BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam kepercayaan
para pemeluk agama Budha, diketahui beribu-ribu orang yang mendapatkan gelar
kehormatan Budha. Untuk masa sekarang, orang yang dapat pencerahan dan gelar
tersebut adalah siddhartha Gautama, Budha yang ke 28 sekaligus sebagai pendiri
agama Budha sebagaimana yang kita kenal.
Selain
mendapat gelar Budha, Siddartha juga telah mendapat gelar Bhagoua (orang yang
menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), sakya mimi (petapa dari
suku Sakya), Sakya sumba (singa dari suku Sakya), Sugata (orang yang datang
dengan selamat), Suaria Siddha (orang yang terkabul semua permintaanya).
Jika kita
telusuri lebih jauh, secra etimologi , kata Budha ini berasal dari “Buddh” yang
berarti bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang
bawah atau awam. Kata kerjanya “bujjhati”, antara lain berarti bangun,
mendapatkan pencerahan, mengetahui, mengenal, atau mengerti. Dengan kata lain,
Budha mengandung beberapa pengertian, di antaranya ialah orang yang telah
memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang sadar secara spiritual, orang yang
siap sedia menyadarkan orang lain secara spiritual, serta orang yang bersih
dari kotoran batin yang berupa dosa (kebencian), labha (serakah), dan
moha(kegelapan).
Dengan demikian
Budha adalah orang yang telah mencapai penerangan sempurna. Semua yang serupa
dengan Siddartha Gautama yang menjadi pendiri agama Budha, telah mendapatkan
julukan dengan nama Budha, karena ia adalah seorang yang telah mencapai
penerangan sempurna, pada waktu usia 35 tahun atau lebih dari 2.500 tahun silam
di India.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah pokok ajaran agama Budha, konsep ketuhannan dan kitab suci agama Budha
, dan hari raya agama budha ?
1.2.2
Bagimana tempat ibadah, perkembangan agama Budha dan relasi manusia, tuhan
dan alam.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan lebih mengenal agama Budha agar
masyarakat dapat hidup berdampingan meski dengan perbedaan agama dan ajaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pokok Ajaran Agama Budha, Konsep Ketuhannan Dan Kitab Suci Agama Budha
Siddartha
adalah putra dari raja Sudhodana Gautama dan Dewi Mahamaya dari kerajaan kecil
di Kapilawastu yang memerintah atas suku Sakya di India utara yang berbatasan
dengan nepal. Menurut beberapa literatur, ia dilahirkan pada tahun 563 SM di
India utara, sekitar 100 mil dari Benares, dan Wafat pada tahun 483 SM.Banyak
orang meyakini bahwa Siddartha memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang
pada umumnya. Konon keistimewaan itu sudah terlihat dan mengiringi Siddartha
sejak ia masih didalam kandungan. Setelah mengalami proses kelahiran yang penuh
keajaiban itu, Siddartha Gautama menjalani hidup sebagai putra raja
Sudhodhana.
Setelah
melalui perjuangan yang panjang melalui beberapa ritual yang ia lakukan, akhirnya
Siddartha berhasi mendapatkan penerangan dan menjadi Budha. Dalam meditasi itu,
Siddartha berhasil mendapat petunjuk berupa ilmu pengetahuan tinggi yang
meliputi hal-hal berikut:
1.
Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran
kembali.
2.
Dibacakku, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin.
3.
Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk
kehidupan, baik atau buruknya bergantung pada perilaku masing-masing.
4.
Asyakkhyanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan avidya,
tentang menghilangkan ketidak tahuan.
Akhirnya,
pada usia 35 tahun, siddartha berhasil menjadi budha setelah tercapainya
penerangan tersebut. Ia pun menjadi Accharya Manusa atau guru bagi manusia
untuk mendapatkan penerangan hidup dan melepaskan diri dari kesengsaran.
Setelah mendapatkan penerangan dan pengetahuan yang
sempurna, Siddartha bangkit dari pertapaannya dan berangkat menuju khota
Benares, tempat suci dan tempat ziarah bagi penganut agama Hindu. Sebelum sampai
dikota Benares, disuatu tempat yang bernama Sarnath, ia berjumpa dengan lima
rahib bekas muridnya.
Kelima murid sidarta tersebut yang kemudian
menyampaikan dan mengajarkan himpunan ucapannya, yang disebut sebagai kotbah
pertama (first sermon) dalam sejarah agama Bhuda. Kotbah pertama itulah yang
menjadi asas dasar ajaran dari seluruh ajaran agama Budha yang kemudian
terkenal dengan sebutan”empat kebenaran utama” (catu arya sacca) dan “ delapan
jalan kebajikan”(arya attha ngika magga).
2.2 Pokok – Pokok Ajaran Agama Budha
Agama Budha yang oleh
umat Budha dikenal sebagai Budha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang
diungkapkan oleh Sang Budha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang
lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh
karenanya dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan
(dukkha).
Ada pun pokok ajaran agama Budha yaiti :
Tiratana (Tiga Mustika)
A.
Budha Ratana (Mustika Budha), yaitu Sang Budha Gotama
adalah Guru Suci Junjungan kita, yang telah memberikan pelajaranNya kepada umat
manusia dan para dewa untuk mencapai Kebebasan Mutlak atau Nibbana.
B.
Dhamma-Ratana (Mustika Dhamma), yaitu Sang Dhamma
adalah pelajaran Guru Suci Junjungan kita Sang Budha Gotama yang menunjukkan
umat manusia dan para dewa ke jalan yang benar, terbebas dari kejahatan, dan
membimbing mereka mencapai Nibbana.
C.
Sangha-Ratana (Mustika Sangha), yaitu Sang Ariya
Sangha adalah Persaudaraan Bhikkhu Suci yang telah mencapai tingkat-tingkat
kesucian (Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat), sebagai pengawal dan
pelindung Dhamma, dan mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut
melaksanakan sehingga mencapai Nibbana.
Kebajikan Sang Budha
a.
Araham : Manusia suci yang terbebas dari kekotoran
bathin.
b.
Sammasambuddho : Manusia yang mencapai Pene�rangan Sempuma
dengan kekuatan sendiri.
c.
Vijjacaranasampanno : Manusia yang mempunyai
pengetahuan sempuma dan melaksanakannya
d.
Sugato: Yang Terbahagia
e.
Lokavidu: Manusia yang mengetahui dengan sempuma
keadaan setiap alamo
f.
Anuttaro purisadammasarathi : Pembimbing umat manusia
tanpa bandingan
g.
Satthadeva manussanam : Guru Suci Junjungan para Dewa
dan manusia
h.
Buddho: Pembangun Kebenaran
i.
Bhagava: Junjungan
Kebajikan Sang Dhamma
a.
Svakkhato Bhagavata Dhamma : Dhamma adalah Ajaran Sang
Budha yang sempuma.
b.
Sanditthiko : Pelaksana yang melihat Kesunyataan
dengan kekuatan sendiri.
c.
Akaliko: Terbebas dari keadaan dan waktu.
d.
Ehipassiko: Mengundang datang memeriksa.
e.
Opanayiko: Patut dilaksanakan.
f.
Paccatam Veditabbo Vinnuhi : Dapat diselami oleh para
Bijaksana dalam bathinnya.
2.3 Ajaran ketuhanan dalam agama Budha
Perlu di tekankanbahwa di dalamajaranBudha yang
sesungguhnya (aslinya) sang BudhaSidharta Gautama
bukanlahtuhanmelainkanhanyalahseorang guru, jurupandubagimanusia.
Konsepketuhanandalam agama Budhaberbedadengankonsepdalam agama
samawidimanaalamsemestadiciptakanolehtuhandantujuanakhirdarihidupmanusiaadalahkembalikesurgaciptaantuhan
yang kekal, tetapikonsepdidalam agama Budhabahwasannyaasalmuasaldanpenciptaanalamsemestabukanberasaldarituhan,
melainkankarenahukumsebabdanakibat yang telahdisamarkanolehwaktu,
dantujuanakhirdarihidupmanusiaadalahmencapaikeBudhaan (anuttarasamyaksambodhi)
ataupencerahansejatidimanabatinmanusiatidakperlulagimengalami proses
tumimballahir. Untuk mencapaiitupertolongandanbantuanpihak lain
tidakadapengaruhnya, tidakadadewa-dewi yang dapatmembantu,
hanyadenganusahasendirilahkeBudhaandapatdicapai. Budhahanyamerupakancontoh,
jurupandu, dan guru bagimakhluk yang perlumelaluijalanmerekasendiri,
mencapaipencerahanrohani,
danmelihatkebenaransertarealitassebenar-benarnya. Bilakitamempelajariajaran
agama Budhaseperti yang terdapatdalamkitabsuciTipitaka, makabukanhanyakonsepketuhanan
yang berbedadengankonsepketuhanandalam agama lain, tetapibanyakkonsep lain yang
tidaksama pula. Konsep-konsep agama Budha yang berlainandengankonsep-konsepdari
agama lain antara lain adalahkonsep-konseptentangalamsemesta, terbentuknyabumidanmanusia,
kehidupanmanusia di alamsemesta, kiamatdankeselamatanataukebebasan.
Tuhandalam agama Budha yang bersifat non-teis (yakni,
padaumumnyatidakmengajarkankeberadaantuhan sang
penciptaataubergantungkepadatuhan sang pencipta demi dalamusahamencapaipencerahan,
sang Budha Gautama adalahpembingbingatau guru yang
menunjukkanjalanmenujunirwana ) sertaselamahidupnyaBudha Gautama
tidakpernahmengajarkancara-caramenyembahkepadatuhanmaupunkonsepsiketuhananmeskipundalamwejangannyakadang-kadangmenyebuttuhan,
ialebihbanyakmenekankanpadaajaranhidupsuci, sehinggabanyakparaahlisejarah agama
dansarjanateologiislammengatakan agama Budhasebagaiajaran moral
belaka.jikadiperhatikandalamperkataanataukhotbah-khotbahBudha Gautama
dansoaljawabnyadengankelimatemannya di Benares, iatidakpercayakepadatuhan-tuhan
yang banyak, dewa-dewa, danberhala-berhala yang
dipujadandisembahsepertihalnyadalam agama hindu,
bahkanpenyembahandemikiandiceladalamajaran Budhadanoleh sang Budha
Gautama itusendiri. Akan tetapiketuhanan brahma, tetap di akuiolehBudhasidharta
Gautama, iatetapmengakui brahma sebagaituhannya.
Umat Budha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi,
yang dikenal sebagai dewa, tetapi mereka seperti manusia, yang dikatakan menderita
di samsarabelum tentu lebih bijaksana daripada
makhluk lainnya. Bahkan Budha sering disebutkan sebagai guru para dewa dan
lebih unggul dari mereka, meskipun dewa-seperti semua makhluk hidup lainnya mungkin
menjadi Bodhisattva tercerahkan dan mencapai
kesucian
2.4 Kitab Suci Budha
Tipitaka adalah Kitab Suci Agama Budha. Kitab Suci ini
dikenal dengan nama Kanon Pali karena tertulis dalam bahasa Pali. Kitab ini
adalah Kitab Suci Agama Budha yang paling tua, yang diketahui hingga
sekarang.Selain yang berbahasa Pali, Budha juga memiliki Kitab yang menggunakan
Bahasa Sansekerta yaitu Tripitaka. Tetapi diantara kedua versi tersebut,
hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali) yang masih terpelihara secara lengkap.
Kitab ini berisi kumpulan ceramah, keterangan,
perumpamaan dan percakapan Budha dengan para murid dan pengikutnya.Kitab Tipitaka
ini terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka,
dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebutlah maka Kitab
Suci Agama Budha dinamakan Tipitaka.
1.
KitabVinayaPitaka
Kitab ini berisi
aturan-aturan untuk para Bhikku dan Bhikkhuni yang dibagi lagi dalam tiga
Kitab, yaitu Sutra Vibanga, Khandaka, dan Paravira.
Sutra Vibanga, berisi delapan jenis pelanggaran, yang diantaranya ada pelanggaran yang berakibat seorang Bhikku dan Bhikkhuni dapat dikeluarkan dari sangha.Khandaka, berisi aturan-aturan mengenai upacara panahbisan Bhikkhu atau Bhikkhuni, tata tertib penerimaan Bhikkhu dan pelanggaran-pelanggarannya.Parivara, berisi ringkasan peraturan vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipakai dalam pengajaran.
Sutra Vibanga, berisi delapan jenis pelanggaran, yang diantaranya ada pelanggaran yang berakibat seorang Bhikku dan Bhikkhuni dapat dikeluarkan dari sangha.Khandaka, berisi aturan-aturan mengenai upacara panahbisan Bhikkhu atau Bhikkhuni, tata tertib penerimaan Bhikkhu dan pelanggaran-pelanggarannya.Parivara, berisi ringkasan peraturan vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipakai dalam pengajaran.
2.
Sutta Pittaka
Kitab ini terdiri dari lima buku, yaitu
: Digha Nikaya, buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta
panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Silakkhandhavagga, Mahavagga dan
Patikavagga.Majjhima Nikaya, buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat
kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa): dua
pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52
sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta.
Anguttara Nikaya, buku ketiga dari Sutta Pitaka yang
terbagi atas sebelas nipata dan meliputi 9.557 sutta.Samyutta Nikaya, buku
keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta.Khuddaka
Nikaya, buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas lima belas kitab,
yaitu : Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Sutta Nipata,
Vimanavatthu, Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa,
Patisambhidamagga, Apadana, Budhavamsa, dan Cariyapitaka.
3.
AbhidammaPitaka
Kitab ini berisi uraian filsafat Budha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencangkup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku, yaitu :
Dhammasangi, membahas etika yang dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
Kitab ini berisi uraian filsafat Budha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencangkup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku, yaitu :
Dhammasangi, membahas etika yang dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
Vibhanga, membahas apa yang ada dibuku Dhammasangani dengan
metode yang berbeda.Dhatukatha, membahas unsur-unsur batin.
a)
Puggalapannatti, membahas
jenis-jenis watak manusia
b)
Kathavatthu, membahas kumpulan
percakapan-percakapan dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang
dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan
theologi dan metafisika.
c)
Yamaka, membahas Mula,
Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
d)
Patthana, membahas sebab-sebab
yang berkenaan dengan 24 Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Perbedaan
ketiga kitab tersebut terletak pada gaya bahasanya. Kalau Kitab Abhidhamma
Pitaka gaya bahasanya bersifat sangat teknis dan analitis, sedangkan Kitab
Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka gaya bahasanya bersifat naratif, sederhana dan
mudah dimengerti oleh umum.
2.5 Hari Raya Agama Buddha
Berdasarkan
kitab Suci Tipitaka (Pali) umat Buddha merayakan empat hari raya utama. Empat
hari raya utama tersebut adalah:
1.
Magha Puja (Hari Magha), biasanya
jatuh pada purnama siddhi dibulan Februari-Maret. Pada hari ini memperingati
dua kejadian penting dalam masa hidup Sang Buddha. Kejadian penting pertama
ialah berkumpulnya 1250 orang arahat di vihara Veluvana, Rajagaha. Keistimewaan
dan kejadian ini adalah:Seribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang berkumpul itu
semuanya arahat.Mereka semua adalah ‘Ehi Bhikku’, yaitu para bhikkhu yang
ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri.Mereka semua datang tanpa berjanji
(persetujuan) terlebih dahulu.Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajarannya
yang disebut Ovada Patimokka.Kejadian penting yang kedua terjadi pada tahun
terakhir dari kehidupan Sang Buddha, yaitu sewaktu Beliau berada di Cetiya
Capala di dekat kota Vesali. Setelah Beliau memberikan khotbah Iddhipada Dhamma
kepada para siswaNya. Beliau berdiam sendiri dan membuat keputusan untuk wafat
tiga bulan kemudian. Dua kejadian penting ini terjadi pada purnama siddhi di
bulan Magha namun pada tahun yang berbeda.
2.
Visakha Puja (Hari Wesak), biasanya
jatuh pada purnama siddi dibulan Mei-Juni, untuk memperingati kejadian penting
yang berkenaan dengan Tathagata, yaitu :Saat lahirnya Pangeran Sidharta
Gotama.Saat Petapa Siddharta Gotama mencapai penerangan sempurna (bodhi)
menjadi Buddha.
3.
Asalha Puja (Hari Asadha), biasanya
jatuh pada purnama siddhi bulan Juli-Agustus (dua bulan sesudah Wesak). Hari
Asadha diperingati oleh umat Buddha karena beberapa alasan sebagai berikut:
4.
Hari dimana Sang Buddha memberikan
khotbah yang pertama. Khotbah ini terkenal dengan nama “Dhammacakkappavatana
Sutta” (Khotbah Pemutaran Dhamma).
5.
Sangha pertama muncul di dunia,
sangha adalah salah satu faktor ‘sarana’ (perlindungan) dalam ‘Tisarana yaitu:
Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi para bhikkhu, hari Asadha berarti pertanda akan
dimulainya masa vassa pada keesokan harinya. Kata ‘vassa’ artinya hujan, jadi
masa vassa bagi para bhikkhu adalah menetap di suatu tempat (vihara, cetiya
bila ada kuti atau tempat tertentu), selama tiga bulan musim hujan. Pada masa
ini para bhikkhu belajar, mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma, di
samping itu mereka mengajarkan dan membina umat yang datang ke vihara (tempat
ber-vassa) atau membina umat dengan cara mengunjungi para umat yang ada di
daerah sekitar tempat ber-vassa.
6.
Kathina (Hari Kathina), dirayakan
tiga bulan sesudah Hari Asadha. Perayaan ini diselenggarakan para umat Buddha
sebagai ungkapan perasaan ‘katannukatavedi’ atau ‘menyadari perbuatan baik yang
telah dilakukan’ oleh para bhikkhu (viharawan). Karena ketika viharawan berada
di daerah untuk melaksanakan vassa selama tiga bulan, para viharaman mengajar,
menuntun dan membina umat agar mendalami, menghayati dan mengamalkan dhamma.
Ungkapan ini dinyatakan dengan mempersembahkan barang-barang kebutuhan beruba
jubah, obat-obatan, perlengkapan vihara dan kebutuhan para viharawan
sehari-hari kepada para bhikkhu atau viharawan lainnya. Upacara ini dapat
dilangsungkan dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnya masa
Vassa.
2.6 Bagimana tempat ibadah, perkembangan agama Budha dan relasi manusia, tuhan
dan alam.
1. Tempat ibadah umat beragama Budha
A. Cetiya dalam agama
Budha, berarti tempat pemujaan atau tempat koleksi objek pemujaan, sehingga
layak diterjemahkan sebagai altar. Secara etimologi, kata cetiya atau caitya
(Sanskerta) berasal dari kata c/7/ berarti gundukan tanah atau tumpukan bata
yang berkaitan dengan makam. Cetiya ada hubungannya dengan thupa (Sanskerta,
sthupa) yang berbentuk gundukan dan berfungsi tempat peninggalan yang
dikeramatkan Budha, Arahat, Bodhisattva, atau makhluk suci lainnya.
B. Mahavihara atau arama
lebih besar daripada vihara. Sarana mahavihara lebih lengkap daripada vihara.
memiliki ruang ruang puja bakti untuk umum, Dhammasala, Uposatha, Kuti (tempat
tinggal para bhikhu/bhikhuni), ruang pembacaan peraturan para Bhikkhu, ruang
petahbisan Bhikkhu, perpustakaan, dan taman yang luas.
Taman ini biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka. Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan ruang Dhammasala. Jika yang lebih besar bangunannya. Ada yang memisahkan ruangnya. Dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat berceramah dharma selain puja bakti.
Taman ini biasanya digunakan sebagai tempat meditasi bagi bikhu di ruang terbuka. Kebanyakan Vihara maupun Arama mengabungkan ruang sembayang untuk umum dengan ruang Dhammasala. Jika yang lebih besar bangunannya. Ada yang memisahkan ruangnya. Dhammasala biasanya berfungsi sebagai tempat berceramah dharma selain puja bakti.
C. Candi adalah istilah
dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat
ibadahpeninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Budha. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat pemujaandewa-dewi ataupun memuliakan Budha. Akan
tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut
tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Budha
Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura,
dan sebagainya, juga disebut dengan istilah candi.
D. Vihara
Vihara merupakan tempat umum bagi umat Budha untuk
melaksanakan segala macam bentuk
upacara atau kebaktian
keagamaan menurut keyakinan dan kepercayaan agama Budha
2. Perkembangan agama Budha Di Indonesia
Buddhisme
atau Agama Budha merupakan salah satu agama yang sejak lama telah dianut oleh
sebagian besar masyarakat Nusantara. Jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit
merupakan jaman keemasan bagi Buddhisme. Keberadaan Buddhisme di Nusantara
(Indonesia) dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah
berupa prasasti-prasasti dan bangunan-bangunan berupa candi serta
literatur-literatur asing khususnya yang berasal dari Tiongkok.
Tradisi
atau aliran Agama Budha yang dianut oleh masyarakat Nusantara pada awalnya
adalah non-Mahayana, namun untuk perkembangan selanjutnya Mahayana dan
Tantrayana menjadi lebih populer di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya peninggalan sejarah yang memiliki nilai filsafat Mahayana dan
Tantrayana.Dari peninggalan sejarah juga dapat dilihat bahwa telah terjadi
sinkretisasi antara agama Hindu-Shiva dengan Buddhisme Mahayana di
Indonesia.Setelah mengalami dua masa kejayaan, yaitu masa Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit, akhirnya Buddhisme di Indonesia mengalami kemunduran
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.Namun setelah melalui empat jaman, setelah
500 tahun kemudian semenjak wafatnya Raja Brawijaya V pada tahun 1478 yang
secara tradisi dianggap sebagai tahun runtuhnya Kerajaan Mahapahit (berdasarkan
sejarah runtuh pada tahun 1527), Agama Budha mulai bangkit kembali dari
tidurnya.
Perjalanan kebangkitan kembali dan
perkembangan Agama Budha yang dimulai pada jaman penjajahan hingga sekarang
melalui jalan yang berliku-liku. Berbagai permasalahan muncul silih berganti.
Pada jaman penjajahan, perkembangan
Agama Budha menghadapi kendala berupa minimnya tokoh-tokoh yang memahami Budha
Dharma dan menghadapi agresifitas para misionaris agama lain. Pada masa
kemerdekaan dan Orde Lama, perkembangan Agama Budha diwarnai oleh perbedaan
pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Budha sehingga menimbulkan
gejolak di sana-sini hingga didirikannya beragam organisasi Buddhis baru.
Selain itu, sikap pemerintah yang belum mengakui Agama Budha sebagai agama
resmi, telah mempersempit gerak perkembangan Agama Budha. Namun pada masa ini
lahirlah Sangha Indonesia sebagai pengayom umat Budha.
Agama Budha menjadi salah satu
agama yang resmi mewarnai perkembangan Agama Budha pada era Orde Baru. Selain
itu, terbentuknya Wadah Tunggal WALUBI serta kemelut dalam organisasi juga
terjadi pada masa ini. Alih-alih mempersatukan seluruh umat Budha seluruh
Indonesia, tidak begitu lama, kehadiran WALUBI menimbulkan kemelut dan
perpecahan dikalangan umat Budha yang disebabkan adanya prasangka,
kesalahpahaman, serta pemaksaan kepentingan pribadi dari beberapa oknum anggota
pengurus WALUBI.
Pembubaran WALUBI-Lama dan mendirikan WALUBI-Baru dengan
maksud mengubur permasalahan yang ada, nampaknya tidak memberikan dampak yang
baik. Meskipun demikian, terdapat sisi terang dari kemelut yang terjadi.
Setidaknya umat Budha akhirnya memiliki Lembaga Sangha yaitu KASI yang dapat
duduk sejajar dengan lembaga-lembaga ulama dalam agama lain.
Akhirnya, melalui sejarah, generasi
muda Buddhis akan mengingat dan mencatat bahwa dalam perkembangan Agama Budha
di Indonesia, pernah terjadi konflik-konflik yang terjadi dalam tubuh
organisasi Agama Budha. Hal ini merupakan sebuah peristiwa kelam yang terjadi
dalam perkembangan Agama Budha di Indonesia. Peristiwa kelam ini seharusnya
tidak perlu terjadi apabila setiap anggota organisasi tidak mengedepankan dan
menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Generasi muda Buddhis juga
diharapkan dapat mengedepankan kepentingan bersama, saling memahami serta
selalu merujuk pada Dharma dan Vinaya yang telah dibabarkan oleh Budha Gautama
(Pali: Gotama).
Seperti yang tertuang dalam Dhammapada 194: ”Kelahiran Budha
merupakan sebab kebahagiaan. Pembabaran Ajaran Benar merupakan sebab
kebahagiaan. Persatuan Sangha merupakan sebab kebahagiaan. Usaha perjuangan
mereka yang telah bersatu merupakan sebab kebahagiaan.”
Dalam era informasi atau era
digital, dengan berkembangnya media komuniasi seperti internet, juga ikut
memengaruhi perkembangan Agama Budha di Indonesia maupun di dunia. Seperti
sebuah pisau yang dapat digunakan untuk keperluan memotong sayur dan dapat
digunakan untuk tindakan kejahatan, media komunikasi yang di dalamnya terdapat
media-media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk penyebaran Dhamma atau justru
sebaliknya dapat menjauhkan seseorang dari Dhamma jika tidak diarahkah dengan
benar.
Perkembangan pesat teknologi dan
media komunikasi menuntut umat Buddhis Indonesia untuk tidak gagap teknologi
informasi khususnya situs-situs media sosial yang berkembang. Dengan menguasai
teknologi dan informatika umat Buddhis Indonesia dapat berperan dalam
menyebarkan Dhamma demi kebahagiaan semua.
3. Konsep Tuhan, Alam, dan Manusia dalam agama Budha
a.
Konsep Tuhan
Konsep
tuhan dalam agama Budha sebenarnya tidak terlalu ditekankan bahwasannya ada
suatu tuhan yang selalu di sembah layaknya dalam agama-agama lainnya, ketika
sang Budha (Sidartagautama) ditanyakan tentang ketuhanan beliau diam, karena
dalam ajaran Budha bukan itu yang ditekankan, tetapi bagaimana manusia bisa
lepas dari penderitaan (dukkha). Setelah sang Budha meninggal ajaran tentang
ketuhanan tidak juga mengalami perubahan, yang selalu ditekankan adalah
bagaimana manusia terlepas dari dukkha dan tidak tumimba lahir, tetapi seiring
berkembangnya zaman, agama Budha mengalami perkembangan diantaranya yaitu lahir
dua sekte dalam agama Budha yaitu Staviravada dan Mahasanghika kedua sekte ini
memiliki perbedaann tentang konsep ketuhanan, staviravada yang ortodoks
menekankan bahwa tingkat-tingkat kebudhaan adalah buah dari usaha yang tekun
dalam menjalankan ajaran Sang Budha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa
benih-benih kebudhaan telah ada pada setiap makhluk dan hanya menunggu diwujudkan
dan dikembangkan.Permasalahan diatas berkembang menjadi persoalan bagaiamana
kedudukan sang Budha Ghautama dimata sang Budha, padaawalnya Budha gautama
dipandang sebagai manusia yang telah mencapai keBudhaan, kemudian berkembang
menjadi prinsip universal yang mewujudkan diri berupa makhluk- makhluk luhur
yang menempati alam sorga. Makhluk luhur yang disebut Dhyani Budha ini
dikelilingi para Boddhisatva yang tidak terhitungjumlahnya dan mirip dengan
dewa dalam agama Hindu.
Dalam
penjelasan yang lain, bahwa Tuhan yang Maha Esa dalam ajaran Budha Gotama atau Budha
Shakyamuni dijelaksan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak dilahirkan, tidak
menjelma, tidak tercipta, dan merupakan suatu yang mutlak. Penjelasan ini
tertera dalam kitab suci UdanaVIII: 3, sebagai berikut:
“ketahuilah para Bhikku
bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikku, apabila tidak ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak
akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, dari penjelmaan, pembentukan,
pemunculan, dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena tidak ada Yang
Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka
ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu”.
Di
dalam Hukum kesunyataan tentang Tri-Laksana (Skt)/Tilakhana (Pali) dijelaskan
antara lain bahwa semua yang dilahirkan, yang tercipta, dan yang menjelma
adalah tidak kekal dan dicengkeram oleh dukkha. Jika sesuatu Yang Tidak
Tercipta, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, dan Yang Mutlak, itulah
yang disebut Tuhan Yang Maha Esa, yang kekal dan abadi. Didalam kitab suci
Saddharma Pundharika terdapat Sutra perihal ‘makna-makna yang tidak terhingga,
dimana Hyang Budha antara lain membabarkan bahwa makna-makna yang tidak
terhingga bersumber dari Hukum Tunggal’.
Dengan
sabdaNya di dalam Sutra tersebut, Hyang Budha ingin mengungkapkan bahwa segala
kejadian dan segala-galanya di dalam alam semesta bersumber dari Yang Maha Esa
dan Hyang Budha menyebutnya sebagai hukum Tunggal’.
Menurut
mazhab Theravada, apa yang disebut sebagai Tuhan tidak harus dipandang sebagai
satu pribadi yang kepadanya umat Budha memanjatkan puja dan menggantungkan
hidup mereka. Suatu pribadi (being), menurut Theravada, adalah terbatas dan
akan selalu menjadi (dumadi, becoming). Karena itu tidak mungkin ada wujud
(being) yang berpribadi (personal) yang kekal. Namun tuhan juga tidak dipandang
sebagai “bukan pribadi” karena Tuhan mengatasi hubungan relatif antara ada dan
tiada, antara being dan non being, antara pribadi dan bukan pribadi.
Penggambaran Tuhan menururt ukuran dan perasaan manusia selalu dihindari,
karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena
itu, Tuhan selalu diungkapkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan,
karena dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan. Oleh karena
itu, Tuhan slelalu disebutkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan,
tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta dan sebagainya.
Aliran
teravadha mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hubungan dengan sebab akibat
dengan alam semesta ini, karena jika Tuhan ada hubungannya dengan sebab akibat
yang terjadi dengan alam ini, maka tuhan itu relatif, ini sangat kontra dengan
ajaran Budha tentang Tuhan. Dalam bentuk kehidupan yang dahulu dan yang akan
datang, adanya sesuatu yang baik dan yang buruk yang terjadi alam ini, Tuhan
tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi dalam keagamaan Tuhan selalu
mempunyai hubungan, dimana manusia selalu berusaha menjadi mahluk yang
mencampai Nibbana, disitulah tuhan tempat tuhan yaitu meleburnya rohmanusia kembali
kepada sangpencipta
b. Konsep tentang Alam
Dalam
agama Budha alam dinamakan sankhata
darma yaitu sesuatu yang ada, yang mutlak, selalu berubah-ubah dan tidak
abadi, karena alam terbentuk dari sesuatu yang tidak abadi dan pada saatnya
alam ini akan hancur. Alam timbul sesuatu yang terdahulunya ada selalu berubah
secara teratur oleh karena itu alam disebut sankhara yang bersifat tidak kekal
(atta atau anitya), selalu dalam perubahan (dukkha), tidak mengandung suatu
substansi yang tidak bersyarat.
Dalam
agama Budha alam terbagi menjadi beberapa golongan yang pertama adalah
Shankharloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak seperti
benda-benda mati, batu, emas, logam, dan smeua sumber alamiah yang dibutuhkan
oleh manusia. Termasuk dalam pengertian ini adalah alam hayat yang tidak
mempunyai kehendak dan ciptaan pikiran seperti ide, opini, konsepsi, peradaban,
kebudayaan, dan sebagainya.
Sattaloka
adalah alam bagi makhluk-makhluk yang mempunyai kehendak, alamini terdiri dari
makhluk makhluk yang derajatnya rendah sampai yang tinggi, seperti Syetan, Jin,
Manusia, Dewa, dan Brahma. Makhluk- makhluk itu dibesarkan bukan berdasarkan
jasmaninya, melainkan tumbuh dari sikap batin, atau sesuatu yang dialaminya
seperti suka duka yang akhirnya menimbulkan akibatnya.
Kosmologi
Budha berkembang dengan hubungan yang erat dengan pendapat-pendapat tentang
susunan dan perkembangan alam semesta, yang telah lama berlaku di India sebelum
zaman Budha. Demikianlah pula orang-orang Buddhis berkata tentang Kalpa-kalpa,
ialah masa-masa yang sangat panjang, yang meliputi waktu antara terjadinya dan
musnahnya suatu tatadunia. Setelah hancurnya suatu dunia kemudian barulah lahir
dunia yang baru. Di dalam suatu masa dunia ada perkembangan kebudayaan yang
naik turun, dan setiap kali ada kemunduran datanglah orang Budha yang
menawarkan kembali jalan kelepasan kepada umat manusia. Jadi dipandang dari
sudut manapun tidak ada juga perkembangan ke arah tujuan yang tertentu.
Dalam
pejelasannya orang Budha menguraikan tentang kosmologi tidak jauh berbeda
dengan yang lainnya, yaitu alam ini terdiri dari bulan, matahari, dan
planet-planet hingga bergerak berputar pada porosnya secara teratur, begitulah
yang dilukiskan orang tentang suatu jagatraya alam semesta yang tak terbatas
jauhnya didalam ruang dan waktu.
Didalam
tiap-tipa tatadunia dibedakan berbagai-bagai alam dimana umpamanya banyak
dibicarakan tentang surga-surga dan neraka-neraka yang masuk pada tiap-tiap
tatadunia. Tiap tatadunia digambarkan tersusun dari tiga buah alam berikut;
1.
Alam hawa nafsu. Alam ini terdiri dari bahan bahan yang kasar
seperti api, udara, bumi, air, dan didiami oleh makhluk-makhluk yang berbadan
kasar (jasmani). Di bawah sekali pada alam ini letak neraka-neraka yang dingin
dan yang panas. Di atasnya letak bidang kepingan bumi dengan daratan dan
lautan, yang terkumpul sekeliling gunung meru. Disinilah hidup binatang,
manusia, hantu (preta) dan badan-badan halus yang jahat (asura). Disekitar Meru
beredarlah matahari bulan dan bintan-bintang. Diatas meru tinggalah berbagai
golongan dewa. Dewa-dewa lainnya tinggal di alam yang lebih tinggi lagi di
dalam semacam istana yang melayang-layang. Tetapi makhluk-makhluk yang
tertinggi inipun masih tetap di dalam kungkungan Karma.
2.
Alam bentuk
(Rupavacara), memang benar makhluk-makhluk kedewataan atau dewa-dewa yang
tinggal disini masih mempunyai badan yang lebih halus, tetapi mereka berada
diatas hawa nafsu.
Di sini kami telah menyinggung
ajaran tentang alam, yang dapat dicapai dengan pengheningan cipta di dalam
semadi. Biksu yang bersemadi dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk yang
hidup di alam ini.
3.
Alam dimana tidak terdapat bentuk (Arupavacara). Inilah alam
dewa yang tidak berbadan, yang hidup di dalam alam tersebut di atas, yang dapat
dicapai setelah tingkatan keempat di dalam pengheningan cipta.
Setelah
apa yang kita lihat dari kosmologi, maka teranglah bagi kita, bahwa alam-alam,
kemana biksu-biksu yang sedang bersemadi itu naik, tidak boleh dipandang
sebagai keadaan-keadaan keadaran saja.
c. Konsep tentang Manusia
Dalam
ajaran agama Budha, manusia menempati kedudukan khusus dan tampak memberi corak
yang dominan pada hampir seluruh ajarannya. Kenyataan yang dihadapi manusia
dalam hidup sehari-hari merupakan titik tolak dan dasar dari seluruh ajaran Budha.
Masalah manusia dibicarakan terutama dalam ajaran yang disebut Trilakhana, tiga
corak umum agama Budha, Catur Arya Satyani, empat kasunyataan mulia, hukum
karma atau hukum perbuatan dan tumimbalahir kembali.
Manusia
dalam ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang
selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut pancakhanda atau lima kelompok
kegemaran yaitu rupakhanda, vedanakhanda, sannakhandha, shankharakhandha dan
vinnanakhandha.
1.
Rupakhandha, atau kegemaran akan wujud atau bentuk, adalah
semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat
diserap dan dibayangkan oleh indra. Termasuk dalam rupakandha ini adalah
hal-hal yang berhubungan dengan lima indra dengan objek seperti bentuk yang
terlihat, terdengar, terasa, tercium, ataupun tersentuh.
2.
Vedanakhandha, atau
kegemaran akan perasaan, adalah semua perasaan yang timbul karena adanya
hubungan lima indra manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah
ataupun netral.
3.
Khandha ketiga, yaitu
sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas indra
dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan
indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau baua, cita rasa, sentuhan jasmaniah
dan pikiran.
4.
Shankharakhandha
adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran ini terdiri dari 50 macam kegiatan
mental seperti manasikara (perhatian), chanda (keinginan), sadha (kayakinan),
viriya (kemauan keras), lobha (keserakahan) dan sebagainya. Kelima puluh macam
kegiatan tadi selalu bergantung sama lain.
5.
Khanda kelima, yaitu
vinanakhandha, atau kegemaran akan kesadaran, adalah kegemaran terhadap reaksi
atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan objek
dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya,
mempunyai mata sebagai dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran mata atau cakkhuvinana, misalnya, mempunyai mata sebagai dasar dan
sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah tersebut
mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama budha merupakan salah satu
agama yang muncul dan berkembang pesat di daratan india. Agama ini mulai muncul
pada abad ke 6 SM. Pedoman dan hukum-hukum yang diajarakan oleh sidharta
mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan nafsu dan penderitaan dalam hidup
manusia sehingga dapat mencapai nirwana. Agama budha didirikan oleh seorang
pangeran yang bernama Sidharta, putra raja Sudhodana Gautama dari kerajaan
kecil kapilawastu yang memerintah suku Sakya di india utara yang berbatasan
dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM. Ajaran agama budha ada 3 yaitu
Catur Arya Satyani, Nirwana, dan Arahat. Ada dua aliran didalam agama budha,
yaitu Hinayana dan Mahayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar