DHARMA WACANA
IMPLEMENTASI
HARI RAYA NYEPI
Oleh
: Eni Kusti Rahayu
Om Awighnam Asthu namo siddham, Om Swastyastu.
Yang disucikan para sulinggih
Yang terhormat Ketua STAH Dharma Nusantara jakarta.Yang
saya Hormati Bapak-bapak, Ibu- Dosen serta teman- teman mahasiswa yang
berbahagia.
Puji
syukur mari kita panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas Astungkerta
WaranugrahaNya pada kesempatan yang baik ini kita dapat berkumpul dalam ruangan
ini dalam keadaan sehat. Tentu saya sangat senang sekali dapat bertemu dengan
Bapak/Ibu dan umat sedharma, pada kesempatan ini izinkanlah saya membawakan
pesan dharma dengan bahasan Hari Raya Nyepi. Bagi umat Hindu, Hari raya Nyepi
mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Pelaksanaan hari raya Nyepi ini
sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat individu sebagai makhluk ciptaan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kesadaran itu mereka
akan mewujudkan suatu kehidupan yang
selaras, seimbang dan serasi antara jiwa dan raga, antara inidividu
dengan masyarakat, antara manusia dangan Tuhan, serta dengan alam
lingkungannya.
Bapak/ibu, dan umat sedharma yang
berbahagia
Mungkin
pertanyaan pernah muncul dibenak kita mengapa perayaan Nyepi tidak di rayakan dengan pesta yang
ramai,meriah dan megah seperti perayaan-perayaan pada umumnya? Sebelum saya
mencoba menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebuh dahulu kita ketahui arti kata Nyepi itu sendiri.
Seperti yang kita tahu bahwa kata Nyepi itu sendiri berasal dari kata sepi,
sipeng, yang berarti hening, sunyi, sepi dan senyap. Sehingga dimaksudkan agar
perayaan Nyepi itu dilaksanakan secara hening
dan sepi agar kita belajar introspeksi diri dengan merenung, meditasi,
dan evaluasi diri dan bertanya tentang diri kita, dan kesalahan apa yang telah
kita perbuat, serta hal apa yang harus kita perbaiki. Adapun rangkaian tradisi yang dilakukan pada
hari raya nyepi biasanya adalah melasti, Tawur/pecaruan/pengrupukan,
pelaksanaan catur brata Nyepi, dan diakhiri dengan Ngembak geni.
Bapak/
Ibu dan umat sedharma yang berbahagia
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa rangkaian pertama dalam pelaksanaan Nyepi adalah
melasti. Melasti ini berasal dari kata mala yang berarti kotor dan asti yang
berarti membuang atau memusnahkan. Melasti ini bertujuan untuk membersihkan
segala kotoran badan dan pikiran (Bhuwana Alit) dan Bhuwana Agung. Apa yang
disucikan dalam Bhuwana Alit? Dalam Bhuwana Alit adalah meleburkan dan
melenyapkan segala kekotoran dan kepapaan dalam diri manusia, untuk menyucikan
pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan penglukatan dan tirta amerta.
Sedangkan dalam bhuwana agung adalah diwujudkan dengan penyucian arca, lingga
dan praline secara spiritual dengan tirta amerta. Pada saat upacara ini adalah
memohon ke hadapan Dewa Dewi dan Bathara- Bathari agar berkenan diiringkan ke
laut/ sumber air suci untuk menghanyutkan malaning jagat/ kekotoran alam dan
memohon Tirtha Amertha. Tirtha Penglukatan ini memohon ke hadapan Dewi Gangga
dan Tirtha Amertha ke hadapan Sang Hyang Baruna. Tirta Penglukatan tersebut
diciptakan terlebih dahulu pada Arca, Pratima, Pralingga, serta semua perangkat
upacara dan kepada semua masyarakat yang ikut serta dalam upacara.
Melasti dalam sumber Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji
Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan
Melasti ngarania ngiring
prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana
Artinya
: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat,
menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.
Dari
kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada lima
tujuannya yaitu:
Tujuan melasti adalah untuk dapat mengikuti tuntunan para
dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan mengikuti tuntunan Tuhan, manusia akan
mendapatkan kekuatan suci untuk mengelola kehidupan di dunia ini. Kemudian menghayutkan
penderitaan masyarakat. Jadi, upacara melasti bertujuan untuk memotivasi umat
secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial, seperti
kesenjangan antar kelompok, perumusuhan antar golongan, wabah penyakit yang
menimpa masyarakat secara massal, dan lain-lain.
Sedangkan
rangkaian upacara yang selanjutnya adalah Tawur. Tawur berasal dari kata
nawur atau membayar utang. Lalu kepada siapa kita membayar utang? Kepada para
bhuta kala yang mana utang kepada bhuta kala dalam tri rna termasuk dalam utang
kepada dewa rna. Dari utang kepada bhuta inilah perlu dilaksanakannya bhuta
yadnya yang tujuannya adalah agar energi-energi negatif dari para bhuta kala
tidak mengganggu umat manusia di dunia ini. Selain itu juga fungsi tawur ini
agar para bhuta kala disucikan agar bisa menyatu dengan sang hyang tunggal.
Filosofi
tawur adalah membayar atau mengembalikan, yang dibayar adalah sari-sari yang
telah dihisap atau digunakan manusia. selain itu juga untuk menyucikan dan
menyeimbangkan alam semesta dengan menetralisir kekuatan-kekuatan alam. Yang
diwujudkan dengan pawai ogoh-ogoh yang bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat
keraksasaan dan mengembalikan kekuatan positif dari alam.
Lontar
Sri Aji Kasanu, menyebutkan bahwa;
“…ring
tileming sasih kesanga, patut maprakerti caru Tawur wastanya, sedulur nyepi
awengi.”
Terjemahannya sebagai
berikut:
….pada Tilem sasih
Kesanga, patut mengadakan Upacara Bhuta Yajna, yaitu caru yang disebut dengan
“Tawur”. Dilanjutkan dengan Nyepi satu malam.
Kemudian
umat Hindu merayakan Nyepi selama 24 jam dari matahari terbit sampai matahari terbit lagi di esok
hari. Di hari itu seluruh umat Hindu
melaksanakan Catur Brata Penyepian, yaitu empat larangan atau pantangan yang
wajib dilakukan umat Hindu saat melaksanakan Nyepi, yang pertama adalah Amati
Geni atau tidak menyalakan api, yang dimaksud disini bukan api yang kita lihat
secara nyata, tetapi mengarah pada sifat atau ego manusia, kita harus selalu
mngendalikan amarah, mengendalikan ego, mengendalikan nafsu dan mengendalikan
api-api dalam diri kita, baik itu api yang bersifat positif dan api yang
bersifat negatif, apabila kita mampu mengelola api dalam diri kita ini, maka
kedamaian sedikit-demi sedikit akan tercapai, seperti contohnya apabila api
dalam kehidupan nyata itu bisa dikelola dengan baik, maka akan menjadi sahabat
kita karena bisa digunakan untuk memasak, sarana upacara dll, tetapi apabila
tidak bisa kita kendalikan maka akan terjadi bencana.
Kedua
adalah Amati Lelanguan atau tidak bersenang-senang, maksudnya disini adalah
tidak bersenang- senang seperti nonton tv main hp, dsb. Sebab dalam Brata
penyepian dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan Tapa Brata, hendaknya pada
waktu itu orang berpuasa dan Samadhi, mengendalikan seluruh indriya dan
keinginannya. Dengan berpuasa kita telah berupaya untuk mengendalikan nafsu
untuk makan dan minum, dan apabila terus mengendalikan makanan atau minuman
yang kita konsumsi, maka tubuh kita tidak akan mudah untuk terserang penyakit.
Selain berpuasa, tidak bersenang senang juga mempunyai arti tidak berfoya-foya,
maka implementasinya adalah dengan selalu hidup sederhana dan selalu berbagi
dengan sesama.
Yang
ketiga adalah Amati Lelungan atau tidak bepergian. Orang yang melaksanakan
Brata penyepian tidak boleh bepergian, tidak bepergian artinya adalah mengendalikan pikiran, harus tetap
konsentrasi agar pikiran manusia tetap terkendali, tidak liar dan bisa
mengendalikan hal yang negatif. Karena sesungguhnya pikiran adalah kunci dari
segala ucapan dan perbuatan, maka dengan mengendalikan pikiran dan
berkonsentrasi pada hal yang baik, maka ucapan dan perbuatan baik akan
senantiasa terwujud.
Yang terakhir adalah amati karya atau tidak
bekerja, yaitu tidak melakukan
kegiatan kerja yg bertentangan dengan ajaran agama karena salama kita
melaksanakan brata penyepian kita hanya merenung dan bermeditasi tentang apa
yang telah kita lakukan selama satu tahun. Dalam brata ini kita diajarkan agar
selalu berbuat sesuai dengan dharma agama dan dharma negara. Melaksanakan
ajaran agama, menghormati guru dan orang tua serta menaati dan melaksanakan
aturan pemerintah. Makna dari catur brata penyepian ini juga tersirat dalam
Bhagawadgita II.58 yang menyatakan
“Yada samharate ca yam
Kurmo ngani va sarvasah
Indriyani ndriyar thebyas
Tasya prajna pratisthita”
Terjemahannya
: bagaikan penyu menarik kaki dan kepala ke dalam tubuhnya, ia menarik semua
indriyanya dari segenap obyek keinginannya, maka dengan demikian jiwanya akan
menjadi seimbang.
Dari kutipan sloka diatas dapat kita
ketahui bahwa manusia harus mampu mengendalikan indriyanya dari segala obyek
keinginan, selain mampu mengendalikan indiria, manusia juga harus mampu untuk
mengendalikan pikirannya, sebab indriya dan pikiran bisa menjadi surga dan
neraka bagi manusia itu sendiri. akan menjadi surga apabila mampu mengendalikannya,
surga yang dimaksud adalah suatu keadaan tenang dan nyaman yang dirasakan oleh
manusia itu di dunia ini, dan sebaliknya, indriya dan pikiran akan menjadi
neraka bagi manusia itu sendiri apabila tidak bisa mengendalikannya, yaitu
penderitaan dan kesengsaraan yang akan ia rasakan.
Berkaitan dengan pelaksanaaan catur
brata penyepian, bila dikaitkan dengan badan manusia, itu diibaratkan dengan
sebuah kolam ikan yang harus dikuras. Bapak-bapak dan ibu-ibu tentu terbayang
bagaimana kondisi sebuah kolam yang harus dikuras, tentunya kotor, bau, keruh
dan menggangu lingkungan sekitar, dan membuat tidak nyaman. Begitulah ibarat
badan manusia bila tidak pernah dilakukan pembersihan secara spiritual,yang
tidak pernah melakukan tapa brata, akan kotor dan terpengaruh hal negative,
serta mengganggu kenyamanan. Oleh karena itu kolam ikan itu memerlukan
kira-kira sedikit waktu untuk membersihkan segala kekotoran didalamnya,
membuang air yang kotor, menghilangkan segala rumput dan lumut yang ada
didalamnya. Dan akhirnya apa yang didapat bapak-bapak, ibu-ibu? Dengan hanya
sedikit waktu untuk mengosongkan segala isi kolam itu, maka kolam ikan itu
tentu akan terisi oleh air yang baru, yang lebih bersih, lebih jernih, lebih
nyaman dipandang dan membuat keadaan sekitar menjadi lebih baik, ikan yang hidup dalam
kolam itu juga menjadi lebih terjamin dan lebih indah dipandang mata. Nah
begitulah kira-kira tentang catur brata nyepi, kita harus mampu menggunakan
waktu kita untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik, untuk membuang
segala hal yang sekiranya tidak bermanfaat dan mengisinya dengan hal baru yang
lebih berguna dan memiliki dampak positif baik di masa sekarang maupun masa
yang akan datang.
Bapak/
Ibu dan umat sedharma yang saya hormati,
Setelah pelaksanaan catur brata penyepian,
rangkaian terakhir dalam pelaksanaan
Nyepi adalah Ngembak Geni. Makna filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan
ngembak geni ini adalah untuk mewujudkan keharmonisan dan kerukunan dalam
kehidupan bermasyarakat yang ditandai dengan pelaksanaan Dharma Santi. Inti
dari ngembak geni adalah untuk mengimplementasikan kesadaran yang ada dalam
diri manusia, kesadaran segalanya, termasuk Kesadaran untuk memaafkan orang
lain, melalui proses nyepi melahirkan manusia yang berkarakter, yaitu manusia memiliki
perilaku yang bertanggung jawab, rendah hati, peduli, disiplin, menghargai
orang lain, sehingga dia akan menjadi manusia memiliki kualitas
Bapak/ibu dan umat sedharma yang
berbahagia
Dapat kita simpulkan bahwa makna Nyepi itu sendiri
adalah manusia diajarkan untuk membersihkan segala kokotoran, hal negative,
selalu mawas diri, merenung sejenak dengan apa yang telah kita perbuat di masa
lalu, saat ini dan merencanakan yang lebih baik dimasa yang akan datang,
sehingga kita dapat menjadi manusia yang berkarakter yang dapat berguna dan
bermanfaat bagi sesama, dan tidak lupa selalu bersyukur pada sang pencipta
dengan apa yang telah kita peroleh.
Pada
akhir dharma wacana ini semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu dan senantiasa
memberikan kita kesejahteraan, kedamaian, semuanya memperoleh kebajikan,
ssaling pengertian dan dijauhkan dari segala duka nestapaa dan selalu dalam
keadaan sejuk, teduh, damai.
Om sarve bhavanthu sukhinah, sarve
santhu niramayah, sarwe bhadrani pasyantu, ma kascid duhka bhag bhawet.
Om santih santih santih om
\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar