Minggu, 18 Maret 2018

Makalah Tentang Cara Berpakaian Sembahyang Umat Hindu

ANTROPOLOGI BUDAYA

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
PERUBAHAN CARA BERPAKAIAN SEMBAHYANG UMAT HINDU

Dosen Pengampu:
I Wayan Kantun Mandara, S.Ag.,M.Fil.H

Disusun Oleh:
Agustya Prayuda
AA Made Dewi Kartika
Eni Kusti Rahayu
Kadek Sucipta
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU (STAH)
DHARMA NUSANTARA JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Om swastyastu,
            Pertama- tama patutlah kita menghaturkan angayubhagia ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas waranugrahaNya, penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Antropologi Budaya. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun berkat bantuan dosen , doa orang tua, serta dorongan dari teman-teman, sehingga kendala yang penulis hadapi bisa teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang pengaruh globalisasi terhadap perubahan cara berpakaina adat sembahyang umat Hindu, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi dan berita.
            Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran dan pengetahuan kepada pembaca, khususnya mahasiswa dan akademisi di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena pengalaman yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap kepada dosen pembimbing dan para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini, baik dari bentuk maupun isinya, sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Om santi santi santi om,
Jakarta,  Oktober 2016
Penyusun
           


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Globalisasi dan Busana.................................................................... 6
2.2  Perkembangan Gaya Busana Remaja Hindu di Era Globalisasi...... 7
2.3  Dampak dan Penyebab Perubahan Gaya Berpakaian...................... 9
2.4  Etika Berpakaian Sembahyang yang Tepat dan Benar.................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 15
3.2 Saran.................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 17




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi zaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk gaya hidup yang suka kebarat-baratan, mulai dari sikap, gaya bicara, maupun dalam berbusana. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah soal penampilan (gaya pakaian). Gaya pakaian menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi kepribadian seseorang di era globalisasi saat ini.
Globalisasi memang membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam  berbusana adat ke Pura oleh generasi muda Hindu. Banyak generasi muda yang  kurang memahami dan juga ada yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang kurang sesuai.
 Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan transparan dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini. Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi orang yang mempunyai  pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan. Oleh karena itu dalam makalah ini, kami akan membahas tentang perkembangan gaya busana remaja Hindu pada Khususnya dan bagi umat Hindu pada umumnya.


1.2 Rumusan Masalah
1.             Bagaimana perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi?
2.             Apakah dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura remaja Hindu diera globalisasi?
3.             Bagaimana etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar dan tepat?

1.2  Tujuan Penulisan

1.             Untuk mengetahui perkembangan gaya busana remaja Hindu di era globalisasi;
2.             Untuk mengetahui dampak dan penyebab perubahan gaya pakaian adat ke pura remaja Hindu diera globalisasi;
3.             Untuk mengetahui etika berpakaian sembahyang atau busana adat ke pura yang benar dan tepat.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Gaya Busana Remaja Hindu di Era Globalisasi

            Secara etimologis globalisasi berasal dari kata globe (Inggris) yang berarti dunia. Dari kata itu dikenal istilah globalisasi yang berarti proses mendunia. Globalisasi secara harfiah adalah sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan diantara masyarakat dan elemen-elemen yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang komunikasi dan transportasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional
Mantra (1996 : 1-2) mengemukakan, Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini harus dicarikan solusi.
Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi  dengan suatu bagian dari pengada hakiki (Dilistone : 2002:80). Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia (Artini 2013:3).
            Synnott (2003 : 11-14), juga mengemukakan bahwa, “tubuh kita dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial”. Pakaian adalah salah satu ciri khas seseorang dalam berpenampilan. Baik itu dalam bekerja, jalan-jalan, belanja maupun dalam bersembahyang.
Saat ini banyak generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambaran di atas. Agama  Hindu mengajarkan susila. Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreeeng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.
Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam menggunakan busana adat ke pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat ke pura terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan.
Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat. Sehingga masyarakat menjadi lebih paham dan mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat ke pura.
            Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.
Adapun contoh-contoh perubahan busana adat ke pura diera globalisasi sekarang seperti :
a)             Pemakaian baju kebaya/brokat bagi busana wanita menjadi lebih transfaran, modis dan memakai lengan pendek
b)             Pemakaian kamben/kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau diatas lulut.
c)             Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal seperti bross, hiasan kepala.
d)            Pemakaian udeng/destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak memiliki ikatan ujung udeng menghadap keatas
e)             Pemakaian kamben/kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki kancut (ujungnya lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai kamben model sarung yang bukan termasuk busana ke pura.
f)              Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang salah biasanya sejengkal dari mata kaki.
g)             Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita yang sudah berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan rambut terurai.




2.2  Dampak dan Penyebab Perubahan Gaya Pakaian Adat ke pura Umat Hindu/ Remaja Hindu di era Globalisasi
            Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat ke pura saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan umat ke pura kian menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke pura, namun tetap diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang (Bali Post) Minggu (8/12/2014).
            Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura bagi umat Hindu adalah :
a)             Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang dipakai sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.
b)             Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebritis menjadi banyak yang ditiru oleh umat agama Hindu untuk busana ke pura biar lebih modern.
c)             Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana lokal yang menjadi trend terbaru dalam berbusana.
d)            Berkembangnya pariwisata bali terutama orang-orang suka dengan budaya dan busana bali sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para tusis-turis yang dating ke Bali.
e)             Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana modern dari luar yang dapat mempengaruhi busana adat ke pura sehingga dilihat menjadi lebih modis.
f)              Banyaknya umat Hindu (para ABG) yang mengikuti perkembangan fashion/trend terbaru dari berbagai gaya busana. Seperti kebaya, kamen dan pakaian lainnya.



Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana diera globalisasi antara lain :
a)             Kurangnya kesadaran terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari symbol-simbol busana adat kepura umat Hindu.
b)             Adanya penyimpangan etika dalam berbusana, seperti banyak busana contohnya : kebaya yang tarnsfaran dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas lutut).
c)             Adanya pikiran-pikiran kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang sopan terutama bagi laki-laki yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang tranfaran dan terlalu vulgar.
d)            Mengganggu kenyamanan saat sembahyang, dari bahan yang terlalu bervariasi dan gaya yang sedikit ketat.
e)             Adanya persaingan busana dikalangan ibu-ibu yang sedang sembahyang akibat berkembangnya terus fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan dan merasa jengah dalam berbusana.
2.3  Etika Berpakaian Sembahyang atau Busana Adat ke Pura yang Benar dan Tepat.
Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini tentunya dapat berpengaruh negatif. Generasi  muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode berpakaian namun hanya dilaksanakan dalam upacara resepsi atau menghadiri upacara perkawinan. Untuk berpakaian ke pura memang tidak ada aturan baku.
Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi. Sedangkan untuk pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifokasi hendaknya hanya dipakai saat pesta.
Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti upacara persembahyangan yang masuk kategori sebagai pakaian “tradisi-religi”, tentunya dimaksudkan untuk digunakan pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar yaitu Asuci laksana,dimana umat ketika datang pedek tangkil ke Pura sepatutnya terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan.
Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan, yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:
1.      Busana/pakaian pada Uttama Angga(kepala).
2.      Busana/pakaian Madyama Angga(badan),
3.      ­Busana/pakaian Kanistama Angga(dari pinggang ke bawah)

2.3.1        Etika  Busana Adat ke Pura untuk Putra

Dalam menggunakan busana adat diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma.
Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma.
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.
Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni:
a.              Udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta.
b.             Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.
c.              Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi serta disimbolkan sudah mampu menundukkan indria-indria.

2.4.1             Etika  Busana Adat ke Pura untuk Putri.
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek.
Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya).
Dalam Seminar sehari oleh Gunarta (2013) mengambil tema “ Filosofi Pakaian Adat Bali” dijelaskan pepusungan ada tiga yaitu :
1.      Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti.
2.      Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.
3.      Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.

















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, khususnya umat Hindu.
 Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi  dengan suatu bagian dari pengada hakiki.
Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi bentuk penampilan saat berbusana adat kepura remaja Hindu hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Banyaknya perubahan busana yang sedikit menyimpang seperti : busana pakaian wanita yang terlalu transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan.
Pemakaian sanggul yang kadang tertukar dengan perempuan yang lajang daan yang sudah berkeluarga. Bagi busana laki-laki dalam pemakaian busana udeng/destar kebanyakan tidak memakai symbol ikatan ujung udenga yang menghadap keatas, pemakaian kancut yang salah.
Pergeseran busana adat kepura mempunyai sebab dan dampak antara lain: sebab dari perubahan busana adat kepura seperti banyaknya pengaruh busana dari luar yang diadopsi serta dikombinasikan dengan budaya lokal busna Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana yang berkembang. Serta perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu kedepan seperti kurangnya pemahanan tattwa/filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap busana adat ke pura.

3.2       Saran
            Dari makalah ini kami menhgarapkan agar para pembaca dan umat Hindu pada umumnya agar seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan tattwa yang ada dalam tatanan agama dan budaya.
            Berpenampilan tetap cantik/tampan, rapi dan bersih pada saat melakukan persembahyangan tidak ada salahnya, namun tidak boleh berlebihan sehingga persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus menggunakan pakaian kebaya, dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk acara persembahyangan, dan rambut sewajarnya, demikian juga aksesoris. Dan jangan lupa agar filosofis dalam berpakaian tidak dilupakan. Karena itu adalah sebuah budaya yang patut untuk di pertahankan.










DAFTAR PUSTAKA
Mantra, Ida Bagus , 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma
Synnott, 2003. Tubuh Sosial : Simbolisme diri dan MasyarakatI. Yogyakarta: Jalasutra.
Tim Redaksi , (Bali Post) Minggu (8/12/2014). Denpasar. BALI POST




Tidak ada komentar:

Posting Komentar