. Pandangan Makrokosmos dan Mikrokosmos.
Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak,
tabiat dan kecerdasan setiap ciptaan-Nya. Oleh karena guna dan karmanya, ada
orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan
mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan
dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan
sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Ajaran Carvaka didalam pandangan
Macrokosmos ini mereka hanya menggangap Veda adalah sebuah imajinasi seorang
Pendeta. Jadi dalam ajaran Carvaka ini lebih menekankan bahwa Microkosmos itu
tercipta dengan unsure-unsur material tanpa adanya campur tangan dari Sang
Pencipta.
3.1.5. Konsep Etika Dalam Ajaran Carwaka.
Kaum Carvaka membahas
masalah-masalah etika ini dalam persesuaian dengan teori-teori metafisika
mereka. Beberapa orang filsuf India seperti para pengikut Mimaysa percaya
bahwa tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah surga (svarga) yang
merupakan keadaan bahagia yang tak terlukiskan, yang dapat dicapai nantinya
dengan melaksanakan upacara-upacara Vedik disini (dalam
kehidupan ini). Kaum Carvaka menolak pandangan ini, karena hal
itu didasarkan pada keberadaan kehidupan setelah mati yang tak dapat
dibuktikan. ’Surga’ dan ’neraka’merupakan ciptaan para pendeta
yang minat profesinya terkandung dalam membujuk, mengancam dan membuat
orang-orang mau melaksanakan upacara-upacara. Orang-orang bijaksana akan
senantiasa ditolak dan dibohongi oleh mereka.
Disamping menolak otoritas
kitab Ășuci, pendapat tentang kebajikan dan kekejian serta pada kehidupan
setelah mati, kaum Carvaka tentu saja juga menolak untuk
melaksanakan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan pencapaian surga atau
menghindar dari neraka atau pun menghormati roh-roh leluhur. Mereka
menertawakan kebiasaan mengadakan upacara-upacara. Apabila makanan yang
dipersembahkan selama melaksanakan upacara kematian (uraddha) bagi
para roh leluhur dapat meredakan rasa laparnya, apa gunanya si pengembara makan
bersamanya? Mengapa orang-orang ini tidak membuat beberapa persembahan atas
namanya sendiri di rumah untuk meredakan rasa laparnya? Sama halnya dengan
makanan yang dipersembahkan pada lantai bawah akan dapat memuaskan seseorang
yang tinggal dilantai atasnya.
Dengan demikian agama dirubah menjadi moralitas dan moralitas
untuk mendapatkan kesenangan. Etika kaumCarvaka hanyalah
berdasarkan logika yang berasal dari metafisika materialitisnya saja.
3.1.6. Tujuan Akhir Filsafat Carwaka.
Beberapa aliran filsafat
India umpama Mimamsa, percaya
bahwa tujuan tertinggi dari manusia adalah mencapai surga yaitu tempat yang
serba sukha yang bisa dicapai dengan Upacara menurut ajaran
Weda. Tetapi orang Carvaka menolak teori ini karena Mimamsa itu tidak bisa
membuktikan adanya hidup sesudah mati. Surga dan Neraka itu hanyalah buatan
para Pendeta untuk memaksa agar rakyat melakukan upacara – upacara. Pendapat
Mimamsa itu tidak diakui kebenarannya oleh aliran – aliran filsafat lainnya;
karena mereka percaya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah Moksa yaitu mendapat
tempat dimana semua penderitaan – penderitaan menjadi sirna (hilang). Tetapi
golongan Carvaka menentang pendapat ini; karena Moksa berarti terlepasnya jiwa
dari belenggu lingkaran lahir mati (incarnasi). Sedangkan Carvaka tidak
percaya akan adanya jiwa itu sendiri. Sehingga tidak percaya juga akan adanya
Moksa. Surga dan Neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini.
Orang – orang Carvaka itu percaya bahwa badan
manusia itu sudah terikat oleh perasaan senang ataupun sedih, tidak bisa
dilepaskan lagi yang mengakibatkan bertemunya dengan Surga atau Neraka. Yang
dapat diusahakan oleh manusia yaitu mempersedikit perasaan sedih/ sakit, karena
menghabiskan sama sekali sedih/ sakit sama dengan kematian. Menurut tanggapan
Carvaka, tujuan hidup utama/ tujuan tertinggi dari hidup kita ini ialah:
Kesenangan. Oleh karena itu, pendapat Carvaka ini di dunia barat dinamai
Hedonisme (teori bahwa kesenangan adalah tujuan hidup tertinggi).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kelompok Nastika
adalah kelompok filsafat yang tidak mengakuikewenangan atau
otoritas Veda.
Kelompok Astika
sering pula disebut kelompok orthodok dan theis,
maka dalam hubungannya dengan agama Hindu kelompok Astika diakui sebagai ajaran filsafat Hindu. Akan
tetapi, kelompok Nastika atau yang sering disebut dengan kelompok heterodoks dan atheis karena tidak mengakui kewenangan Veda,
maka kelompok ini tidak termasuk kedalam sebutan filsafat Hindu.
Kelompok Nastika terdiri dari
Buddha, Carwaka dan Jaina. Namun dimakalah ini yang akan dibahas ialah Carwaka
dan Jaina. Jainisme adalah salah
satu ajaran paham jaina di india, yang golongkan ke dalam nastika (heterodoks)
karena tidak mengakui otoritas veda. Tradisi yang dikembangkan adalah
heterodoks , atheisme namun spiritual. Jaina merupakan sebuah agama minoritas,
yang masih hidup hingga saat ini di india.
Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi
hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia
terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan.
Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu
melalui kontak langsung dengan indriya. Pendiri filsafat Carwaka ialah Bhagavan
Wrhaspati, dengan penekanan pengajaran pada aspek material sebagai tujuan hidup
tertingi dan tidak percaya akan adanya kehidupan di akhirat. Tradisi yang
dikembangkan Carwaka adalah Heterodoks, Atheisme, materialistic.
DAFTAR PUSTAKA
Maswinara I
Wayan.2006.Sistem Filsafat Hindu.Sarva Darsana Samgraha.Surabaya.Paramitha.
Sumawa, I
Wayan dan Tjokorda Raka Krisnu. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka
: Jakarta.
http//:
ngurah91.blogspot.com/2017/04/filsafat-jaina-lengkap.html
https://agamaminorr.wordpress.com/2013/05/28/agama-jaina/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar