TATA SUSILA
Etika
Politik dalam Ajaran Agama Hindu
Dosen Pengampu:
I Ketut Angga Irawan, M.Si
Oleh:
Eni Kusti Rahayu
1509.10.0033
JURUSAN PENERANGAN
AGAMA HINDU
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU
DHARMA NUSANTARA
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Om swastyastu
Puji syukur kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang
Widi Wasa atas Asungkerta
Waranugraha-Nya, tugas makalah mata
kuliah Tata Susila dengan judul Etika
Politik dalam Ajaran Agama Hindu ini bisa terselesaikan. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah
ini, diantaranya, Bapak I Ketut Angga Irawan sebagai dosen pengampu mata kuliah
Tata Susila, teman-teman dikelas yang telah memberikan kami dukungan, dan semua
pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu yang terkait dalam
menyediakan sarana dan prasarana guna mempermudah pencarian literature untuk
makalah kami.
Makalah yang kami buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
kritik dan saran bagi pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran
pada pembuatan makalah yang akan datang. Terima kasih atas partisipasi dan
perhatian para pembaca, semoga semua isi yang ada dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi bembaca.
Om santi, santi, santi Om.
Jakarta, Desember 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR
ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang........................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Politik dalam Perspektif Hindu................................ 4
2.2 Sumber
Ajaran Agama Hindu Tentang Politik ......................... 5
2.3 Etika
Politik Sesuai Ajaran Agama dan Sastra Hindu...............
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di
zaman modern ini kekuasaan adalah segalanya. Demi memperoleh kekuasaan tersebut
tidak sedikit yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Mereka terobsesi untuk
menjadi pemimpin. Tidak peduli dengan realita mampukah mereka menjadi pemimpin
yang baik. Tidak salah jika melihat bibit-bibit pemimpin yang tidak baik ini
akan menjadi suatu kemunduran kualitas dari pemimpin itu sendiri.
Melihat realita ini kami mencoba
untuk mengkaji dan menggali ilmu Politik Hindu (Nitisastra) sebagai suatu
perbandingan, tolak ukur, acuan untuk menjadi seorang pemimpin yang
berintegritas tinggi, baik untuk diri sendiri ,keluarga, lingkungan yang
dipimpin, serta baik dimata Tuhan. Ilmu-ilmu Politik atau pemerintahan ini
hendaknya dipelajari, dipahami,dipraktekkan oleh calon-calon pemimpin agar
terbentuk pemimpin yang benar-benar berkualitas dari kulit maupun isinya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian politik menurut
perspektif Agama Hindu?
2.
Apa saja sumber ajaran agama Hindu
tentang politik?
3.
Bagaimana kewajiban seorang tokoh politik sesuai sastra
hindu?
4.
Bagaimana etika politik Hindu yang
sesuai dengan ajaran dan satra agama?
5.
Bagaimana
Konstribusi Agama Hindu dalam Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian politik
menurut perspektif Agama Hindu;
2.
Untuk mengetahui sumber ajaran agama
Hindu tentang politik;
3.
Untuk mengetahui kewajiban seorang tokoh
politik sesuai sastra Hindu.
4.
Untuk mengetahui etika politik Hindu
yang sesuai dengan ajaran dan satra
Agama
5.
Untuk mengetahui Konstribusi Agama Hindu dalam
Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Politik Menurut
Perspektif Hindu
Etika
berasal dari bahasa
Yunani,
yaitu “Ethes” yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan
kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Dengan kata lain, etika politik
merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam
berpolitik.Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan),
tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.
Dalam
praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata
masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar.Untuk itu,
etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi
negara yang luhur ke dalam realitas
politik yang nyata. (
https://id.wikipedia.org/wiki/Etika_politik).
Ajaran etika atau moralitas adalah tingkah laku
yang baik dan benar untuk kebahagiaan hidup serta keharmonisan hidup antar manusia.
Dalam
pandangan atau perspektif agama Hindu, istilah politik dikenal dengan ajaran
Nitisastra, yaitu Nitisastra berasal dari kata
Niti yang berarti undang - undang yang mengatur negara atau negeri dan
sastra yang berarti pelajaran Dharma, Pelajaran Suci dan pelajaran Agama (Kamus
BHS BALI dalam Anandakusuma (1986).
Namun jika dilihat dari Bahasa Sansekerta, Niti
berarti kebijaksanaan duniawi, etika dan politik, serta menuntun.
Sedangkan Sastra berarti Mantra atau pujaan Suci.
Sedangkan jika kita melihat Kamus Bahasa Jawa Kuno,
Niti berarti Pedoman Hidup, ilmu tata Negara, kesopanan siasat Negara
(kebijakan) politik. Sedangkan Sastra adalah Kitab ilmu pengetahuan atau
Kitab pelajaran. Jika melihat pengertian
diatas, Nitisatra dapat diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mengajarkan
tenatang bagaimana bertingkah laku, memimpin, mendidik, berdasarkan
dharma.
Kendati demikian banyak juga orang yang
mengartikan Nitisatra sebagai kitab atau ilmu kepemimpinan tata negara.
Nitisastra sangat besar kaitannya dengan Dhanda
Niti, Artha Sastra, Raja Dharma,Niti Sastra dan Raja Niti. Bahkan beberapa ahli
mengatakan semuanya sama dengan Nitisastra hanya saja namanya yang berbeda;
Berikut pengertian dari Artha Sastra, Raja
Niti, Dhanda Nitim Niti Sastra, dan Raja Dharma, Dhanda Niti adalah kitab yang
memngajarkan tentang pengaturan atau hukum-hukum yang mengatur dalam kehidupan
bermasyarakat. Kemudian Raja Niti
adalah kitab yang mengajarkan bagaimana cara memimpin, Raja Dharma adalah kitab yang mengajarkan kebenaran
dan kewajiban seorang pemimpin.
Artha Sastra adalah kitab yang mengajarkan
bagaimana mengatur kesejahteraan dalam kehidupan di suatu wilayah.
Politik dalam perspektif Hindu adalah pengetahuan
untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu negara guna untuk mencapai tujuan
dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan dalam masyarakat yang
berdasarkan atas sastra dan ajaran dalam agama Hindu. Menurut kitab suci weda,
politik merupakan cara untuk mencapai tujuan atau memegakkan Dharma, dimana
dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut harus tetap berlandaskan pada
agama, moral dan etika.
Dalam konteks ini, agama Hindu menawarkan pola hidup
yang sederhana. Sebab dengan pola ini, masyarakat akan selalu ingat dengan
tujuannya yang tertinggi yaitu kebahagiaan yang kekal dan abadi atau yang
disebut dengan moksa. Jika mereka mengikuti keinginan dan indriya-indriiyanya,
maka mereka akan terjebak pada maya atau
keadaan seola-olah semakin menjerumuskan
masyarakat. Dalam konteks pemikiran
seperti ini, pragmatism politik tergolong sebagai pemikiran yang dipengaruhi
oleh maya. Bantuan keuangan seolah-olah telah memberikan kontribusi kepada masyarakat . padahal kenyataan itu
bisa sebaliknya. Sebab tuntunan seperti ini, bukan tidak mungkin akan
menyebarkan budaya korupsi di kalangan penyelenggara politik ataupun
pemerintahan negara. Sebab mereka memerlukan modal yang besar untuk duduk di
kursi politik. Korupsi seperti ini trntu akan mengurangi jatah bagi pembangunan
kesejahteraan masyarakat. Karena itulah, tidak ada alasan agama
apapun yang membenarkan sebuah pragmatism politik seperti itu. Agama
Hindu justru menyemangati masyarakat untuk membela kebenaran.
2.2 Sumber Ajaran Agama Hindu Tentang
Politik
2.2.1
Kitab-Kitab
Veda (Sruti)
Bila dicermati pemikiran tentang Nitisastra sudah
terdapat dalam kitab-kitab sruti.
Sebagai kita ketahui masing-masing kitab sruti mempunyai Upaveda tersendiri.
Kitab upaveda dari Rgveda adalah kitab ayurveda, kitab upaveda dari Yajurveda adalah
kitab Dhanurveda, kitab upaveda dari SamaVeda adalah kitab Gandharwa Veda, dan
kitab upaveda dari Atharwa Veda adalah kitab Arthaveda. Kitab Arthaveda dikenal
sebagai kitab yang memuat pengetahuan tentang, pemerintahan, ekonomi, politik,
sosial, pertanian dan lain-lain. jadi,
Arthaveda merupakan kitab sruti yang memuat tentang Nitisastra, yang
mempelajari tentang ilmu politik dan juga ilmu pemerintahan. Bagi pemeluk Hindu etika berpolitik
terdapat dalam kitab suci Veda yaitu Rgveda, Yajurveda, Samaveda, dan
Atharvaveda. Politik dalam Veda menitikberatkan pada kewajiban pemimpin
pemerintahan dan rakyat untuk bersama-sama menegakkan kejayaan bangsa dan
negara, yang dikenal dengan istilah “dharma negara”.
Bentuk pemerintahan
menurut Veda adalah berkedaulatan rakyat:
Mahate Janarajyaya (Yajurveda IX. 40)
Semoga Tuhan membimbing kami ke sebuah negara yang berkedaulatan rakyat. Lebih jauh
diulas pula bahwa rakyat yang merdeka, sejahtera dan berdaulat adalah kekuatan
utama bagi tegaknya suatu bangsa:
Uttaram Rastram Prajaya Uttara Vat (Atharvaveda XII.3.10)
Para politisi yang bersaing menguasai pemerintahan disyaratkan dalam Veda agar
selalu memperhatikan kepentingan rakyat karena landasan seorang pemimpin adalah
rakyatnya:
Visi Raja Pratisthitah (Yayurveda
XX.9)
karena itu pemimpin hendaklah berupaya meningkatkan kualitas rakyat:
Pra Jam Drmha (Yayurveda V.27)
memelihara kesejahteraan rakyat:
Sivam Prajabhyah (Yayurveda XI.28)
membahagiakan rakyat:
Panca Ksitinam Dyumnam A Bhara (Samaveda 971)
memperhatikan keluhan rakyat:
Visam Visam Hi Gacchathah (Samaveda
753)
dan memakmurkan rakyat:
Prajam Ca Roha-Amrtam Ca Roha
(Atharvaveda XIII.1.34)
Sebaliknya rakyat pun wajib mematuhi perintah-perintah pemimpin bangsa:
Tasya Vratani-Anu Vas Caramasi (Rgveda
VIII.25.16)
selalu waspada pada hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan bangsa:
Vayam Rastre Jagryama Purohitah
(Yayurveda IX.23)
dan berani berkorban untuk kejayaan bangsa:
Vayam Tubhyam Balihrtah Syama
(Atharvaveda XII.1.62)
Kutipan-kutipan ayat-ayat suci yang disebutkan di atas memberikan batasan
kriteria, kualitas pemimpin yang bagaimana patut dipilih oleh rakyat agar
rakyat mendapatkan hak-haknya sebagai warganegara dan kewajiban politik apa
pula yang perlu dilakukan oleh rakyat. Rakyat tidak dibenarkan untuk pasif atau
apatis dalam kegiatan politik baik sebagai pemilih maupun tergabung dalam
kegiatan politik praktis, karena itu merupakan swadarma warganegara dalam wujud
bhakti.
2.2.2
Kitab-
kitab Smerti
Kitab-kitab Manawa
Dharmasastra memuat ajaran-ajaran bhagavan Manu yang dihimpun dan disusun oleh
bhagawan Bhrgu, banyak selaki memuat ajaran tentang politik dan tata
kenegaraan. Dalam adhyaya VII memuat tentang peraturan kenegaraan sedangkan
pada Adyaya VIII memuat bergabai aspek hukum yang juga berkaitan dengan upaya
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam kitab ini kita menggunakan istilah
Raja Dharma.
rajadharamam pravaksyami
yatha vrtto bhaven nrpah
sambhavasca yatha tasya
siddhisca paramayatha
(Manava
Dharmasastra VII.1)
Artinya : Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban raja (Raja
Dharma) bagaimana raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri, bagaimana ia
dijadikan dan bagaimana ia dapat mencapai kesempurnaannya yang tertinggi
Sweswe dharme niwistanam
sarwesamapurawacah, warnanamacramanamca raja srsto bhiraksita
(Manawa Dharmasastra, VII.35)
Artinya
:
Raja telah diciptakan untuk
melindungi warna dan aturannya yang semua menuntut tingkat kedudukan mereka
melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban mereka.
Indranilayamarkanam agnecca
warunasya ca, candrawiiechayocchaiwa matra nirhrtya cacwatih.
(
Manawa Dharmasastra, VII,4)
Artinya
:
Untuk memenuhi maksud
tujuan itu (Raja) harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari para Dewa
Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra, dan Kubera.
2.2.3
Kitab-kitab
Itihasa
Kitab
Ramayana dan Mahabharata merupakan dua
kitab yang memuat dua epos besar yang juga disebuat Viracarita. Kedua kitab ini
menceritakan kepahlawanan yang
keseluruhannya memuat tentang etika dan cara-cara mengelola pemerintahan
negara. Dalam MahaBharata dalam bagian Bhisma Parwa dinyatakan sebagai berikut:
Santi Parwal
LXIII, hal 147,
“manakala politik telah sirna, veda
pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia
terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal
tindakan diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada
politiklah semua dunia terpusatkan”.
Dalam bab yang lain dijelaskan pula bahwa:
“ketika tujuan hidup manusia – dharma,
artha, kama, dan moksa semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin
kacau, maka pada politiklah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan
agama/yajna diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada
politiklah dunia terpusatkan”
Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut mengisyaratkan bahwa antara
Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu politik Hindu adalah
untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah hukum, kewajiban,
dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan berakibat pada kehancuran umat
manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga akan membawa kemuliaan (dharma
raksatah raksitah).
Antara
politik dan kepemimpinan merupakan sebuah mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan tauladan, selalu
mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang rat), dan menghindari kesenangan
pribadi (agawe sukaning awak). Dalam Kautilya Arthasastra dijelaskan pula bahwa
“apa yang menjadikan raja senang bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat
sejahtera itulah kesenangan seorang raja”. Kalimat ini menunjukkan bahwa
sasaran pokok dalam politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah
kesejahteraan penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada
kebahagiaan tertinggi, kemuliaan adalah pasti (“sang sura menanging ranaggana,
mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan”). (https://pandejuliana.wordpress.com/2012/05/25/politik-hindu-ajaran-kepemimpinan-menurut-hindu-part-3/)
2.2.4
Kitab-
kitab Purana
Kitab
purana dikenal pula sebagai kitab yang memuat ceritera –ceritera kuno yang
menceritakan kejadian-kejadian di masa lalu. Kitab purana memuat tentang cerita
dewa-dewa, raja-raja, rsi-rsi pada zaman
kuno. Kitab purana ini banyak jumlahnya dan bila dicermati didalamnya banyak memuat
ajaran tentang Nitisastra.
2.2.5
Kitab,
Lontar-lontar, maupun naskah lainnya yang bersumber dari naskah sanskerta
maupun jawa kuno
Slokantara
maupun Sarasamuccaya juga memuat tentang ajaran Nitisastra yang kadang-kadang
dikemas dalam bentuk cerita yang mengandung kiasan tentang pemerintahan maupun
masalah sosial. Dalam Tantri Kamandaka banyak sekali cerita-cerita yang memuat
ajaran Nitisastra. Di daerah Bali yang sebagian besar penduduknya penganut
Hindu merupakan daerah yang subur menumbuhkan karya sastra agama Hindu, seperti
Nitisastra, Rajaniti, Raja sesana, Dharma sesana.
2.3 Kewajiban Seorang Tokoh Politik sesuai
Sastra Hindu
1.
Melindungi negara
Kewajiban utama seorang
peminpin adalah melindungi seluruh wilayah dan rakyatnya (janapada). Oleh
karena itu peminpin harus selalu aktif dan meyelesaikan kewajibannya.
Kesejahteraan merupakan tujuan utama yang harus dilaksanakan oleh seorang
pemimpin, sedangakan kejahatan adalah sebaliknya. Warga masyarakat (loka) yang
terdiri dari empat warna (catur warna), seperti Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan
Sudra, serta catur asrama yang terdiri dari Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta,
dan Biksuka, merupakan tugas pemimpin untuk melindungi aktivitas dan pekerjaan
mereka.
2.
Memelihara kepatuhan kepada aturan Dharma
Jika pemipin telah
melindungi rakyatnya dengan adil, maka akan tercipta kedamaian. Namun, jika
pemimpin melalaikan kewajibannya dan melanggar aturan masyarakat, maka negara
dan pemimpinnya akan mengalami bencana. Melalui ketaklukannya kepada pemimpin,
semua ciptaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak memperoleh
kesempatan untuk menikmati kesenangnnya sepanjang tidak menyimpang dari
kewajibannya. Kewajiban dari pemimpin adalah memelihara peraturan-peraturan
yang terdapat dalam berbagai kebiasaan dari masyarakat yang dipimpinnya.
3.
Menjaga Stabilitas Perdamaian
Dalam konsepsi Hindu,
perdamaian lebih berharga daripada peperangan sehingga dalam ajaran mandala
tersebut secara langsung mensyaratkan betapa pentingnya perimbangan kekuatan (balancing
of power) di dalam menjaga perdamaian. Dengan konsep mandala negara
yang dipimpinnya akan hidup damai berdampingan dengan harmonis.Adapun konsep
Mandala atau Cakra (lingkaran), yang dimaksud sebagi berikut:
a. Vijigisu, negara yang
bersangkutan diletakkan di posisi center(pusat)
b. Ari, negara yang paling
dekat sebagai lawan
c. Mitra, negara sahabat yang
paling dekat
d. Ari Mitra, adalah sekutu
dari negara lawan
e. Mitra-mitra, negara sekutu
dari sekutu Vijigisu
f. Arimitramitra, negara lawan
dari sekutu-sekutu kita
g. Parsnigraha, negara lawan
yang dibelakang
h. Akaranda, negara sekutu
yang dibelakang
i. Parsnigrahasara, negara
sekutu dari sekutu yang dibelakang
j. Akrandasara, negara sekutu
dari lawan yang dibelakang
k. Madhyama : negara netral
l. Udasina : negara yang
diabaikan
Kedua
belas negara diatas disebut dengan nama Rajaprakrti, selanjutnya dikelompokan
menjadi empat mandala, antara lain :
a. Mandala pertama terdiri
dari : vijigusu, mitra, dan mitra-mitra
b. Mandala kedua terdiri dari
: ari, arimitra, dan arimitra-mitra
c. Mandala ketiga terdiri dari
: madhyama, dan sekutunya serta sekutuny
d. Mandala keempat terdiri
dari : udasina, dan sekutunya serta sekutu dari sekutunya
4.
Memajukan Kesejahteraan
Dalam
hal kewajiban pemimpin berupaya menyejahterakan masyarakatnya. Pemimpin yang
melindungi rakyatnya menerima masing – masing seperenam bagia, jika pemimpin
tidak melindungi rakyatnya, ia hanya menerima seperenam juga. Siapapun yang
memperoleh pendapatan dari membaca weda, dengan beryajna dengan memberikan
hadiah, atau dari menghormati guru dan memuja Tuhan, pemimpin menerima
seperenam bagian sebagai hasil dari kewajibannya melindungi negara. Tetapi jika
pemimpin melalaikan kewajibannya melindungi negara, nmun tetap menarik pajak
keuntungan, tell, menerima hadiah dan denda, maka setelah mati kelak dia masuk
neraka. Kewajiban raja yang lainnya adalah melindungi negara dari berbagai
bencana : kebakaran, banjir, penyakit dan sebagainya.
Selanjutnya
dalam lontar Raja Pati Gundala dijelaskan bahwa ada 3 kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang pemimpin yang disebut Tri Upaya Sandhi, yang terdiri
dari berikut ini.
a) Rupa, atrinya seorang
pemimpin berkewajiban untuk mengamati wajah dari rakyatnya.
b) Wangsa, artinya suatu suku
bangsa.
c)
Guna,
artinya seoran pemimpin harus mengetahui tingkat pengertian dan pengetahuan
serta keterampilam dari masyarakat yang dipimpinnya.
Dalam lontar Siwa- Budha
Gama Tattwa dijelaskan 5 kewajiban pemimpin yang harus dilaksanakan terkait
dengan persoalan – persoalan, dalam menghadai musuh – musuhnya antara lain
sebagi berikut :
a.
Maya,
artinya seorang pemimpin harus melakuakan upaya dalam mengumpulkan dataatau
permasalahan yang belum jelas duduk permasalahannya.
b. Upeksa, artinya seorang
pemimpin hendaknya berupaya untuk mengadakan penelitian dan analisa terhadap
semua bahan – bahan berupa data dan informasi untuk dapat meletakkan setiap
data dan permasalahan menurut proporsinya.
c.
Indrajala,
artinya seorang pemimpin hendaknya berupaya mencarikan jalan keluar dalam
memecahkan setiap permasalahan yang sedang dihadapi,
d. Wikrama, artinya seorang
pemimpin hendaknya berupaya untuk melaksanakan segala upaya yang telah
dirumuskan pada tingkat indrajala.
e.
Lokika,
artinya setiap tindakan yang ditempuh oleh seorang pemimpin harus selalu mendapat
pertimbangan – pertimbangan akal sehat dan logis serta dalam bertindak tidak
berdasarkan emosi semata – mata.
3
2.4
Etika
Politik Sesuai Ajaran Agama dan Sastra Hindu
1. Sad
Upaya Guna
Di dalam lontar Raja Pati
Gondala dijelaskan bahwa seorang pemimpin atau seorang politikus harus
bersahabat dengan para pemimpin dan masyarakat yang lainnya. Ada 6 macam sifat
bersahabat yang harus dikembangkan oleh seorang pemimpin, sebagai dasar yang
baik dan utama dalam kepemimpinannya, yaitu sebagai berikut :
a.
Siddhi
, kemampuan untuk mengadakan persahabatan
b. Wigrha ,
kemampuan untuk memisahkan setiap permasalahan atau persoalan serta dapat
mempertahankan hubungan baik
c.
Wibawa,
memiliki keiwibawaan
d. Winarya, cakap dalam
memimpin
e.
Gasraya,
kemampuan untuk menghadapi lawan yang kuat
f.
Sthanna,
dapat mempertahankan setiap hubungan yang baik
Demikian pula pada sumber
yang sama disebutkan adanya 10 hal yang dijadikan sahabat oleh seorang
pemimpin, antara lain sebagai berikut.
a. Satya, yaitu kejujuran
b. Arya, yaitu orang besar
c. Dharma, yaitu kebajikan
d. Asurya, yaitu orang yang dapat mengalahkan
musuh
e. Mantri, yaitu orang yang dapat mengalahkan
kesusahan
f. Salyatawan, yaitu orang yang banyak
sahabatnya
g. Bali, yaitu orang yang kuat dan sakti
h. Keparamarthan, yaitu orang yang
melaksanakan ilmu kerohanian
i. Kadiran, yaitu orang yang tetap
pendiriannya
j. Guna, yaitu orang yang banyak ilmu dan
pandai
2.
Catur Paramita
Dalam
hubungannya dengan dunia luar yang berhubungan dengan daerah atau tempat
bertugas, seorang pemimpin harus melengkapi dirinya dengan ajaran Catur
Paramita, yaitu empat sifat dan sikap yang utama bagi pemimpin, yang terdiri
dari berikut ini.
a. Maitri, artinya seorang
pemimpin harus dapat memandang orang lain sebagai karib,baik dilihat dari
kedudukan sebagai insan hamba Tuhan maupun dari tujuan hidupnya.
b. Karuna, artinya pemimpin
harus dapat memberikan bantuann kepada orang yang memerlukan bantuan.
c.
Upeksa,
artinya pemimpin tidak boleh terlalu memperhatikan ocehan orang lain, seperti
tidak mudah dipengaruhi, dihasut dan diadu domba.
d. Mudita, artinya pemimpin
harus selalu berusaha untuk mendapatkan simpati orang lain.
3.
Panca Stiti Dharmaning Prabhu
Ajaran
ini diwejangkan oleh Arjuna Sastrabahu, bahwa seorang pemimpin hendaknya
menunjukkan sifat dan keteladan kepada bawahan yang dipimpinnya.
Panca
stiti dharmaning prabhu adalah 5 macam sifat dan sikap tauladan yang
harus dipedomi oleh seorang pemimpin dalam memimpin bawahannya. Sifat dan sikap
yang dimaksud antara lain, sebagai berikut.
a. Ing Ngarsa Asung Tulada,
didepan bawahan atau masyarakat seorang pemimpin harus memberikan contoh untuk
melakukan perbuatan yang baik, memberikan semangat pengabdian yang tinggi dan
luhur untuk kepentingan bangsa dan agama.
b. Ing Madya Mangun Karsa,
artinya di tenga-tengah masyarakat atau bawahannya seorang pemimpin hendaknya
mampu mengembangkan dan membangkitkan semangat kreativitas untuk mencapai
kemajuan bersama.
c.
Tut
Wuri Andayani, artinya seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan
semangat, kebebabsan berkreativitas dan mengembangkan ide-ide bawahan atau
masyarakat yang dipimpinnya sepanjang bersifat positif, dengan demikian
masyarkat yang dipimpinnya akan mengalami kemajuan yang sempurna.
d. Maju tanpa bala, artinya
seorang pemimpin harus berani maju kedepan walaupun tanpa anak buah, bahkan
berani berkorban demi kepentingan bawahannya
e.
Sakti
tanpa aji, artinya seorang pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan tugas, ia
tidak mau terlalu dipuji-puji dan disanjung-sanjung.
2.5
Konstribusi Agama Hindu dalam
Hubungan Politik, berbangsa dan bernegara
Lahirnya bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia
dengan Dasar Pancasila dan lambang Garuda Pancasila dengan sesanti Bhineka
Tunggal Ika adalah sangat tepat, di dukung pemilihan yang amat cermat dari para
pendiri negara yang mengamati kondisi nyata bangsa Indonesia yang memang sangat majemuk. Sesanti Bhineka Tunggal Ika diangkat dari
karya Rakawi Empu Tantular dalam Kekawin Sutasoma, yang memaparkan kondisi
komunikasi antara agama Hindu dan Buddha pada masa itu, yang lengkapnya
berbunyi Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mang Rwa. Kalimat ini adalah
kalimat dalam bahasa jawa kuno. Bhina artinya berbeda-beda, tunggal artinya
satu, ika artinya itu, tan hana artinya tidak ada, Dharma artinya kewajiban,
Mangrwa artinya mendua. Secara harfiah maka kalimat itu artinyaberbeda-berda
tetapi tetap satu, tidak ada kewajiban atau kebenaran yang mendua. Kalimat ini
mengandung ajaran Nitisastra yang tinggi dan sesuai dengan bangsa dan kesatuan
Indonesia. Dalam konteks politik berbangsa dan bernegara sesuai dengan
cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Dalam konteks negara Indonesia, mantra veda mengatakan
bahwa Indonesia terdiri dari berbagai
suku yang menempati wilayah Indonesia
yang satu diharapkan mendapat jaminan dan kesempatan yang sama serta
layak dalam menikmati sumber daya alam
Indonesia, hidup bersatu dan damai sehingga kebahagiaan dapat tercapai.
Persatuan dalam kebhinekaan itu pada dasarnya bersifat dinamis, tidak
mengecilkan arti setiap unsure budaya bangsa dan perbedaan budaya yang ada
diantara warga negara Indonesia. Semua kegiatan yang bertujuan memajukan dan
mencerdaskan anggota masyarakat dalam bidang apapun juga hendaklah didasarkan atas
kesadaran bahwa usaha-usaha itu tidak mengganggu atau melemahkan persatuan dan
kesatuan persatuan bangsa Indonesia. Veda jelas-jelas menganjurkan persatuan
karena dengan persatuan itu sesungguhnya kebahagiaan bersama dapat tercapai.
Persatuan yang dimaksud bukanlah hanya antara sesama agama melainkan kesatuan
dengan semua golongan yang berbeda-beda seperti yang dimaksud Bhineka Tunggal
Ika.