Pengertian Komunikasi Massa
Dosen: Dr. Ispawati Asri, MM
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
A. Pengertian dan Proses
Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah proses komunikasi melalui media
massa moderen yang meliputi:
1. media cetak yang mempunyai
sirkulasi yang luas;
2. siaran radio dan televisi
yang ditujukan kepada umum;
3. film yang dipertunjukkan di
gedung-gedung bisokop.
Selain media massa modern, menurut Rogers terdapat media
massa tradisional, seperti: pertunjukkan teater rakyat, wayang, juru dongen,
dan lain-lain.
Dalam konteks komunikasi
massa, lazimnya adalah komunikasi massa melalui media massa moderen yang
menunjukkan seluruh sistem terorganisasi di mana “pesan-pesan” diproduksikan, dipilih,
disiarkan, diterima, dan ditanggapi.
Komunikasi massa berarti juga menyiarkan informasi, program,
dan sikap kepada khalayak yang beragam, dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan media massa. Khalayak dalam konteks ini disebut sebagai “massa”.
Pengertian massa dalam konteks komunikasi berbeda dengan pengertian massa dalam
konteks psikologi sosial. Massa dalam pengertian psikologi sosial merupakan
kerumunan yang bersifat terstruktur dan secara kolektif dapat membentuk menjadi
“jiwa massa”. Sedangkan massa dalam
konteks komunikasi bersifat anonim, berjumlah banyak, tidak berstruktur, dan
tersebar di mana-mana. Ini berarti, melakukan kegiatan komunikasi massa jauh
lebih sukar daripada jenis komunikasi lainnya. Untuk mengurangi kesukaran
tersebut maka komunikator komunikasi massa perlu memperhatikan: (1) Apa yang
dikomunikasikan? (2) Bagaimana mengkomunikasikannya? (3) Bangun empati khalayak
dengan cara kontak pribadi yang diulang ribuan kali secara serentak.
Komunikasi massa menghendaki organisasi resmi namun juga
rumit untuk kegiatan operasionalnya, karena produksi media cetak dan elektronik
meliputi:
a. sumber pembiayaan dan
pengawasan keuangan.
b. manajemen yang baik dan
ahli.
c. pengawasan normatif dari
pihak lain
d. hubungan dengan lembaga
lain.
Beberapa
defenisi komunikasi massa.
☺
Komunikasi massa adalah proses di mana
informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh
khalayak (Ruben, 1992)
☺
Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980)
☺
Komunikasi massa adalah suatu proses
dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan
pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang
diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan
melalui berbagai cara. (DeFleur
dan Denis, 1985)
Dari ketiga defenisi di atas dapat
disarikan beberapa unsur yang terlibat dalam komunikasi massa.
1.
sumber
2.
khalayak
3.
pesan
4.
proses
5.
konteks
6.
media
Berkaitan dengan pengertian di atas, komunikasi massa
memiliki karakteristik yang membedakannya dengan jenis komunikasi yang lain,
yaitu:
a. Bersifat Umum. Pesan yang disampaikan
terbuka untuk semua orang. Untuk itu perlu pengawasan resmi yang berkaitan
dengan larangan dalam bentuk hukum atau kode etik.
b. Khalayak Bersifat Heterogen. Sejumlah orang yang
heterogen yang disatukan oleh suatu minat sama, tingkah laku yang sama, terbuka
untuk tujuan yang sama. Namun mereka tidak saling kenal, berinteraksi secara
terbatas, dan tidak terorganisasi.
c. Menimbulkan Keserempakan. Keserempakan kontak
dengan sejumlah penduduk dalam jarak yang jauh dan saling terpisah.
d. Hubungan Bersifat
nonpersonal.
1. Karena khalayak yang anonim
yang dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranan yang bersifat
umum sebagai komunikator.
2. Berlaku sifat one-way
communication.
3. Jarak input – output sangat
lebar namun dapat diketahui melalui bukti keuntungan dari siaran komersial.
Selain itu, pendapat lain tentang karakter
komunikasi massa yaitu:
1.
Ditujukan
pada khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar dan tidak mengenal batas
geografis-kultural.
2.
bersifat
umum, bukan perorangan atau pribadi. Kegiatan penciptaan pesan melilbatkan
orang banyak dan terorganisasi.
3.
pola
penyampaian bersifat cepat dan tidak terkendala oleh waktu dalam menjangkau
khalayak yang luas.
4.
penyampaian
pesan cenderung satu arah.
5.
kegiatan
komunikasi terencana, terjadwal dan terorganisasi.
6.
penyampaian pesan bersifat berkala,
tidak bersifat temporer.
7.
isi pesan mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, politik dll)
Memahami
komunikasi massa tidak akan terlepas dari media massa, karena objek kajian
terbesar adalah pada peran dan pengaruh yang dimainkan media massa. Di bawah
ini akan diuraikan faktor-faktor yang
mendasar dari media massa:
1.
media massa merupakan industri yang
berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta
menghidupkan industri lain yang terkait. Media juga merupakan industri sendiri
yang memiliki peraturan dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut
dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di lain pihak, institusi media di atur oleh
masyarakat.
2.
media
massa merupakan sumber kekuatan- alat kontrol, manajemen, inovasi dalam
masyarakat yang dapat didayagunakan
sebagai penganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
3.
media
merupakan forum atau agen yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa
kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.
4.
media
seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam
pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian
pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
5.
media
telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran
dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara
kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan
dengan berita dan hiburan.
Konsep
komunikasi massa itu sendiri pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses
dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada public secara
luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari,
digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Pusat dari studi mengenai komunikasi
massa adalah media. Media merupakan organisasi yang menebarkan informasi yang
berupa produk budaya atau pesan yang mempengaruhinya dan mencerminkan budaya
dalam masyarakat. Oleh karenanya,
sebagaimana dengan politik atau ekonomi, media merupakan suatu sistem
tersendiri yang merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas.
Analisis
media mengenai adanya dua dimensi komunikasi massa, yaitu:
1. Dimensi makro, yaitu dimensi yang memandang dari sisi
media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Pandangan ini
menggambarkan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain seperti
politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan
tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan terjadinya saling mempengaruhi antara
berbagai struktur kemasyarakatan dengan media.
2. Dimensi mikro, yaitu melihat kepada hubungan antara media
dengan audience, baik secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai
hubungan antara media audience, terutama menekan pada efek-efek individu dan
kelompok sebagai hasil interaksi dengan media.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Onong Uchjana
Efendy, dengan mengutip Severin dan Tankard, mengemukakan definisi
komunikasi massa sebagai sebagai berikut : ”Komunikasi massa adalah sebagian
ketrampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Sebagai ketrampilan jika
komunikasi massa meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat
dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder,
atau mencatat ketika wawancara. Sebagai seni dalam pengertian bahwa ia meliputi
tantangan-tantangan kreatif seperti
menulis naskah untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis
untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi suatu kisah
berita. Sebagai ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip
tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan
dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik”.
B. Bentuk-bentuk Komunikasi
dalam Konteks Komunikasi Massa
Bentuk-bentuk komunikasi dalam konteks komunikasi massa terbagi
dalam kategori sebagai berikut:
a. Model Komunikasi Massa
Kategori ini mencakup empat model komunikasi massa
sebagai berikut:
1. Model Jarum Suntik (Hypodermic
Needle Model)
Asumsi dasarnya adalah
bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera, dan langsung
pada massa komunikan yang pasif. Elihu Katz mengatakan dua hal:
(a) bahwa media massalah
yang sangat ampuh yang mampu memasukkan ide pada benak khalayak yang tidak
berdaya.
(b) bahwa massa komunikan
terpecah-pecah namun terhubung dengan media massa, sebaliknya antar komunikan
tidak saling terhubungkan.
2. Model Arus Satu Tahap
(One Step Flow Model)
Asumsi dasarnya adalah
bahwa media massa berkomunikasi langsung dengan massa komunikan tanpa
berlalunya suatu pesan melalui orang lain. Pesan tersebut tidak mencapai semua
komunikan dan tidak menimbulkan efek yang sama pada setiap komunikan.
Model satu tahap ini
mengakui bahwa:
(a) media tidak mempunyai
kekuatan yang hebat.
(b) aspek pilihan dari
penampilan, penerimaan, dan penahanan dalam ingatan yang selektif mempengaruhi
suatu pesan.
(c) untuk setiap komunikan
terjadi efek yang berbeda.
3. Model Arus Dua Tahap (Two
Step Flow Model)
Model komunikasi dua
tahap ini berasal dari Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudel (1948) yang berdasarkan
penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat
kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leader). Dari mereka ini
(opinion leader) pesan media massa tersebut berlalu menuju penduduk yang kurang
giat.
Adapun tahapan
tersebut adalah sebagai berikut:
(a) Tahap pertama adalah
dari sumbernya, yaitu komunikator media massa kepada pemuka pendapat yang
mendapatkan suatu informasi.
(b) Tahap kedua adalah
dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya. Pada tahap kedua ini juga
mencakup penyebaran pengaruh yang dilakukan oleh pemuka pendapat.
Berdasarkan bentuk model
dua tahap ini, menyebabkan ilmuwan komunikasi mulai menaruh perhatian kepada
peranan media massa dan komunikasi antar pribadi dalam suatu proses komunikasi
dalam konteks komunikasi massa.
4. Model Arus Banyak
Tahap (Multy Step Flow Model)
Model arus banyak
tahap ini didasarkan pada fungsi penyebaran yang berurutan yang terjadi pada
kebanyakan situasi komunikasi. Model ini menyatakan bahwa:
(a) bagi lajunya
komunikasi dari komunikator kepada komunikan terdapat jumlah “relay” yang
berganti-ganti.
(b) beberapa komunikan
menerima pesan langsung melalui saluran dari komunikator, sementara yang
lainnya terpindahkan dari sumbernya beberapa kali.
(c) jumlah tahap yang
pasti dalam model ini bergantung pada:
Ø maksud dan tujuan
komunikator,
Ø tersedianya media
massa dengan kemampuan untuk menyebarkan pesan,
Ø sifat dari pesan, dan
nilai pentingnya pesan bagi komunikan.
b. Kekuasaan terhadap
Media Massa
Bentuk kekuasaan terhadap media massa dalam konteks
komunikasi massa lebih dikenal sebagai suatu sistem pers dalam arti luas yang
berlaku di berbagai negara di dunia. Pers dalam arti luas mencakup: (a) media
massa cetak seperti: surat kabar, majalah, (b) media elektronik, seperti:
radio, televisi. Sistem pers tersebut dibukukan oleh ilmuwan Amerika, yaitu
Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm pada tahun 1956 dlam
bukunya yang berjudul “Four Theories of the Press”.
Empat teori sistem kekuasaan negara terhadap media massa
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teori Otoriter
(Authoritarian Theory)
Teori otoriter
seringkali disebut juga sistem otoriter berkaitan erat dengan sistem pengawasan
terhadap media massa yang daya pengaruhnya dinilai amat kuat. Aplikasi teori
ini dimulai pada abad 16 di Inggris, Perancis, dan Spanyol, yang pada zaman
berikutnya meluas ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan
Amerika latin.
Menurut Fred S.
Siebert, teori otoriter menyatakan bahwa hubungan antara media massa dengan
masyarakat ditentukan oleh asumsi-asumsi filsafati yang mendasar tentang
manusia dan negara. Dalam hal ini tercakup:
(a) sifat manusia, (b) sifat masyarakat, (c) hubungan antara manusia dengan
negara, dan (d) masalah filsafati yang mendasar, sifat pengetahuan, dan sifat
kebenaran.
Asumsinya adalah
seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota
masyarakat. Sebagai individu, lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi
sebagai anggota masyarakat kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan dapat
ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompok lebih penting
daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat mencapai
tujuannya.
Teori tersebut telah
mengembangkan proposisi bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat
paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat
nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya
sebagai manusia beradab.
Berdasarkan proposisi
tersebut dapat dikatakan bahwa ketergantungan seseorang pada negara untuk
mencapai peradaban telah menjadi unsur utama pada sistem otoriter.
2. Teori Liberal
(Libertarian Theory)
Teori ini
menitikberatkan superioritasnya pada prinsip kebebasan perorangan, penilaian, dan aksioma bahwa
kebenaran jika diberi kebebasan, akan muncul sebagai pemenang dalam setiap
perjuangan. Slogannya dalah proses tegakkan diri (selfrighting process)
dan wahana pertukaran gagasan (market place of idea).
3. Teori Komunis Soviet
(Soviet Communist Theory)
Konsep kebebasan pers
di Uni Soviet adalah kebebasan negatif, yaitu kebebasan dari. Sedangkan
konsep kebebasan pada sistem tanggung jawab sosial adalah kebebasan positif,
yaitu kebebasan untuk.
Hipotesanya adalah
jika dikatakan bahwa pers atau media massa di Uni Soviet adalah bebas, bukan
bebas dalam arti untuk menyatakan pendapat, melainkan bebas dari kapitalisme,
individualisme, borjuasi, dan anarki.
4. Teori Tanggung Jawab
Sosial (Social Responsibility Theory)
Pemikiran utamanya
adalah bahwa kebebasan dan kewajiban berlangsung secara beriringan. Dan
pers/media massa yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis
berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan
fungsi-fungsi tertentu yang hakiki.
Teori ini lahir
sebagai akibat dari kritik-kritik yang sangat tajam dan gencar terhadap
kegiatan pers yang liberal.
Teori tanggung jawab
sosial berpijak pada kemerdekaan yang positif.
c. Pendekatan/Perspektif
Media Massa
1.
Pendekatan Transmisional
Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan transmisional
pada dasarnya menjelaskan sutau proses komunikasi dengan melihat
komponen-komponen yang terkandung didalamnya dan rangkaian aktivitas yang
terjadi antara satu komponen dengan komponen lainnya (terutama mengalirnya
pesan/informasi). Teori tentang
transmisi pesan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika,
Claude Shannon pada akhir tahun 1940-an.
Shannon yang bekerja pada biro penelitian perusahaan telepon Bell,
menerapkan pemikirannya terutama untuk penelitian kepentingan
telekomunikasi. Dia berangkat dari
sejumlah pertanyaan yang menyangkut jenis saluran komunikasi apa yang dapat
mengangkut muatan sinyal secara maksimum?
Berapa banyak muatan sinyal yang ditransmsikan akan rusak oleh gangguan
yang mungkin muncul dalam perjalanannya menuju penerima sinyal?
Pertanyaan ini pada dasarnya menyangkut bidang teori
informasi. Meskipun demikian, teori yang
dikembangan Shannon bersama rekan
kerjanya Warren Weaver, dalam suatu bentuk model, telah digunakan sebagai
analogi oleh berbagai ilmuwan sosial.
Walau prinsip teknologis pasti berbeda dari proses komunikasi manusia,
namun teori Shannon-Weaver telah menadi ide dasar bagi banyak teori komunikasi
(massa) di kemudian hari.
Komunikasi oleh mereka digambarkan sebagai suatu proses
yang linier dan searah. Yaitu proses di
mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber dengan melalui beberapa komponen
menuju kepada tujuan (komunikan).
Terdapat lima fungsi yang beroperasi dalam proses komunikasi di samping
satu faktor disfungsional yaitu noise
atau ganguan.
Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti
bekerjanya proses penyiaran radio. Pada
bagian pertama dari proses adalah sumber informasi yang menciptakan pesan atau
rangkaian pesan untuk dikomunikasikan.
Pada tahap berikutnya adalah pesan diubah ke dalam bentuk sinyal oleh
trasmiter sehingga dapat diteruskan melalui saluran pada penerima. Penerima lalu menyusun kembali sinyal menjadi
pesan sehingga dapat mencapai tujuan.
Sementara itu sinyal dalam perjalanannya memiliki potensi untuk
terganggu oleh berbagai sumber gangguan yang muncul. Misalnya, ketika terdapat terlalu banyak
sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan pula. Hal ini akan mengakibatkan adanya perbedaan
antara sinyal yang ditrasmisikan dan sinyal yang diterima. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pesan
yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun kembali oleh penerima hingga
mencapai tujuan, tidak selalu memiliki makna yang sama.
Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu
pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang sama, adalah
merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi.
Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini,
MelvinDeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass Communication,
mengembangkan dan mengaplikasikannya ke dalam teori komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan makna dari pesan yang
diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi ’makna’
diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh transmiter menjadi informasi,
dan kemudian disampaikan melalui suatu saluran (misalnya media massa). Informasi diterima sebagai pesan, lalu diubah
menjadi ’makna’ tersebut, maka hasilnya adalah komuniaksi. Namun, seperti dikemukakan sendiri DeFleur,
jarang sekali korespondensi yang sempurna.
Artinya, dengan
toleransi tertentu, komunikasi masih dapat terjadi meskipun terdapat juga
’sejumlah’ perbedaan makna.
DeFleur menambahkan beberapa komponen dalam bagan Shannon
Weaver untuk menggambarkan bagaimana sumber/komunikator mendapatkan umpan balik
atau feedack, yang memberikan kemungkinan kepada komunikator untuk dapat lebih
efektif mengadaptasikan komunikasinya.
Dengan demikian, kemungkinan untuk mencapai korespondensi/kesamaan makna
akan meningkat.
Bagan Shannon-Weaver, walaupun berkesan linier dan tanpa
umpan balik, ternyata telah meletakkan dasar bagi pengembangannya oleh
DeFleur. Bagan DeFleur di atas telah memberikan gambaran yang
lebih lengkap tentang fenomena komunikasi massa. Meskipun demikian, dalam hal komunikasi
massa, sumber/komunikator biasanya memperoleh umpan balik yang sangat teratas
dari audiencenya.
2.
Pendekatan Psikologi Sosial
Dengan mendasarkan pada prinsip keseimbangan kognitif
yang dikemukakan oleh psikolog Heider (1946), dan penerapannya oleh Newcomb
(1953) pada keseimbangan antara dua individu dalam proses komunikasi ketika
menganggapi suatu topik tertentu, McLeod
dan Chaffee (1973) mengemukakan teorinya yang disebut Ko-orientasi. Fokus dari teori ini adalah komunikasi antarkelompok
dalam masyarakat yang berlangsung secara interaktif dan dua arah. Pendekatan ini memandang sumber informasi,
komunikator, dan penerima dalam suatu situasi komunikasi yang dinamis.
Bagan tersebut menggambarkan bahwa ’elite’ biasanya
diartikan sebagi kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. ”Peristiwa” atau topik/issue adalah
perbincangan/perdebatan mengenai suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat,
di mana dari sini akan muncul berbagai informasi (seperti digambarkan dengan
deretan X).
Publik adalah kelompok/komunitas dalam masyarakat yang
berkompeten dengan peristiwa yang diinformasikan dan sekaligus sebagai audience
dari media. Sementara itu media mengacu
pada unsur-unsur yang ada di dalam media, seperti wartawan, editor, reporter,
dan sebagainya. Garis yang menghubungkan
berbagai elemen tersebut memiliki sejumlah interpretasi. Dapat berupa hubungan, sikap, ataupun
persepsi. Demikian pula arah dari garis
tersebut dapat dianggap sebagai komunikasi searah ataupun dua arah.
Teori ini
menjelaskan bahwa informasi mengenai suatu peristiwa dicari dari, atau didapat
oleh, anggota masyarakat dengan mengacu pada pengalaman pribadi, sumber dari
kalangan elite, media massa, atau kombinasi ketiganya. Relevansi dari teori ini terletak pada
situasi yang dinamis yang dihasilkan oleh hubungan antara publik dan kekuatan
politik (elite) tertentu, pada sikap publik terhadap media, dan pada hubungan
antara elite dan media. Perbedaan atau
pertentangan antara publik dan elite dalam mempersepsi suatu peristiwa akan
membawa pada upaya mencari informasi dari media massa dan sumber-sumber
informasi lainnya. Perbedaan ini dapat
pula membawa ke arah upaya elite untuk memanipulasi persepsi publik dengan
secara langsung mencampuri peristiwa
tersebut atau dengan cara mengendalikan media massa.
Kerangka acuan yang digunakan teori ini dapat diperluas
dengan melibatkan sejumlah variabel dari elemen-elemen utama teori ini (publik,
elite, media dan peristiwa). Jadi kita dapat membedakan peristiwa berdasarkan
relevansinya, nilai pentingnya, aktualitasya, atau tingkat kontroversinya. Kita dapat menggolongkan publik atas segmen
atau sektor, memberikan kategori atas sumber-sumber informasi dalam elite
berdasarkan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat. Sebagai ilustrasi, penelitian mengenai
penggunaan media massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor (1973)
membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap kontroversial
akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi dari media massa mengenai
peristiwa tersebut.
Teori lainnya yang lebih sosiologis dikemukakan oleh
John. W. Riley dan Mathilda White Riley (1959).
Mereka berangkat dari anggapan bahwa teori-teori komunikasi massa yang
ada pada saat ini menimbulkan kesan seolah-olah proses komunikasi terjadi dalam
situasi sosial yang vacuum (hampa) dan bahwa pengaruh lingkungan terhadap
proses tersebut terasa diabaikan. Padahal, seperti mereka katakan, manusia
sebagai mahluk yang berkomunikasi merupakan bagian dari berbagai struktur
sosial yang berbeda. Oleh karenanya,
mereka menawarkan suatu teori yang bertujuan untuk menganalisis komunikasi
massa yang lebih menekankan pada aspek sosiologis dengan menganggap bahwa
komuniaksi massa merupakan satu di antara berbagai sistem sosial yang ada dalam
masyarakat.
Riley and Riley menunjuk pada peran primary group dan
reference group dalam proses komunikasi.
Primary group ditandai dengan
hubungan yang intim antar anggotanya, misalnya keluarga. Sedangkan reference
group adalah kelompok dimana seseorang belajar untuk mengenal sikap, nilai,
dan perilakunya. Dalam banyak hal
primary group acapkali berfungsi pula sebagai refence group. Sebagai komunikator atau penerima pesan,
individu dipengaruhi oleh primary group.
Dalam kapasitasnya sebagai komunikator, individu mungkin terpengaruh
dalam memilih dan membentuk pesannya, mempersepsi pesan, dan menanggapi pesan. Pada sisi lain, primary group juga
terpengaruh sebagian oleh interaksi dengan primery group lainnya; dan sebagian
lagi oleh struktur social yang lebih luas, yang juga secara langsung dapat
mempengaruhi individu. Struktur social
yang lebih luas ini seringkali dikenal pula sebagai secondary group, seperti misalnya organisasi politik, perusahaan,
atau serikat pekerja. Di mana seperti
halnya primary group, telah memperkenalkan norma dan menjadi panutan dalam
berperilaku.
Komunikator dan penerima digambarkan sebagai elemen dari
dua struktur yang lebih besar yang saling terkait, misalnya melalui mekanisme
umpan balik. Dalam lingkup yang lebih
luas mereka meletakkan sistem komunikasi dalam suatu keseluruhan sistem sosial;
dalam masyarakat dimana orang-orang yang terlibat dalam komunikasi berinteraksi
dengan berbagai kelompok di sekelilingnya dan struktur sosial yang lebih
luas. Jadi, proses komunikasi massa
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses sosial yang lebih luas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar