Senin, 19 Maret 2018

Makalah Bhuta Yadnya sebagai Wujud Keseimbangan Alam Semesta


MAKALAH ILMU KEALAMAN DASAR
BHUTA YADNYA SEBAGAI WUJUD KESEIMBANGAN
ALAM SEMESTA
Dosen Pengampu: Untung Suhardi, S.Pd.H, M.Fil.H

Oleh:
       Eni Kusti Rahayu
I Made Sudiana Saputra


SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Om swastyastu,
            Pertama- tama patutlah kita menghaturkan angayubhagia ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas waranugrahaNya, penyusun mampu menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Ilmu Kealaman Dasar. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun berkat bantuan dosen pembimbing, doa orang tua, serta dorongan dari teman-teman, sehingga kendala yang penulis hadapi bisa teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang yadnya, khususnya Bhuta Yadnya, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi dan berita.
            Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran dan pengetahuan kepada pembaca, khususnya mahasiswa dan akademisi di Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, karena pengalaman yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap kepada dosen pembimbing dan para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini, baik dari bentuk maupun isinya, sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Om santi santi santi om,
Jakarta,  Mei 2016
Penyusun
           



DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Hakikat Yadnya............................................................................... 6
2.2  Jenis/ Tingkatan Bhuta Yadnya....................................................... 7
2.3  Upaya Nyata Mewujudkan Keseimbangan Alam Dengan Jalan Bhuta Yadnya
2.3.1 Tumpek Kandang........................................................................... 11
2.3.1 Tumpek Uduh................................................................................ 14
2.3.1 Tumpek Landep............................................................................. 15
2.3.1 Agni Hotra..................................................................................... 17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 20
3.2 Saran.................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 22
BIOGRAFI PENULIS......................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Yadnya merupakan segala bentuk pemujaan atau persembahan dan pengorbanan yang dilaksanakan secara tulus ikhlas untuk tujuan yang mulia dan luhur. Menurut kitab Bhagawadgita, yadnya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk melaksanakan persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi wasa. Yadnya dalam agama Hindu dikenal dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Pitra yadnya, Manusya Yadnya dan Bhuta Yadnya.
Selama ini ada suatu upacara yang terkesan menyeramkan yakni upacara bhuta yadnya. Setiap orang yang mendengar upacara tersebut dalam pikiran atau perasaannya mungkin akan langsung terbayang dengan suatu pelaksanaan ritual Hindu yang di dalamnya terdapat segala upaya untuk menjinakkan kekuatan-kekuatan gaib, magis, atau mistik, seperti penaklukkan bhuta, raksasa, atau pisaka (jin, setan).  Sesungguhnya upacara bhuta yadnya adalah ritual yang dilaksanakan untuk mengharmoniskan seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini yang merupakan ciptaan Tuhan. Tidak hanya manusia saja, namun hewan, tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun adalah ciptaan Tuhan yang harus kita harmoniskan agar tercipta suatu keseimbangan di seluruh alam semesta diantara semua ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas, dalam makalah ini kami akan berusaha memaparkan tentang bhuta yadnya dalam mengharmoniskan alam semesta agar dapat tejadi keseimbangan diantara semua makhluk di alam semesta. Disini kami juga akan membahas tentang berbagai ritual yang bertujuan untuk mengharmoniskan alam semesta, baik  dengan makhluk yang hidup ataupun  benda- benda yang tak hidup.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah hakikat yadnya?
2.      Apa saja jenis/ tingkatan Bhuta Yadnya?
3.      Bagaimana upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam dengan jalan Bhuta Yadnya?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hakikat yadnya;
2.      Untuk mengetahui jenis/ tingkatan Bhuta Yadnya;
3.      Untuk mengetahui upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam dengan jalan Bhuta Yadnya













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Yadnya
            Secara etimologi kata yadnya adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berasal dari urat kata “Yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan,  berkorban.   Jadi, yadnya adalah suatu bentuk pemujaan atau persembahan yang dilaksanakan secara tulus iklas untuk tujuan yang mulia dan  luhur yang ditujukan ke hadapan Ida sang Hyang Widhi wasa. Bentuk yadnya itu tidak hanya sebatas dalam bentuk upakara dan upacara agama saja, tetapi yang disebut yadnya adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan ikhlas tanpa pamrih. Jadi bentuk yadnya ada bermacam-macam, ada yang berbentuk persembahan dengan menggunakan sarana dan juga ada persembahan dalam bentuk pengendalian diri atau pengendalian indria serta pengorbanan kekayaan atau harta benda.
            Secara umum, tujuan melaksanakan yadnya adalah untuk mengamalkan ajaran Agama. Bahwa yadnya merupakan pengamalan ajaran weda dalam bentuk symbol-simbol. Symbol yang terdapat dalam pelaksanaan yadnya merupakan realisasi dari ajaran agama Hindu (Weda).  Selain itu tujuan yadnya adalah untuk  meningkatkan kualitas diri, yaitu manusia sebagai makhluk yang paling sempurna karena memiliki kemampuan untuk berpikir. Di dalam ajaran agama, ada ajaran pengendalian diri dimana manusia sangat perlu mengendalikan pikirannya agar dapat dengan baik mencapai harapan hidup yang di cita-citakan. Yadnya juga bertujuan untuk penyucian, yaitu untuk menyucikan atau pembersihan yang berhubungan dengan diri sendiri, sesame, alam lingkungan, dan juga kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berbagai macam upacaranya seperti padudusan, jenis-jenis tawur dan caru,  prayascita, panglukatan dan yang lainnya disamping bermakna sebagai persembahan juga bermakna sebagai pembersihan atau penyucian. (Sudirga:2007)


2.2  Jenis / Tingkatan dalam Bhuta Yadnya
1. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya yang paling kecil (kanista) adalah Segehan

Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa  Jawa: sego). Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis- jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita. Segehan ini adalah persembahan sehari- hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari).

2. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya Menengah (Madya) adalah caru

            Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
3. Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya yang paling besar ( uttama ) adalah tawur

Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta) . Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi. Adapun tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
2.3  Upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam semesta dengan jalan Bhuta yadnya
            Ada lima macam ritual Hindu yang disebut Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusya Yadnya, dan Bhuta yadnya. Masing-masing ritual itu memiliki tujuan dan fungsinya sendiri-sendiri. Ritual yang ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur ke hadapan Tuhan adalah Dewa yadnya, ritual yang bertujuan memberikan penghormatan kepada leluhur adalah Pitra Yadnya, yang bertujuan memberikan penghormatan kepada orang suci adalah Rsi Yadnya, yang bertujuan untuk menyempurnakan manusia adalah Manusya Yadnya, dan ritual yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan lingkungan alam semesta dari pengaruh vibrasi gelombang energi -energi negatif adalah Bhuta yadnya.
            Bhuta yadnya bertujuan untuk menetralisasi energi-energi negatif. Energi negatif tersebut diyakini berasal dari disharmonisasi antara  berbagai macam makhluk, baik makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan, juga disharmonisasi dengan makhluk-makhluk gaib yang berbadan energi eterik. Makhluk-makhluk yang berbadan energi eterik ini sangat besar pengaruhnya terhadap badan eterik manusia. Karena manusia selain memiliki badan kasar, manusia juga dibungkus oleh badan eterik. Disharmonisasi antara badan eterik manusia dengan badan eterik makhluk lain baik yang tampak maupun yang tak tampak mempunyai pengaruh terhadap kesadaran dan emosi manusia. Itulah sebabnya bhuta yadnya dilaksanakan dengan tujuan untuk mewujudkan keharmonisan alam semesta. Berikut adalah beberapa upaya untuk mewujudkan keseimbangan alam sehingga dapat diharapkan mampu menciptakan keharmonisan seluruh makhluk di alam semesta ini;

2.1.1. Bhuta Yadnya sebagai komunikasi dan harmonisasi tingkat partikel elektron atom dalam alam semesta
            Sesungguhnya seluruh alam semesta ini, baik dalam bentuk padat, cair, dan gas, merupakan satu kesatuan sub atomik atau elektron. Upacara bhuta yadnya lah yang berpengaruh dalam resrtukturisasi dan reposisi struktur electrkn-elektron partikel atom materi yang membangun bumi ini. Sebab  dalam bahasa sanskerta yang dimaksud dengan kata bhuta adalah materi atau unsur. Dengan demikian, alam semesta ini merupakan himpunan tak terhingga dari elektron-elektron unsur  yang terdiri dari delapan unsur  atau yang disebut Asta Prakrti, yaitu tanah, air, api, udara, ether, pikiran, budhi, dan ego. Elektron-elektron Asta Prakrti tersebut seluruhnya bervibrasi atau bergetar dengan irama kosmik atau irama alam yang telah di stem oleh sang penciptanya.
            Frekuensi gelombang asta prekrti ini dapat dipengarugi dan saling mempengaruhi dengan frekuesi gelombang otak. Saat ini gelombang asta prakrti alam semesta telah banyak dikacaukan oleh emisi gelombang manusia yang egoistik. Perut bumi atau pertiwi yang mengandung unsure-unsur asta prakrti telah dieksploitasi secara besar-besaran dengan menggunakan energi ahamkara (ego), akhirnya bumi sesekali memberikan reaksi atau teguran melalui bencana alam. Sesuungguhnya bencana alam itu diciptakan oleh energi ahamkara pikiran manusia. (Donder:2007)
            Agar dapat membebaskan diri dari gelombang –gelombang informasi yang menyesatkan, setiap orang seharusnya rajin menyelaraskan gelombang pikirannya dengan sumber gelombang kesucian, sumber gelombang kebijaksanaan, sumber gelombang kebenaran, dan itulah Tuhan. Gelombang spiritual itu melimpah adanya dan tidak memerlukan modal untuk mendapatkannya. Sembahyang, berdoa, kirthanam(memuji nama-nama Tuhan), dan japa, merupakan wujud upaya membebaskan diri dari volusi gelombang negatif di alam semesta ini. jika upaya itu telah berhasilmembawa frekuensi pikiran manusia pada level frekuensi yang sama atau selaras dengan level frekuensi alam semesta, maka vibrasi tersebut akan menjadi sarana interferensi terhadap frekuensi vibrasi gelombang Tuhan, dan itu membuat manusia dekat denganTuhan (Suja:2000).
            Sebagaimana dikatakan bahwa dengan sembahyang, berdoa, kirthanam, dan japa dapat membebaskan diri dari volusi gelombanng-gelombang negatif. Ritual Bhuta Yadnya, memiliki faktor yang signifikan terhadap untuk merestrukturisasi gelombang-gelombang mikro. Karena dalam ritual bhuta yadnya tersebut terdapat banyak penggunaaan unsur-unsur ritual yang berfungsi untuk melakukan proses super posisi gelombang-gelombang mikro.  Unsur-unsur itu antara lain ; (1) penggunaan sarana hewan, yang tubuhnya masih mengandung kadar air sebagai bahan konduktor atau penghantar arus gelombang elektromagnetik. (2) penggunaan warna hitam dari hewan korban sebagai sarana ritual Bhuta Yadnya mengandung maksud menjadikan sarana warna hitam sebagai sarana absorvsi atau penyerapan gelombang –gelombang kosmik, (3) penggunaan berbagai unsur-unsur bunyi-bunyian(seperti Kulkul atau kentongan), bunyi letusan bamboo ynag dibakar, (4) penggunaan gamelan Balaganjur (gamelan yang dipukul dengan semangat, semarak,energik, dan keras), bertujuan untuk melakukan  manufer manufer (super posisi) terhadap gelombang negatif (buruk) yang berpengaruh terhadap pola gelombang otak manusia. (5) penggunaan kidung yang melankolis sebagai sarana untuk merestrukrurisasi gelombang-gelombang yang kacau baik karena perbedaan frekuensi maupun arah rambatan gelombang itu, (6) penggunaan mantram yang bertujuan memperbaiki secara keseluruhan vibrasi kosmik.
            Seorang suci bernama Svami Sivananda (1998) mengatakan bahwa mantra berarti  sesuatu yang membebaskan pikiran manusia dari pengaruh gelombang-gelombang materi atau keterikatannya terhadap dunia (Prakrti). Penggunaan unsur ritual tersebut mampu menciptakan suasana ritual manjadi sebuah aktivitas yang seolah-olah bagaikan nada ritmik yang menyelusup diantara gelombang-gelombang alam semesta. Itulah sebabnya ritual bhuta yadnya yang dilakukan dengan penuh kesadaran, atau kepercayaan, dan pemahaman yang benar patut dilaksanakan oleh setiap individu maupun secara bersama. 
2.1.2  Upacara Tumpek Kandang untuk Harmonisasi Dunia Hewan dalam suatu sistem di alam semesta
             Tumpek  Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang seperti binatang yang disembelih dan binatang piaraan. Kenapa harus ada upacara untuk para binatang? Mungkin ada yang pernah bertanya dalam hati demikian. Sesungguhnya inilah Hindu yang mengajarkan cinta kasih yang besar kepada seluruh ciptaan Tuhan dan yang mengajarkan sifat untuk menghargai tak hanya kepada sesama manusia tapi juga kepada binatang ,tumbuhan dan seluruh ciptaannya. Karena dalam hindu terdapat amanat untuk menjaga keharmonisan hidup dengan semua mahluk dan alam semesta. Selain itu dalam ajaran Hindu, meyakini bahwa semua makhluk memiliki jiwa yang berasal dari Ida Sang Hyang Widhi.
Khusus pada perayaan Tumpek Kandang, umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Pasupati agar hewan peliharaannya diberkati kerahayuan. Sebab, hewan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Misalnya, sapi atau kerbau bagi para petani memiliki peran yang sangat besar dalam membantu aktivitas agrarisnya. Mengapa membuat upacara selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain, termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Keberadaan hewan dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu keniscayaan, oleh sebab itu manusia sebagai makhluk yang paling cerdas, paling mulia, (mengaku) paling dekat dengan Tuhan , tidak dapat mengabaikan atau bahkan mengutuk keberadaan salah satu hewan tersebut. Mungkin dari sudut pandang agama non Hindu, menganggap bahwa orang Hindu mempersekutukan Tuhan dengan binatang, memberhalakan binatang dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut dalam agama Hindu tidak popular, dan tidak dikenal karena dalam perspektif teologi agama Hindu saguna Brahman dan filosofi advaita, Tuhan itu “memang meresapi” masuk ke dalam tubuh makhluk hidup dan juga ke dalam benda-benda ata unsure alam semesta. Jadi, kata mempersekutukan itu tidak dipopulerkan dalam agama Hindu, yang lebih dipopulerkan adalah bahwa Tuhan Dan ciptaannya adalah satu.
            Ritual yang dilaksanakan pada hari tumpek kandang juga kerap disebut tumpek celeng, adalah ritual yang mengandung nilai-nilai luhur dan universal. Dikatakan demikian karena di dalam ritual tersebut terkandung proses edukasi yang bersifat natural evolisif, sehingga umat Hindu secara alamiah digiring pada proses pemahaman bahwa dunia hewan juga pantas menerima perlakuan atau perbuatan yang baik dari manusia.
            Ketika umat Hindu melaksanakan ritual tersebut, secara kasat mata terlihat bahwa para umat Hindu datang ke kandang atau ke tempat dimana hewan-hewannya ditambatkan seraya berbicara dan memberi penghormatan kepada hewan-hewan tersebut, seolah-olah ia berkomunikasi dengan hewan tersebut. Mungkin  paham antropologi menganggapnya sebagai manaisme atau dinamisme, namun dalam Kosmologi hindu tidak menganggapnya demikian. Manusia sebagai makhluk yang memperoleh predikat sebagai makhluk yang paling mulia, telah memperoleh suatu anugrah yang maha besar, yakni pikiran.  Demikian kata Svami Sivananda
            Dalam kaitannya dengan upacara atau ritual tumpek kandang yang selain bertujuan untuk mengucap syukur ka hadapan Tuhan, juga untuk memberi spirit kepada hewan-hewan agar keceriaan dan kesenangan yang dimiliki dapat tetap dipertahankan, sehingga para hewan lebih maksimal mengabdikan dirinya kepada manusia. Karena hewan-hewan itu diciptakan untuk melayani umat manusia, dan hewan-hewan itu akan berbahagia sekali jika dalam hidupnya dapat berguna bagi kehidupan manusia. Hewan hanya akan meningkat karmavasananya secara luar biasa, jika ia dalam hidupnya dapat mengabdi secara optimal kepada manusia. Manusialah yang akan meningkatkan derajat kelahiran hewan- hewan tersebut pada kelahiran berikutnya.
            Mantram, doa, atau ucapan syukur kepada Tuhan yang diucapkan ketika melakukan upacara tumpek kandang menyebabkan para hewan akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Hewan yang diperhatikan atau dipelihara dengan baik, maka mereka dapat berkomunikasi timbal balik. Contoh; hewan seperti anjing, kucing, bebek, babi, burubg, dan sebagainya jika dipelihara atau dirawat dengan baik, hewan-hewan itu ketika melihat tuannya (pemeliharanya) langsung menundukkan kepalanya atau menggerakkan ekornya. Itu merupakan isyarat bahwa hewan-hewan mwningkat kesadarannya.
            Pikiran yang baik akan mempengaruhi makhluk dan lingkungan sekitarnya, oleh sebab itu ritual tumpek kandang tersebut sampai saat ini masih memiliki fungsi dan efek positif terhadap upaya mewujudkan dunia yang semakin baik. Dunia yang semakin baik dapat berwujud mana kala semua makhluk memiliki pikiran dan perasaan yang mendalam untuk melakukan tugas pengabdian. (Donder :2007)

2.1.3  Upacara Tumpek Uduh untuk harmonisasi dengan dunia tumbuh-tumbuhan di alam semesta
            Tumpek Uduh adalah hari turunnya Sang Hyang Sangkara yang manjaga keselamatan hidup segala tumbuh-tumbuhan. Beliau menjaga agar tumbuh-tumbuhan itu subur tumbuhnya, hidup, dan terhindar dari hama penyakit, serta agar memberikan hasil yang melimpah, melebihi dari yang sebelumnya, dan bisa hemat atau tetap ada walaupun dipakai/dimakan.
            Pemujaan tumpek uduh dilaksanakan setiap 6 bulan sekali di hari sabtu kliwon tepat 25 hari sebelum hari raya galungan. Pemujaan tumpek uduh ini merupakan suatu persembahan kepada manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sangkara penguasa tumbuh-tumbuhan. Momentum ini sangat baik bagi manusia, mengingat begitu pentingnya tanaman dan alam semesta dalam arti yang sangat luas, sehingga menjadi harmoni dalam kehhidupan ini.
            Manusia sangat tergantung dari alam semesta raya ini, sebagai bagian dari alam semesta ini, maka umat Hindu sangat menghormati alam semesta beserta isinya. Oleh karena itu kita memperingati tumpek uduh sebagai suatu penghormatan terhadap alam yang telah menyediakan makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Esensi terpenting dan makna dari perayaan tumpek uduh adalah sebagai ucapan rasa terima kasih yang mendalam terhadap kekayaan alam yang melimpah ruah.
            Keberadaan atau kehadiran tumbuhan di dunia ini memiliki misi/ tugas masing- masing dari Tuhan yang mesti harus dilaksanakan. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling mulia akan sangat baik sekali jika pikiran dan rasa bersyukurnya kepada Tuhan itu disampaikan di dekat pohon atau tumbuhan itu, agar vibrasi atau getaran rasa syukur itu juga dapat merambat dan dirasakan oleh tumbuh-tumbuhan itu. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat dikatakan hanya sebagai makhluk yang tidak memiliki perasaan, bahkan sebaliknya, tumbuh-tumbuhan memiliki perasaan keceriaan, dan kemurungan seperti manusia (Bose dalam Jendra, 1999:102)
            Berbahagialah tumbuh-tumbuhan itu jika dalam hidupnya dijadikan sebagai persembahan. Secara spiritual, jiwa- jiwa atau roh yang ada pada setiap tumbuhan dipersembahkan kembali kepada Tuhan, dan fisiknya dipersembahkan kepada manusia.  Maka perasaan tumbuhan tersebut akan merasa bahagia manakala mereka dapat digunakan oleh manusia sebagai sarana ritual. Karena tumbuhan berfungsi sebagai sarana persembahan manusia kepada Tuhan, maka manusia harus berusaha memotivasi, mengajak agar para tumbuhan itu menyadari fungsinya sebagai persembahan, sehingga tumbuhan itu akan berdaun, atau berbuah yang lebat. Vibrasi ini sebagai gelombang pikiran dengan motif bakti dapat ditangkap oleh tumbuh-tumbuhan itu, sehingga mereka akan sangat bergembira dan antusias menerima permintaan manusia agar tumbuhan itu berbuah atau berdaun lebat. (Donder, 2007:392)


2.1.4  Upacara Tumpek Landep untuk Harmonisasi Tingkat Elektron Atom dalam   Sistem Teknologi di Alam Semesta
            Hari raya Tumpek Landep adalah hari yang dikhususkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dalam wujudnya sebagai Dewa Senjata ( Pasupati ). Tumpek Landep diperingati saat Saniscara Kliwon wuku Landep setiap 6 bulan sekali. Pelaksanaan upacara Tumpek Landep dilaksanakan karena mengandung hakekat dan makna yang tinggi dan sangat berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia terutama mengenai intelegensi manusia, karena manusia itu sendiri adalah termasuk makhluk religious yang selalu berhubungan dengan kekuatan supra natural.
Dari kata Landep sendiri mengandung pengertian  Tajam atau ketajaman. Tumpek Landep adalah ungkapan rasa terima kasih umat Hindu khususnya terhadap Sang Hyang Widi Wasa yang turun  ke dunia  dan memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia. Adapun ketajaman itu layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing seperti keris, tombak dan pedang.
Dalam pengertian lain bahan logam seperti besi,  perak, perunggu tersebut sudah banyak membantu dan mempermudah pekerjaan manusia dalam kehidupan sehari hari.  Hari raya Tumpek Landep sendiri adalah rangkaian dari  hari raya yang lain dan bila diurutkan akan seperti ini : hari raya Galungan, hari raya Kuningan, hari raya Saraswati dan hari raya Siwaratri dan hari raya Tumpek Landep itu sendiri. Dalam perayaan Tumpek Landep sendiri bisa dilakukan di rumah dan pura dengan cara mengumpulkan benda benda pusaka atau benda yang terbuat dari logam, upacara ini dilakukan dari pagi hingga sore hari.
Upacara ini terus dilakukan secara turun temurun sampai saat ini, dimana pada masa sekarang tidak hanya senjata yang terbuat dari besi namun barang/alat lain yang mengandung unsur besi atau benda dapat bergerak terbuat dari logam seperti  (sepeda motor, mobil) alat rumah tangga dan lain lain  yang ikut diupacarakan diberikan hiasan khusus dari janur yang di sebut tamian.Saat upacara berlansung benda benda yang terbuat atau mempunyai unsur logam ini diberikan sesajen agar dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan manusia untuk menjalani kehidupan sehari hari.
            Sebagaimana dikatakan bahwa bukan hanya hewan, tumbuhan dan manusia saja yang memiliki kekuatan, roh, dan perasaan, tetapi benda mati sekalipun memiliki roh. Oleh sebab itu agar seluruh partikel materi di alam semesta dapat menikmati kebahagiaan bersama, maka manusia pantas juga untuk membagi dan mengelola perasaan bahagianya itu sehingga mampu dirasakan oleh sarva bhuta (seluruh materi). Hindu tidak memiliki paham bahwa memberi penghormatan atau berkomunikasi dengan benda-benda mati sebagai tindakan berhala. Sebab jika ditelusuri secara kronologis sesungguhnyalah bahwa partikel asta prakrti bersenyawa dengan pikiran, budhi, dan kehendak (ego) dari roh semesta.
            Dengan demikian ritual tumpek landep yang dilaksanakan oleh umat Hindu itu sebagai upaya komunikasi antar partikel alam semesta demi mewujudkan keharmonisan alam semesta. Dalam pelaksanaannya hari raya tumpek landep dihaturkan ritual persembahan terhadap para penguasa atau kekuatan-kekuatan yang ada pada tombak, keris, peralatan pande (tukang besi). Kemudian saat ini berkembang perayaan hari raya tumpek landep  seperti, sepeda motor, mobil, computer, semua benda bermesin. Sehingga ritual tumpek landep sesungguhnya identik dengan perayaan hari raya teknologi.
            Adapun adanya, sesungguhnya ritual tumpek landep bertujuan untuk menciptakan harmonisasi tingkat partikel atom yang ada di bumi khususnya dan di alam semesta pada umumnya. Sehingga ritual ini memiliki makna yang sangat luhur. Harmoni dengan alam dan menghindari konflik dengan alam merupakan etik universal Hindu. Bila pikiran agama ras smith ingin menaklukkan alam, namun dalam paham Hindu manusia mampunyai peran memanajemen alam bersama alam.

2.1.5 Agni Hotra sebagai Upaya Mewujudkan Harmonisasi Universal pada Seluruh Sistem di alam Semesta
            Agnihotra berasal dari kata sanskerta, dimana terdiri dari dua kata yaitu agni dan hotra. Agni adalah api, dan hotra adalah persembahyangan atau melakukuan persembahan. Jadi agnihotra adalah sebuah ritual atau bentuk upacara persembahan. Agnihotra adalah upacara persembahan kepada Dewa agni, suatu upacara yang sangat penting dalam Veda yang dilaksanakan sehari-hari oleh golongan grhastin. Tujuan Agnihotra adalah untuk menetralisir alam semesta dari pengaruh dan tendensi duniawi. Barangsiapa yang menghalangi pelaksanaan Homa suci ini maka dalam hidupnya tidak akan dapat menumbuhkan dan merasakan kedamaian.
            Pada semua pelaksanaan upacara yang menggunakan api, Agnihotra lah sebagai dasarnya yang diuraikan dalam veda. Agnihotra merupakan ritual yang berkaitan dengan bioenergi, psikologi, obat-obatan, pertanian, biogenetic, mikrobiologi, dan komunikasi interplanet. Oleh sebab itu agni hotra sesungguhnya merupakan ritual holistic, menyeluruh, dan multifungsi. Ia berfungsi sebagai; psikoterapi, rekayasa biogenetic, planologis, dan multi terapi.
            Ribuan orang, umumnya dari Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, telah mendapatkan kesembuhan dan manfaat lainnya dari agnihotra. Agnihotra membuat pelaksana yadnya inteligensinya meningkat, sel- sel otaknya berganti dengan yang baru, terjadi penyegaran kulitnya, terjadi pembersihan pada darahnya. Agnihotra dapat menetralkan serangan bakteri. Banyak energy positif dan energy kesehatan yang keluar dari pelaksanaan agnihotra. Power kehidupan lahir dari api agnihotra ini, hanya pada waktu itu dalam lingkaran tersebut terdapat banyak sekali kekuatan datang dari agnihotra ini yang dapat merubah struktur dan formasi dari semua atom, sehingga semua substansi, bahan-bahan menjadi universal. Agnihotra juga dapat membantu memperbaiki lapisan ozon yang telah rusak.
            Masih banyak lagi manfaat agnihotra itu, antara lain bahan- bahan yang telah menjadi abu di dalam api persembahan itu dapat digunakan sebagai; kapsul, bubuk, krim, untuk terapi atau pengobatan; sakit telinga, hidung, tenggorokan (THT), dan lain-lainnya. Abu agnihotra inilah yang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam berbagai kesulitan, keluhan, dan aneka penyakit.
            Apa yang terjadi ketika upacara agnihotra dilaksanakan, sehingga ritual agnihotra itu mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia di dunia? Sesungguhnya apa yang terjadi itu dapat dijelaskan dengan teori ilmu mekanika gelombang atau fisika quantum, yakni dengan pelaksanaan ritual agnihotra tersebut telah terjadi suatu reaksi gelombang dengan tingkat partikel sub atomic atau reaksi gelombang pada tingkat partikel electron atom. Hal  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; ketika damaru/ kendang, genta/lonceng pandita, kirtan/ lagu pujian, japam/ pengulangan nama-nama dewa atau Tuhan diucapkan dalam pelaksanaan ritual agnihorta, juga meditasi atau pemusatan pikiran dilaksanakan, maka terjadi proses superposisi gelombang.
            Terbukti bahwa dengan tahapan-tahapan proses agnihotra secara benar, akan dapat membuat manusia terkondisikan agar memiliki pancaran gelombang otak yang selaras dengan gelombang alam semesta/ kosmik. Ketika vibrasi otak manusia setara dengan gelombang kosmik, maka manusia menjadi bagian dari kosmik dan sekaligus sebagai pengatur atau penguasa kosmik itu sendiri. Dengan kata lain bahwa manusia yang memiliki vibrasi gelombang pikirannya setara dengan gelombang kosmik, maka manusia seperti itu telah berubah statusnya menjadi dewa atau Tuhan itu sendiri. Manusia seperti itu akan dapat memerintahkan alam sesuai dengan keinginannya. Dari salah satu aspek ritual agnihotra itu dapat diketahui bahwa demikian besar fungsi agnihotra tersebut, yakni dapat mengharmoniskan antara dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos.                  










BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Yadnya adalah suatu bentuk pemujaan atau persembahan yang dilaksanakan secara tulus iklas untuk tujuan yang mulia dan  luhur yang ditujukan ke hadapan Ida sang Hyang Widhi wasa. Yadnya juga bertujuan untuk penyucian, yaitu untuk menyucikan atau pembersihan yang berhubungan dengan diri sendiri, sesame, alam lingkungan, dan juga kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa  Jawa: sego). Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya. Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang.  Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Upaya nyata dalam mewujudkan keseimbangan alam semesta dengan jalan Bhuta yadnya. Upacara Tumpek Kandang untuk Harmonisasi Dunia Hewan, ritual tumpek kandang tersebut sampai saat ini masih memiliki fungsi dan efek positif terhadap upaya mewujudkan dunia yang semakin baik.  Upacara Tumpek Uduh untuk harmonisasi dengan dunia tumbuh-tumbuhan, Karena tumbuhan berfungsi sebagai sarana persembahan manusia kepada Tuhan, maka manusia harus berusaha memotivasi, mengajak agar para tumbuhan itu menyadari fungsinya. Agni Hotra sebagai Upaya Mewujudkan Harmonisasi Universal pada Seluruh Sistem di alam Semesta, fungsi agnihotra tersebut, yakni dapat mengharmoniskan antara dunia mikrokosmos dan dunia makrokosmos.          
3.2         Saran
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia memiliki kesadaran dan juga pikiran terhadap kewajiban untuk melunasi hutangnya. Untuk melunasi hutangnya itu diwujudkan dengan yadnya atau korban suci, salah satu hutang yang harus dilunasi adalah dengan jalan bhuta yadnya, sesuai dengan topic yang kita bahas diatas. Upacara bhuta yadnya sebaiknya selalu rutin dilaksanakan oleh setiap umat, agar keharmonisan di alam semesta ini lebih terasa dan dapat tercipta keseimbangan antara semua makhluk di alam ini.















DAFTAR PUSTAKA
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu. Surabaya: Paramita
Suarjaya, I Wayan, dkk.2008.Panca Yadnya.Denpasar: Penerbit Widya Dharma
Sudirga, Ida Bagus, dkk.2007. Pelajaran agama Hindu untuk kelas XI SMA. Surabaya: Paramita
Surayin,Ida Ayu Putu. 2002. Upacara-Upacara Yadnya. Surabaya: Paramita

Aditya, Gede. http://adityamp17082000.blogspot.co.id/makalah-agama-bhuta-yadnya (Diakses pada tanggal 25 mei 2016, pukul 10.36 WIB)
http://balitoursclub.com/berita_146_makna_tumpek_uduh.html (Diakses pada tanggal 4 Juni 2016 pukul 10.03 WIB)
http://budilana-legenda.blogspot.co.id/2012/02/upacara-agnihotra.html (Diakses pada tanggal 4 Juni 2016 pukul 10.03 WIB)
https://pendidikanagamahindu.wordpress.com/makna-hari-suci-tumpek-landep/ (Diakses pada tanggal 4 Juni 2016 pukul 10.03 WIB)
Sudarma, I Wayan. https://dharmavada.wordpress.com/2011/03/27/agni-hotra-selayang-pandang (Diakses pada tanggal 26 Mei 2016, pukul 07.16 WIB)







BIODATA PENULIS
Eni Kusti Rahayu

Pekalongan, 01 Desember 1996

Pondok Kuwera No 20,Kel.Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur

Prodi Penerangan Agama Hindu

I Made Sudiana Saputra

Lampung,Kec.Seputih Raman,14 April 1997
Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma
Prodi Pendidikan Agama Hindu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar